Gambar: g/grid |
PERKARA
DI TENGAH PAGEBLUK
PUISI #1
Hampir beberapa pekan kepala berputar sendiri. Menimang
kecemasan perihal jalan raya yang mulai sengsara. Disepikan dari perangkat rencana
dan tujuan. Lampu merah cuma nyala senapas. Sedikit yang saling berkejaran. Dan
kematian tidak panjang dibicarakan. Kembang-kembang mayat cuma bergelantung di pintu
rumah sakit. Panggilannya lebih menyayat ketimbang bunyi klakson dari belakang.
Takdir dan rencana hadir tanpa pos-pos pemberhentian. Sebagaimana menolak cinta
dari yang ingin. Doa-doa di lampu kanan dan di lampu kiri sama terangnya. Melebihi
ucapan pengamen yang sampai sore tidak menerima segar angin. Tatapan jadi karat
karena sering lupa. Kamis disangka senin. Petani menangis karena gagal panen. Undangan
dibatalkan dengan pemberitahuan yang berbeda. Sekelas nasib dari tayangan papan
iklan di sudut kota. Tanpa ampunan meski
tidak tersiksa.
PUISI
#2
Siswa-siswi libur sekolah. Jam pelajaran dipajang di
rumah masing-masing. Selamat pagi tidak diucapkan di kelas. Mungkin kali ini jadi
tempat paling teduh bagi laba-laba. Bangku kelas menjadi lahan pembuangan tai tokek.
Sedang yang di rumah saja asyik bermain game online. Kabar kesehatan dan rindu belajar
senyap. Berjajar pada batas riang dan kehati-hatian. Tersiksa. Mungkin iya. Seragamnya
terlipat harum-mewangi. Saling berbisik antara kemeja dan celana, kemeja dan rok
panjang. "Kapan kita bisa melihat pagi, dan menyerap bau keringat siang?"
PUISI #3
Sepasang kekasih saling berhadapan. Ada topi di dekatnya.
Masih lembab keringat. Berjajar buku catatan penjualan. Keduanya sumringah. Meski
lupa jadwal kencan ataupun berpantai kiranya laba penjualan cukup mengembirakan
baginya. Di malam hari berkampanye dan di siang hari menerabas jalan raya, gang
dan masuk ke kampung-kampung. Kantong kresek besar digendong berisi masker. Penawaran
dimulai dengan harga paling tinggi. Setinggi mimpinya untuk berangkat naik haji.
Orang-orang tua, anak-anak muda dipaksa karena ingin menolak luka. Sebab kematian
adalah batas akhir untuk berkarir. Sementara waktu untuk bersenda-gurau serumah
belum habis tawanya. Masker-masker menyayap ke berbagai beranda. Seperti memberi
penyelamat meski penjualnya selalu tidak bisa mengucap selamat.
Surabaya, 2020
Achmad
Lubaidillah, kelahiran Sumenep, Madura. Alumni Sekolah
Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya. Menulis puisi dan skrip pertunjukan teater.
Saat ini masih aktif di Komunitas Tikar Merah Surabaya. Surel lubetkarya@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar