Lukisan karya Bachtiar Basri. Sumber: g/lampungrilis |
CINTA
PENYAIR TIDAK BERAKHIR
Kata-kata
berhamburan, keluar dari kepalaku
menjadi
peraba tebing dan lembah yang baru
ditemukan:
di bawah meja berwarna cokelat manis
Aku
memutar musik orkestra klasik. Ketika
tak
merdu, mungkin aku telah menghentikan
pekerjaanku
menulis soneta dari sisa kata-kata.
“Oh,
aku mencintai kekacauan ini lebih dari apapun.”
Jika
semalaman nanti kata-kata tak kunjung kembali,
aku
pasti dihantui jeritan-jeritan puisi yang merasa
dikhianati.
tanpa ampun, meja kerjaku akan menjadi
penyangga
piano. Dan bunyinya mengusik kelelakianku.
Tetapi
aku tetap akan mencintai kekacauan ini.
mungkin
kalau cintaku tiada, telah aku buru yang berlari
di
lantai itu, di bibir meja kerja, di kelamin lampu-lampu.
sambil
membaca pesan “sedang apa, penyair?”
2020
TAFAKUR
DI KANCA KONA KOPI
Malam
ini aku mempertanyakan diriku
sebagai
lelaki yang gemar menulis puisi
setiap
kali lilin menyala di meja
menunggu
koran diantar di akhir pekan
Dengan
puisi apa hidupku berlanjut?
bertahan
dari sakit, dari penderitaan
yang
mendinding dan dipenuhi mural
binatang?
Dan
di tempat ini aku merasa asing
pada
puisi-puisiku sendiri.
Sebelum
napas keluar berjalan-jalan
lalu
kembali sebagai ritual panjang
hidup
ini seperti tanpa syarat, diciptakan
dengan
sebenar-benarnya keikhlasan
2020
MENUJU
PANTAI SEMBILAN
Di
dadamu, ombak mengantar usia lewat perahu
sebuah
jarak yang ditempuh dengan denyut
tak
henti bertahajut, mendoakan keselamatan
tak
dicegah badai atau gelombang
Sebuah petualangan
kata-kata dan nyawa
Sepanjang
pelayaran, tarian laut dan irama angin
tak
berjeda, meceritakan engkau dengan tubuh
membaca
warna: biru kemeja, biru laut dan
putih
kapas. menjadi rumah ikan-ikan
Di
dadamu pula, sebuah nama –nelayan,
pesiar,
pedagang– menyatu dalam dingin. Menyaksikan
setiap musim
bergantian
11012020
AMOR
JATUH DI TAMAN KOTA
Katamu,
cara
mencintai kota di antara
lampu
taman, perlu seratus soneta
serupa
yang ditulis Pablo neruda.
dan
kita akan menjadi pujangga.
Kataku,
cara
mencintaimu di antara
udara
dingin, romantisnya harus
melebihi
Nizar Qabbani. Dan engkau
akan
menjadi maha puisi.
2020
Romzul Falah HM,
lahir
di Sumenep, Juni 2000. Merupakan alumni Pondok Pesantren Aqidah Usymuni,
Terate, Sumenep. Sekarang menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik di Universitas Wiraraja Madura. Bergiat di Pabengkon Sastra, Kelas
Puisi Bekasi (KPB), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon
Sospol. Bisa melalui akun Instagram: @romzulfalahhm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar