doc/ arsippenyairmadura |
Oleh: Umar
Fauzi Ballah
Begitu galeri
pameran seni rupa dibuka, pengunjung dari
berbagai elemen masyarakat yang terdiri dari kelompok seni di berbagai kota dan
masyarakat sekitar, yakni masyarakat nelayan Tanglok, segera menikmati
pemandangan berbagai karya seni rupa:
seni instalasi “Museum Kapal” karya Syamsul Arifin, lukisan karya Sulaiman
Sanusi dan Hendri R. Sidik, puisi rupa karya saya sendiri, serta sketsa karya
Hidayat Raharja.
Di tengah
menikmati karya-karya seniman dari dan/atau asal Sampang, Syamsul Arifin masuk
hanya dengan menggunakan sarung yang dililit mejadi celana. Pengunjung belum
menyadari bahwa keberadaannya adalah bentuk performance. Kesadaran itu
mucul ketika Syamsul mulai menunjukkan gestur artistik ketika membentangkan
seutas tali dan meminta pengunjung menarik tali tersebut dari bentangan horisontal
dan vertikal di tubuhnya sendiri. Itulah sepat,
alat ukur tradisional yang digunakan untuk membuat kapal. Selanjutnya
teaterikal semakin jelas dihadirkan yang dipuncaki adegan membentur-benturkan
dua balok kayu yang melibatkan pengunjung.
Dua balok kayu yang dibenturkan itu satu sisinya berlubang dan satu sisinya
dibuat timbul. Saat dibenturkan, ia akan masuk ke lubang tersebut. Itulah konsep
yin dan yang atau lake ban bini.’
Performance Syamsul atas seni instalasi
yang dibuatnya merupakan pertunjukan perdana gelaran “Tanglok, Seni Rupa
Pertunjukan” (TSRP) yang berlangsung pada 26—28 Desember 2019 di Sampang. Jika
selama ini seni rupa: lukis dan instalasi merupakan bentuk seni “diam,” Syamsul
yang sebetulnya tidak memiliki dasar seni rupa, menjadikan instlasinya bergerak
dalam bentuk teaterikal sebagai dasar seni yang digelutinya. Ia
menyinergikan instlasi dengan teater. Karena itulah gelaran itu bertajuk
“seni rupa pertujuan.”
Secara
keseluruhan, konsep TSRP memang menyajian seni rupa dan pertunjukan. Untuk seni
pertunjukan, Syamsul, selaku penggagas program tersebut, mengundang berbagai
seniman dari berbagai daerah: Sanggar Gaharu (Bangkalan),daul dug-dug Lanceng
Ju’lanteng (sampang), Tuyul Dolanan Nuklir (Sidoarjo), Deni Noos (Sampang), dan
Rifal Taufani (Bangkalan). Secara bahasa, frasa seni rupa pertunjukan bisa
bermakna seni rupa dan pertunjukan.
Sebetulnya,
TSRP merupakan program presentasi Syamsul pascaresidensi kesenian dari Cemeti
Institute Juni—Juli 2019 lalu di Polewali
Mandar, Sulawesi Barat. Namun, dalam presentasi
di Sampang, setelah presentasi di Yogyakarta, 17
Oktober 2019 lalu, Syamsul berinisiatif melibatkan seniman Sampang lintas generasi.
Tujuannya, Syamsul ingin melihat isu pesisir dari sudut pandang kaum tua
(Hidayat Raharja), kaum muda (Sanusi Kacong), dan pendatang (Hendri R.Sidik),
dan Syamsul sendiri yang memperoleh berbagai sistem pengetahuan pesisir di Poliwali
Mandar. Di sana dia fokus pada wilayah pesisiran. Bagi Syamsul, isu kelautan di
Sampang dan Polewali
Mandar tidak jauh berbeda.
Syamsul
adalah seniman teater Sampang, untuk tidak mengatakan satu-satunya,
yang produktif dalam dua tahun terakhir. Ia
hanya lulusan SMP. Teater, menurut pengakuannya,
adalah dunia yang menyadarkannya dari kenalakan, yakni menjalani hidup tanpa
makna. Ketertarikannya pada teater itulah yang membuat Syamsul gemar membaca
dan belajar. Residensi adalah salah satu ikhtiar yang ia pilih. Hasilnya,
tahun 2017, ia mewakili Madura di residensi yang dilakukan Garasi Performance
Institute dan tahun ini dari Cemeti Institute, Yogyakarta.
Salah
satu pengalaman atau pengetahuan yang terbangun dalam benaknya tentang kesenian
adalah managemen petunjukan dan managemen isu. TRSP adalah buah gagasannya yang
saya katakan cukup berhasil. Ia paham bahwa produk seni bukan lahir dari
kekosogan, melainkan ada kerja riset yang mendahuluinya. Riset tentang ekologi
laut itulah yang sedang ia gali.
Ekologi Pesisir
Adalah sketsa Hidayat
Raharja yang bisa dikatakan paling gamblang dimaknai oleh pengunjung. Sketsanya
membangunkan kesadaran kolektif masyrakat Sampang tentang Tanglok era 80-an. Hal
itu terbukti ketika masyarakat Tanglok dari golongan tua menguap ingatannya
pada masa-masa Sampang di era tersebut.
Salah satu isu
menarik yang diangkat adalah perubahan Pelabuhan Tanglok dan reklamasi di
sepanjang pesisir Camplog sampai Sampang yang dulunya penuh dengan tumbuhan
mangrove. Salah satu hasil riset yang pernah
dilakukan Hidayat Raharja adalah munculnya pengakuan dari masyaraat yang
bertempat tinggal di kawasan reklamasi adalah
mudahnya perizinan membuka lahan di sepanjang pesisir.
Hidayat Rahaja
juga melihat perubahan Pelabuhan Tanglok yang kini hanya menjadi sarana
trasnportasi masyarakat Mandangin. Padahal, dulunya di sanalah tempat
pelelangan ikan. Ada dua faktor yang disorot, yakni politik amis ikan dan keberadaan
kilang minyak di tengah laut. Politik amis ikan adalah salah satu upaya
pembodohan yang dilakukan kepada masyarakat pada jenis jukok caek (ikan lemuru).
Ikan ini dianggap sebagai ikan yang amis. Padahal, dalam industri makanan cepat
saji, ikan ini menjadi sarden yang telah diolah
sedemikian rupa memiliki nilai jual yang tinggi. Dengan politik ikan amis ini,
dulu, jukok caek bahkan dibuang-buang
karena dianggap ikan yang tidak enak. Selain
itu, menurunnya populasi jukok caek
saat ini, ditengarai karena faktor kilang minyak yang membunuh ekosistem laut.
Sanusi Kacong
dalam karyanya berjudul “Terkenang” memvisualisasikan ikan asin secara surealis
dalam rangka mengingat masa-masa ikan asin menjadi primadona. Ia menangkap
kegelisahan ikan asin yang saat ini menjadi lauk yang tidak begitu diminati
masyarakat. Sementara itu, Hendri R. Sidik, melakukan pembacaan tema TSRP ke
dalam diri. Lima buah lukisannya adalah perjalanan waktu mencari jati diri yang
tersimpulkan dalam judul “Introspeksi Diri."
Syamsul melalui “Museum
Kapal,” sedang melakukan sinergi sistem pengetahuan tentang kapal di Polewali
Mandar yang menurutnya berbeda dengan proses pembuatan kapal di Tanglok. Bagi
masyarakat Polewali Mandar, yang disebut kapal adalah benda
pada pahatan pertama. Syamsul melihat kapal tidak jauh berbeda dengan anatonomi
tubuh manusia, seperti tulang punggung, tulang rusuk, dan kelamin. Teaterikal
yang ia lakukan adalah bentuk gugatan pada teknologi ketika kapal dengan mudah
mengalami kerusakan karena membentur tanggul penahan air laut.
Tidak mudah
membaca pertunjukan Syamsul, apalagi bagi masyarakat sekitar. Namun,
pertunjukannya menjadi tontonan dan teror bagi pengunjung ketika membenturkan
dua balok kayu yang merupakan simbol tulang punggung, sekaligus benturan dua
dimensi: modernisme dan tradisional. Pertunjukannya terlalu minimalis baik
waktu pertunjukan maupun instalasi yang ditampilkan untuk membangun kesadaran
masyarakat nelayan. Padahal, sebagai tontonan, terornya cukup berhasil.
Syamsul memilih isu pesisiran dan menempatkan acaranya di kampung nelayan
adalah upayanya menghidupkan kesadaran masyarakat dalam bentuk seni
kontemporer. Ia mampu menghidupkan gudang bekas penginapan pekerja pabrik tahu sebagai
ruang pertunjukan dan pameran. Sesuatu yang mungkin dalam banyak pandangan,
bahkan oleh masyarakat awam sekalipun, tidak estetis. Namun, dengan konsep yang
matang, gudang tua itu menjelma “teks” lain selama tiga hari gelaran TSRP. Pementasan yang
syarat dengan teror seperti karya Syamsul dan Tuyul Dolanan Nuklir menjadikan
nuansa pertunjukannya menyatu. Di satu sisi, kita juga disuguhkan musik-musik yang lebih
harmonis untuk dinikmati khalayak sehingga ruang gelaran menjadi lebih syahdu.
Umar Fauzi Ballah, lahir di Sampang 2 Juli 1986. Menulis puisi sejak kelas
1 MAN Sampang. Ketertarikan itu dilanjutkan dengan memilih kuliah Sastra
Indonesia Universitas Negeri Surabaya lulus 2009. Di Surabaya ia mengalami
pergesekan dengan banyak penulis. Ia kemudian tergabung di Komunitas Rabo Sore
(KRS) dan Teater Institut sembari nyantri di ponpes (mahasiswa) Sabilillah
Lidah Wetan Surabaya. Di kampus ia menjadi redaktur Majalah SESASI FBS UNESA. Tulisannya berupa
puisi, cerpen, dan esai pernah menghiasi berbagai media seperti Majalah Kidung, Harian Duta Masyarakat, Suara Karya, Sumut Pos, dan Surabaya Post,
dll. Puisinya berjudul “Ayat-Ayat Isroil” meraih juara II puisi untuk
Peksiminas Selekda Jatim dan juara pertama puisi berjudul “Rumah Sumpah Sie
Kong Liong” pada lomba cipta puisi Sumpah Pemuda 2008 yang diadakan oleh
Himpunan Indonesia-Tionghoa. Puisinya tercantum dalam beberapa Antologi
bersama, seperti Manifesto Illusionisme
(Dewan Kesenian Jawa Timur 2009), PestaPenyair
(DKJT, 2010), Duka Muara (KRS, 2008),
Ponari For President (Bable
Publishing Malang, 2009). Ia juga sering mengikuti berbagai event diskusi
sastra seperti Pesta Penyair Nusantara Kediri 2008, Halte Sastra Surabaya 2009,
Temu Sastra Jawa Timur 2009 berlanjut di Temu Sastra Nusantara di Solo 2009.
Sekarang menetap di Sampang Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar