Oleh: Hidayat
Raharja*
Puisi merupakan
salah satu spesies dalam ordo kesusastraan yang paling banyak diminati di
antara spesies lain. Spesies ini paling banyak dituliskan dengan aneka maksud
dan tujuan. Mereka yang jatuh cinta dan yang patah hati menuliskannya dalam
puisi. Mereka berpuisi mengungkapkan perasaan kekaguman atau kekecewaannya.
Spesies yang terus tumbuh dan berkembang dengan varian-variannya dan menjadi
penanda setiap waktu dan perubahan lingkungannya.
Penanda
perubahan adalah ciri yang ditandai dalam tubuh spesies karena berbagai faktor
yang mempengaruhi lingkungannya. Kadang ia jadi penanda waktu, juga penanda
rindu. Di lain kala, ia menjadi penanda sebuah mala, juga petaka yang hadir dalam
kehidupan manusia. Puisi, menjadikan kata sebagai pembangun anasir tubuhnya.
Bagian yang hidup dan menyusun makna secara keseluruhan. Sehingga aktivitas
membaca puisi sebagai spesies tak ubahnya membaca peristiwa dan pengalaman
dalam diri yang bisa pula memberikan cermin bagi kehidupan secara holistik. Maka,
sering kali kita dapatkan dalam tubuh puisi tersusun oleh diksi-diksi yang ada
di sekeliling penyair.
Membaca
puisi-puisi BH. Riyanto dalam “La’ang” (Tankali, April 2020) didalamnya terhimpun
sejumlah 77 puisi. Sekumpulan puisi laksana deretan foto yang membingkai
berbagai peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. BH. Riyanto seperti mengandangkan
spesies yang berkeliaran di halaman dan belukar sekitar kampung. Spesies yang
mengingatkan kepada diri kita sendiri. BH. Riyanto mencoba menangkap setiap
peristiwa dan penanda di kampung sebagai isyarat yang harus dikekalkan lewat
puisi. Kampung rural tempat pohon siwalan tumbuh dan La’ang sebagai produk
olahannya sebagai sajian minum yang menyegarkan. Minuman, bukan sekadar
meredakan haus tapi juga menyiramkan kenangan ke kerongkongan waktu. Kenangan
saat musim panen tiba. Kegembiraan memandikan sapi di sungai, dan para gadis
dan perempuan berjalan di pematang sawah, keriangan lainnya yang eman untuk
dilewatkan.
Kegembiraan
yang senantiasa dirayakan, disyukuri dengan aneka pertunjukan dari saronen
sampai musik dangdutan. Kampung yang ramah dan penuh keakraban dan ikatan
kekeluargaan adalah kampung yang diabadikan BH. Riyanto. Daerah geografis yang
di dalamnya tertanam nilai-nilai immaterial.
Nilai kebersamaan dan kekerabatan yang sangat kuat. Sebagaimana dikatakan
Royyan dalam endorsment : puisi rumah,
dan kampung halaman bukan hanya gatra fisik, tetapi berhubungan dengan moral dan spiritual. Betapa
lekat kampung dalam benak BH. Riyanto, seperti pada larik puisi berikut:
/Setelah segelas la’ang
manis tuntas kau teguk/selanjutnya akan kau dengar lengkingan riwayat leluhurmu/lewat
suara-suara yang menukik menusuk khusyuk/; saronen
!//Para gadis desa boleh berdendang/para bibi muda boleh tersenyum di sepanjang
pematang/tapi ini bukan sekadar sebuah pesta di akhir panen/ini adalah
isyarat-isyarat alam dan cinta
; yang dikekalkan !//(Kampung, halaman 42)
Upaya untuk
mengekalkan isyarat-isyarat alam dan cinta dalam sebentuk puisi merupakan ikhtiar
penyair untuk menjadikan pengalaman pribadi sebagai pengalaman bersama. Salah
satu kekuatan dari puisi BH. Riyanto ia tak beranjak dari kampung halaman
“Madura” yang baginya sangat menarik untuk dikekalkan. Apakah ia punya kekhawatiran
aransemen budaya dan kemaduraan tersebut akan tergerus? Yang pasti sebuah kebudayaan
bergerak secara dinamis, tak ada yang orisinal. Semua telah berbaur dengan
perubahan, genetika saling bersilang dari akulturasi yang terjadi. Maka, tak
berlebihan jika spesies puisi BH. Riyanto tuliskan menangkap lokalitas kampung
sebagai nilai-nilai alternatif di tengah kecamuk nilai global-profan yang terus
mengikis.
BH. Riyanto
menyadari betul gegas waktu dan keadaan. Perubahan yang begitu cepat,
serta-merta, dan melesat. Secepat pergantian waktu yang dilibas oleh pelbagai
kesibukan manusia untuk memenuhi tuntutan kebutuhan. Perubahan waktu yang memberikan
kesadaran tentang kesementaraan dalam hidup. Sehingga apa yang ditemuinya
selalu terhubung dengan keberadaannya. Setiap yang ditemukan adalah peristiwa
yang memberikan pengalaman secara personal yang bermakna spiritual.
/Langit
biru sungguh/ di hari penghabisan bulan suci-Mu//
Bening
hening/ sejuk khusyuk/mendekapku//Betapa lekas waktu bergegas/ merangkum
selaksa rindu/pada Kekasih !// (Di Halaman, halaman 80)
Lanskap halaman
rumah di bulan ramadhan, merupakan ruang-waktu yang membawa BH. Riyanto pada
hening yang khusyuk. Hening yang menyeret pada kelengangan waktu yang begitu
cepat bergerak. Gerak yang merontokkan tik-tok usia pada fana dan merindukan
abadi.
Rindu kampung
halaman, rindu pulang tak tertahan. BH. Riyanto menyeret kita untuk selalu merindukan
kampung halaman. Pulang bukan sekedar kembali ke rumah, tetapi membasuh kembali
semangat yang telah luluh di tempat kerja, pun di tanah rantau. Maka semangat
pulang bagi orang Madura di rantau bukan sekadar “mudik” melainkan “toron” yang biasa dilakukan tiga kali
dalam setahun yaitu di Hari Raya Fitri, idul Adha, dan di Bulan Maulid untuk
merayakan kelahiran Rasulullah. Maka pulang bukan sekedar kembali tetapi
mengisi rohani dengan memperbaharui spirit kebersamaan dan keberagamaan.
...
/Lalu,
di sepanjang jalan berkelok, yang di
pepinggirnya/ di tumbuhi rimbun jati dan pohon berduri itu, petuah-petuah/
kakekmu juga wajib kau ingat; Bepa’ bebu’
guru rato !//
...
/Jika
di satu mimpi kau didatangi lelaki berkumis lancip/ dan berodeng kemerahan, lalu berkata; ‘e
tembang/ pothe mata, lebih bagus pothe tolang!’ Maka sudah/ pasti dialah
kakekmu!/
(Pulang,
halaman 40-41)
Potongan larik
pada sajak pulang, bukan sekedar kembali secara fisik tetapi juga secara
batiniah untuk selalu menghidupkan dan memaknai falsafah bâpa’, bhâbu’,
ghuru, rato. Tatanan filosifis kepatuhan
yang berangkat dari lingkungan keluarga “ bhâpa’ – bhâbu’ “ – ayah ibu sebagai dua
orang tua yang harus dipatuhi, sumber anutan dalam kehidupan. Peran guru
sebagai (pengganti) orang tua sosok yang berperan penting dan patut ditaati
selain kedua orang tua. Guru yang telah membsrikan ilmu oengetahuan juga
sebagai tempat mendiskusikan berbagai persoalan kehidupan. Baru kemudian hormat
kepada “Rato”, pemimpin yang ada dalam lembaga pemerintahan.
Êtêmbhâng potê mata ango’an potê tolang, sebuah falsafah yang menuntut kehati-hatian, menjaga diri untuk
membuat malu. Lebih baik mati daripada berbuat malu. Kekayaan kearifan lokal
yang ada di kampung halaman ( Madura). Maka ketika pulang BH. Riyanto mengajak
pula pulang secara batiniah. Suatu kepulangan yang mengingatkan bagi segenap manusianya
untuk meneguk kembali nilai-nilai kearifan lokal yang dilupakan karena gempuran
ajaran materialisme dan kemapanan yang menhabaikan harkat dan martabat
kemanusiaan.
Dalam buku
puisi “La’ang” BH. Riyanto mengajak pembaca untuk melihat kampung halaman
dengan berbagai kehidupan sederhananya, kebersamaan, dan keguyubannya. Kehidupan kaum tani dan nelayan dengan penuh
penghayatan. Puisi-puisi sederhana yang kadang terasa ringan dan bahkan seperti
kabar berita. Ajakan pulang untuk menggali nilai-nilai kearifan sebagai bekal
hidup mulia. Pulang dalam arti kembali memeluk kebaikan-kebaikan dan
nilai-nilai kemanusian yang menyeret pada pintu ketuhanan yang maha asih dan
bijaksana.
Idul Fitri
; Amir Hamzah
Tuhan
mudik
kembali
aku
pada-Mu
!
(2019)
Sumenep, 13 Mei 2020
* Esai ini sebelumnya terbit di Koran Radar Madura edisi Sabtu 23 Mei
2020
Biodata penulis
Hidayat Raharja, lahir di desa
Omben-Sampang, 14 Juli 1966. Menulis puisi dan esai di berbagai media cetak,
lokal dan nasional. Beberapa buku puisinya memenangkan sayembara buku pengayaan
yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, antara lain: Nyanyian
Buat Negeriku (2009), Jalan ke Rumah-Mu (2010). Puisi-puisinya juga
terangkum dalam berbagai antologi bersama. Saat ini ia berkhidmat sebagai
tenaga pengajar biologi di SMA Negeri 1 Sumenep. Kini tinggal di JL. Dewi
Sartika IX/12, Perumahan Bumi Sumekar Asri-Kolor, Sumenep.
Keren
BalasHapus