Nyala Lilin Mengenang Korban Covid-19/Ilustrasi
Azizi Sulung, lahir di Sumenep, 7 Juli 1994, santri
Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Puisi, cerpen, dan resensinya dimuat
di beberapa media. Karyanya yang dibukukan Accident: Malapetaka Terencana
(2011), Simposium (2012), Solitude (2012), Perempuan dan Bunga-Bunga (2014),
Luka-Luka Bangsa (2015), Rampai Luka (2016), Senyuman Lembah Ijen (2018), dan
Lelaki Pendosa (2018). Beberapa puisi Azizi Sulung berikut ini telah tayang di
Koran Suara Merdeka, edisi Minggu (akhir-pekan) 7 April 2019.
Sabda Langit
bila kau kuasa menyayangi segala
maka sempurnalah kasih sayang sesama
seumpama curah hujan,
menjamah tanah kerontang
lahirlah benih tetumbuhan, rimbun;
tempat berlindung dan bergantung.
seumpama biru laut
mengeram karang dan lokan-lokan;
tempat menempa hidup bagi ikan-ikan.
seumpama matahari
memecah subuh dan pagi hari, memancar;
menyinari dan menghidupi segala yang di
bumi.
Rumah Belimbing, 2018
Nyala Lilin pada Malammu
tak ada cahaya yang kuasa kunyalakan
hanya dari binar matamu, sinar itu
kutemukan
tak ada bunyi yang kuasa kudendangkan
hanya dari kebisingan, lagu-lagu
sumbang itu kerap
kudengarkan
tak ada perayaan yang kugelar dengan
posisi bersing-
gungan
meski sering kali pesta itu dirayakan
secara perorangan
tak ada hasrat kunyalakan api
hanya begitu kerap perasaan ini
menyulut diri
tak ada yang bisa kubanggakan dalam
sebuah perayaan
bila semua harus lahir dalam
kepentingan
tak ada puisi dalam pesta malam ini
sebab tak cukup syarat “pertentangan”
ini hati mengami-
ni.
Rumah Belimbing, 2018
Sunyi Magrib di Lubtara
desau burung-burung
terbata mengeja senja
memar langit dalam tiup angin tenggara
merangkul pucuk malam; merah muda
dalam hampar waktu; sentuh kening
menancap langit biru
sembap sungai di cekung mata
menua bersama pupusnya langit jingga
memanggil rahasia, yang sudah sekian
lama
terpahat di dada. kini akan menyembul
dalam
kekosongan-kekosongan
dan dahaga.
mekar kepal tangan, hanya akan menambah
keganjilan
dalam langkah nan gamang
sunyi magrib di surau ini, sempurna
semakin menciptakanku dalam
keterasingan.
Rumah Belimbing, 2018
Subuh Terakhir
ciprat putih di ufuk timur
membuka tirai gelap
subuh menyulur mengantar munajat
pada pekat, gurat tersirat di antara
memudarnya langit cokelat
berhambur; gelayut putih uap embun pagi
hinggap di hampar rerumput, menunggu
jamah
matahari. berlari mengejar sunyi
tertinggal di mimpi malam hari
melebur ke laut uzur
di tikungan pagi, pendakian
belum seberapa dimulai.
Rumah Belimbing, 2018
Catatan Admin APPMI: Bagi para penyair yang keberatan
puisi-puisinya diarsip, silahkan kirimkan permintaan untuk ditakedown, baik
melalui kolom komentar, via email, atau melalui contact us. Tabik...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar