BULAN KORONA
aku tak boleh bertemu denganmu
kecuali dari jarak tertentu
sebagaimana matahari menatap kolam
membisiki ikan-ikan dari kejauhan
melepas kerinduan melalui bibir angin kemarau
jala kusut, joran pancing sejenak lupakan
bumi sedang menyobek ribuan kembang
untuk keramasi rambutnya yang disisir jelatang,
tubuhmu dan tubuhku
punya semesta masing-masing
setakik hening, sedaras dingin
apa yang tumbuh di tubuhku biarkan berbunga sendiri
maka apa yang tumbuh di tubuhmu akan jauh dari mati,
wajah kita masing-masing
bersembunyi di balik masker
seperti hutan melindungi satwa
agar kehidupan berlangsung lama
dan matahari lain segera terbit membawa
seperca kain sutra dari jendela surga.
Gapura, 2020
METAMORFOSIS KORONA
sebelum korona
kita adalah ulat yang serakah
menyantap daun-daun
dengan liuk yang menjijikkan,
sekarang
kita adalah kepompong
yang terikat diam
tak boleh keluar rumah,
besok
semoga menetas jadi kupu-kupu
bersayap indah
terbang ke langit
memuja Tuhan.
Gapura, 2020
TIRAKAT BERSAMA
Maret dan April 2020
mengembalikan kita pada kesunyian
rumah yang membatu
seperti pulang ke rahim ibu,
menengok ruang tanpa debu
dan malaikat rahmah ada di situ,
berteman jam biru
yang jarumnya patah tinggal satu,
sedang di luar, wabah menunggung
angin
menempuh segala jarak yang dibalut
dingin
daun-daun pintu pagar tertutup dan
gemetar
kepongahan dirajam kabar kematian
hati berlutut pada keadaan
bersama doa-doa yang melayang dari
dada gersang,
ketakutan dan kecemasan
memenuhi jantung bayang-bayang
kekhawatiran sejalur dengan liuk
jalan
wabah seperti garis tak berujung
digores Azrail siang dan malam
di balok kayu dan arang, di senyap
lengan kanan
di balik arus sungai, di tulang
setiap orang,
Maret dan April 2020
kita hanyalah batu, kita hanyalah
debu
dan akan baik jika membisu.
Rumah IbelFilza, Maret 2020
ILUSTRASI KORONA
nyawa adalah daun-daun gugur
yang melengkapi kemurungan tanah,
barisan cacing meliuk di bawah kaki
yang berjalan
menunggu jasad yang tumbang,
sedang pada pemandangan yang lain
di balik jendela, celah bilah bambu
dengan gorden tersingkap serat beludru
orang-orang baru mengingat Tuhannya
setelah menyadari dirinya
yang kecil, kerdil dan dekil
lebih kecil dari sebutir pasir.
Rumah Ibel, 2020
JARAK KITA, NYAWA KITA
jarak kita, nyawa kita
sentuh tenun jarimu
kurindu di ambang pintu
tapi untuk sementara
jarak kita, nyawa kita
bila kita bersentuhan
barangkali liang kubur bakal
menganga,
jarak kita, nyawa kita
dari jauh kita tersenyum
dari jauh kita membuat tenun.
Rumah Filza, 2020
A. Warits Rovi, lahir di Sumenep, 20 Juli 1988. Menulis puisi, cerpen, esai, artikel, dan naskah drama. Tulisan-tulisannya tersebar di media lokal dan nasional, antara lain di Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Majas, Republika, Media Indonesia, Seputar Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Majalah Femina, Indo Pos, Solopos,Tabloid Nova, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Padang Ekspres, Bali Pos, Tribun Jabar, Lampung Pos, Banjarmasin Pos, Basabasi.co, Radar Surabaya, Riau Pos, Suara NTB, Haluan, Rakyat Sultra, dan lain-lain. Bukunya yang telah terbit berupa kumcer Dukun Carok dan Tongkat Kayu (Basabasi, 2018).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar