Gambar: doc/arsippenyairmadura |
TENTANG GULAI
di atas piring buatan cina
aku bersiap menyantapnya.
doa tak habis
kubaca
tiba-tiba daging
itu bergerak
tulang-tulang
gemeretak
seperti hendak
menyusun Ingatan
terlampau lama.
“jika tak bisa
kami pulihkan hidup
setidaknya ada
yang tahu kami
menginginkannya!”
aku gemetar
meraih dan
menggigitnya perlahan
begitu liat dan
pasrah
jeritan-reritan
kecil timbul tenggelam
dalam genangan
kuah
atau air mata?
di atas piring itu
antara geli dan
pilu
aku segera kenyang
sebagai kanibal.
2018
PENEMUS RAKEMUS
sebuah kota dengan
cita-cita
yang tak henti ia
bisikkan padamu
bak perempuan di
hadapan cermin
ia tersipu. meraih
buku sejarah
hanya untuk
mengipas gerah.
rindumu pernah
seperti risau nelayan
tumbuh agak getir
di tengah badai.
kau boleh
terkenang dan cengeng
mengingat kembali
setiap lagu
yang diputar kekasihmu
atau bertemu
seorang penyair
mendefinisikan
ulang makna kenangan
dengan pelik dan
runyam.
tapi kota ini
masih akan sama
hingga suatu
ketika dalam lelapnya
ia terjaga dan
kaget
jalanan sudah
dipenuhi kebohongan
setiap tujuan tak
melulu soal hak
dan kewajiban.
tapi kau tak perlu
cemas
pada saat yang
sama
kota ini dan
cita-citanya
hanyalah iklan di
papan reklame.
2019
CERMIN TUA
Pagi sekali ketika
seorang lelaki menjerang air
untuk mandi
anak-anaknya, kau telah berdiri tegak
di depan cermin.
Memandangi setiap muslihat
setiap perkara
yang menyeretmu pada kemungkinan
paling malam bagi
perempuan.
Samar-samar tampak
olehmu kota-kota kecil
bertumpuk-ruah
dalam genangan mimpi
yang basah. Setiap
perempuan di dalamnya
berlomba
membetulkan kancing baju
dan cara berjalan
menggunakan high heels.
Oh, dunia setelah
tak lagi sanggup kau bereskan
seisi dapur di
mana tempatmu biasa berlindung,
hari-hari sulit
bergandeng bak pengantin
datang silih
berganti merubung cermin
kau terpaku
menghadapi seseorang di dalamnya
tertunduk lesu.
sementara
anak-anak sudah bangun, air hangat
membanjur tubuh
mereka, menjadikannya lekas-
lekas dewasa.
Pelan-pelan kau
usap kerutan di wajahmu
seperti menyentuh
degup waktu. Lama
sebelum kemudian
sesuatu berkelebat
semacam kilat
ingatan tentang seorang lelaki
32 tahun silam
melamarmu dengan cincin
dan selembar
cermin.
2020
SIPULAN K. LANGKA, lahir di Sumenep
Madura, 1988. Alumnus Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur,
Pondok Pesantren Al-In’am Banjar Timur, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
Bandung (sekarang ISBI), dan Pascasarjana INSTIKA Annuqayah Guluk-Guluk
Sumenep. Sejumlah puisinya dibukukan dalam beberapa antologi bersama Penyair
penyair Madura, antara lain: Dialog Taneyan Lanjang (Majlis Sastra
Madura, 2012), Ketam Ladam Rumah Ingatan (Lembaga Seni dan Sastra (LSS)
Reboeng, 2016), Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata (Komunitas
Masyarakat Lumpur, 2017), Bintang Kugalah Bulan Kudapat (Festival Aksara
Manifesco, 2019).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar