Sumber gambar: g/ piclick |
PESAN UNTUK
MADURA BARAT
Di
bukit yang kering, kerendahan hati bertahta
kerling:
melankoli dan lerai.
Bumi
hangus di tangan seorang juru rawat.
Dan
jimat yang kau sangka kualat dan pernah
mengalungkanmu
adalah kehangatan dari
sejumlah
ingat bagaimana rakyat diminta
menghadap
ke barat:
mencatat
nama-nama ibarat, agama yang
menjilat,
dan yang mencuri segala harkat
runtuh
dari surga.
Bangkalan,
2019
RATNADI*
Apa
yang kau simpan dalam benak, Ratnadi?
Penglihatan
itu, atau seseorang yang jauh dari
silsilah
raja-rajamu yang pernah mengirim
pasukan
ke Blambangan dengan hati patah.
Kepedihan
lain dari mimpi sebagai perempuan
tak
sempurna, adalah warna penglihatanmu.
Kau
cemas, atas negeri lain yang datang.
Menyuntingmu,
namun tak seberapa lama pergi,
kemudian
hilang, dan tak kembali lagi.
Kau
cemas untuk sesuatu yang mengatasnamakan
kebetahan,
tapi luput. Kau ingin bertahan menerima
kutuk,
bahkan yang lebih lengkap dari perangkap
hiruk-pikuk
pesta kemenangan sebuah perang.
Kau
juga tahu siapa akhirnya yang memenangkan
perang
itu. Dan gerbang itu berdiri, dan megahnya
dipuji
seperti kebahagiaan cinta seluruh masa.
Itulah
perang yang telah memenangkanmu, Ratnadi.
Bukan
bual, bukan sumpah rindu yang mudah enyah.
Serta
bualan lain yang merusak denyut jantungmu.
Tapi
ia laki-laki, dengan mata lain. Dengan sayap
kupu-kupu
yang dibuatnya dari kalbu: penyelamatmu.
Yang
memilihmu dengan satu cara, tak bersorak.
Namun
penuh dongeng, serta restu dewi mata
paling
mentereng.
Laki-laki
itu pun kau harus tahu. Ia adalah penembang
durma
paling setia. Penakluk raksasa kala.
Dan
tentang apa saja akan ia kisahkan padamu.
Sesuatu
yang terbang di angkasa, yang hanyut di selat-selat,
yang
menetes di ujung pedang, atau bahkan di gurat dahi
seluruh
panglima yang pernah menyakitimu karena
memaksa
cinta jadi mudah dilupa.
Ia
akan kisahkan semua itu, dengan membawamu sebagai
waktu,
sebagai kehidupan. Bersama perasaan-perasaannya,
yang
tak sementara. Seperti gerak udara yang melapisi
susunan-susunan
jagat raya.
“Kau
akan di sampingnya, Ratnadi. Melihat dunia.”
Bangkalan,
2019
*Istri
Jokotole; putri raja Majapahit yang buta.
M. Helmy
Prasetya,
lahir di pada tanggal 28 November 1977. Pendiri Pusat Sastra dan Rumah 1000
Puisi “Arus Barat Madura”. Mendirikan Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan tahun
2004 dan meraih Komunitas Seni Terbaik Jawa Timur tahun 2014. Karya puisi tunggalnya,
antara lain Laki-Laki Senja (2001), Antologi Cinta (2003), Sajak Tuhan (2005), Ollessia (2007), Sepasang
Mata Ayu (2008), Palsu Maduara
(2013), Aku Menulis dengan Tangan Kanan
dan Tangan Kiri (2014), Tamasya
Celurit Minor (2015), Mendapat
Pelajaran dari Buku (2016), Mata yang
Baik (2016), Antropologi Hilang
(2016), Luka (2016), Bagaimana
Aku Menunggumu dengan Setia (2016), dan MaduraBat
(2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar