Desain sampul oleh Alek Subairi |
PULANG
Dahulu kakekmu, kata lelaki-lelaki sepuh berpeci tinggi
di warung kopi tua itu, selalu menyelipkan celurit tajam
berkarat di balik baju hitamnya!
Selepas dari jembatan beton, kacong, jangan kau
lengah. Beberapa doa harus kau baca. ‘Biar kau tetap
tenang dan tak kesasar lagi’; begitu pesan
ibumu
Birunya langit di pulau leluhurmu, adalah limpah berkah;
garam-garam tuntas dipanen sebelum hunjam hujan
menumpahkan air mata di pipi paman dan bibimu!
Lalu, di sepanjang jalan berkelok, yang di pepinggirnya
ditumbuhi rimbun jati dan pohon berduri itu, petuah-petuah
kakekmu juga wajib kau ingat; bepa’ bebu’ guru rato!
Tapi jangan pernah kau bayangkan serupa apa wajah
kakekmu. Kau sebut saja namanya, maka sejuklah
hatimu. Karena wajah keramatnya pun tak pernah
terekam kamera tukang foto masa itu.
Jika di satu mimpi kau datangi lelaki berkumis lancip
dan ber-odeng kemerahan, lalu berkata; ‘e tembang
pothe mata, lebbi bagus pothe mata!’ Maka
sudah
pasti dialah kakekmu!
Kakekmu
kata lelaki-lelaki sepuh berpeci tinggi di warung kopi
tua itu, selalu menyelipkan celurit tajam berkarat di
balik baju hitamnya. Dan kerap menebaskannya ke leher
bangsat para kompeni!
(2015)
KAMPUNG
Setelah segelas la’ang manis tuntas kau teguk
selanjutnya akan kau dengar jeritan riwayat leluhurmu
lewat suara-suara yang menukik menusuk khusyuk
; saronen
Para gadis desa boleh berdendang
para bibi muda boleh tersenyum di sepanjang pematang
tapi ini bukan sekadar sebuah pesta di akhir panen
ini adalah isyarat-isyarat alam dan cinta
; yang dikekalkan!
Di ujung siang di pinggir kampung itu
dua lelaki bertelanjang dada
turun ke kali memandikan sapi-sapi
di atasnya bicah-bocah menangkapi capung warna-warni
Malamnya
bulan bulat penuh
malu-malu di balik rimbun bambu
di tengah halaman seorang gadis duduk termenung
membayangkan rupa lelaki lanceng si peniup saronen
(2015)
SAPE SONO’
Inilah tanah para pencinta itu
sapi-sapi tak cuma dipecuti di ladang-ladang tandus
tapi juga dihiasi dan diberi jamu
Lelaki berkaos loreng mera-pothe
menyeruput secangkir kopi hitam
ebelum melatih sapi-sapi betina berjalan seksi
pagi itu
Malam ke malam cintanya terus ditumbuhkan
sapi-sapi betina itu semakin penurut
makann minumnya dicukupkan
dijaga, dipijat
dan dielus
Maka tibalah hari yang ditunggu
sapi-sapi betina itu masuk arena
Aneka alat musik leluhur mulai ditabuh
sapi-sapi betina dibariskan
langkah-langkah yang serasi
langkah demi langkah penuh arti
Hingga berakhir di bawah gapura keemasan itu
di sepotong balok kayu penentuan
Orang-orang bersorak gemuruh
sapi-sapi cantik sukses meminggirkan sangsi
Sapi-sapi cantik mengukir cinta
di jantung tradisi!
(2015)
Biodata penyair
BH. Riyanto atau Budi Hariyanto lahir pada 15
Oktober 1973. Melukis dan menulis puisi. Puisi-puisinya tersebar di media massa
lokal dan nasional, juga terhimpu dalam beberapa buku antologi puisi bersama. Buku
puisinya yang telah terbit; “Pesan Pendek dari Tuhan”, “Suramadu; kisah kau
dan aku”, dan “Hujan yang Mengguyur di Sepan jang Ingatan”. Saat ini
mengajar mata pelajaran Seni Budaya di SMAN 1 Pademawu, Pamekasan. Dan mukim di
Desa Kaduara Barat, Larangan, Pamekasan Madura. Email: budihariyanto2015@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar