Oleh: Ahmad
Kekal Hamdani
Pendahuluan
Lumrah
dipahami bahwa ruang puisi adalah ruang sunyi—untuk tidak dikatakan asing dan
eksklusif. Puisi berada dalam territorial yang intim dan bernegasi dari hiruk
pikuk dunia sehari-hari yang sibuk dan gaduh. Puisi telah mengalami mistifikasi
sedemikian rupa sejak angkatan pertama dari generasi kepenyairan di Indonesia.
Seperti memasuki suatu ruang yang sengaja dibikin remang, gelap, jauh dan
dingin, puisi kerap diperlakukan sebagai suatu pengambilan jarak dari
kebanyakan fenomena keseharian yang artifisial.
Momen
puitik sebagai pijar kreatifitas dikonstruk sebagai sesuatu yang tak
sosiologis. Khas indivudu. Subjektif. Iklim sastra sendiri melegalkan hal ini
dengan mengabsahkan bahwa setiap penyair mesti memiliki sikapnya yang khas dan
unik—dalam arti memiliki sifat batin. Itu sebabnya sudah menjadi agama (yang
tak terlembagakan) bahwa puisi mesti ingkar dan menjauh dari keumuman dan
pengulangan.
Tidak
hanya dalam strategi literer, puisi sebagai suatu pertunjukan pun kerap kali
didesain demikian. Resitasi sastra memiliki bilik sendiri yang angker dengan
tata ruang yang temaram dan hening. Hal yang demikian semakin mengental sekitar
tahun 1970-an ketika lembaga-lembaga kesenian seperti Dewan Kesenian dan Taman
Budaya yang hampir terdapat di seluruh daerah di Indonesia menciptakan
laboratorium semacam Taman Ismail Marzuki di Jakarta.
Lukisan karya Hidayat Raharja. |
Orang-orang
liar dalam lingkaran pergaulan kesenian akhirnya ditundukkan dan dipelihara
dalam suatu ruang darurat di mana mereka yang menyempal ditundukkan. Diberi
gengsi layaknya kelas sosial borjuis lengkap dengan gaya hidupnya. Mereka
dipersilahkan merayakan dan berbicara perihal kesunyian dan pengalaman mistik
di buku-buku dan ruang teathre tempat mereka dapat menjual tangisan dan aksi
badut lewat semburan kata-kata. Tapi secara bersamaan dijauhkan—bahkan
menjauhkan diri—dari sandiwara sebenarnya yang berlangsung di bawah aktor
tunggal kapitalisme dan hipermodernitas yang telah menjadikan politik dan
represi negara sebagai alat terbaiknya.
Jadi
tidaklah mengherankan bila “iklim sastra” hanya dikuasai dan dinikmati sendiri
oleh lingkaran sastra itu sendiri. Hal ini sudah merupakan anugerah yang tidak
terkira bagi kita yang telah membiasakan diri dengannya: semacam iman bersama
dalam lingkungan kerja kesenian bahwa seni tinggi itu tak bisa dilampaui oleh
setiap orang dan kalangan. Penyair tenpenjara di dalam ruangan yang paling
nyaman untuk ia tinggali yakni imajinasi dan superioritas palsu. Gejala laten
ini merupakan fenomena umum yang sebenarnya juga terjadi di banyak kalangan masyarakat
lain.
Namun
sejak menggelembungnya kultur sosial-media, puisi telah mendapatkan sebuah
wilayah baru yang tanpa batas. Puisi-puisi bertebaran layaknya sampah yang
mudah saja dicampakkan—sekaligus dipungut—ke sidang pembaca. Lewat status
Facebook, ocehan di Twitter, dan ruang maya lainnya yang serupa. Kenyataannya
memang “sampah” tidak lagi dimaknai sebagai hal negatif—setidaknya bagi
sebagian orang—karena di negara ini tak sedikit yang memang bertahan dan
melangsungkan hidupnya dengan mengais sampah. Memelihara yang tersisa dan
memungut yang dianggap tak penting.
Sastra
kini tampaknya memang berada dalam suatu atmosfir yang sangat kompleks. Ia
sebenarnya tak dapat kita sempitkan sebagai politik literer yang termaktub
dalam teks-teks bisu di atas kertas yang dicetak dan dijilid dalam mesin
produksi besar-besaran. Karena teks tak demikian saja dapat hadir sendiri ke
tangan pembaca. Ia melewati suatu arus rumit dari lingkungan budaya di mana
nilai-nilai dan aktifitas sosial bergerak dari ruang ke ruang, dari personal ke
kolektifitas pencercapan suatu masyarakat yang “tak bersih”—meminjam istilah
Afrizal Malna. Sastra dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bergerak
tidak hanya dengan satu cara. Lingkungan teks—yang tak terbatas secara
pemaknaan—tak dapat sepenuhnya melakukan kontrol-kontrol politis untuk
menggiring pemahaman pembaca tanpa faktor-faktor yang bergerak di luar teks.
Itu
sebabnya catatan kecil ini berupaya melakukan refleksi atas kondisi-kondisi di
mana sastra dapat dilihat dari hubungannya dengan faktor-fator di luar dirinya.
Mempertanyakan kembali bagaimana laku dan sikap pelaku sastra (puisi) melakukan
upaya-upaya konstruktif bagi sastra itu sendiri dan dunia di sekitarnya. Dalam
hal ini saya mencoba mengambil satu dua contoh kasus bagaimana hal ini dapat
kita gali bersama melalui puisi-puisi yang ditulis oleh M. Fauzi dalam karya
mutakhirnya “Migrasi Hujan” dan Benazir Nafilah dalam “Madura: Aku dan Rindu”.
Kuasa
Imaji dan Imaji Kuasa
Imajinasi
tentang Indonesia—sejak awal dikibarkan upaya-upaya revolusi
kemerdekaan—dibayangkan sebagai suatu perasaan sepenanggungan (yang
seakan-akan) dapat melampaui kenyataan riil yang dihadapi oleh kompleksitas
kultural-politik daerah-daerah jajahan. Para Founding Fathers barangkali
menyadari bahwa upaya deklarasi kemerdekaan hakikatnya hanyalah gerbang awal
memasuki Indonesia sebagai suatu “persoalan” bersama.
Suatu
negara dibangun untuk mengikat imajinasi ini dalam suatu komitmen dan
keterlibatan bersama. Setiap individu—dengan sadar ataupun tidak—ditarik dari
“pribadi” lantas dilibatkan dalam kepentingan umum untuk bersiaga dari luar
diri mereka sendiri. Konstruk ini mendapatkan ledakannya dari represi dan “rasa
sakit” yang sama atas upaya-upaya kolonialisme mengeruk kekayaan mental dan
materiil daerah-daerah di Nusantara.
Kejumudan maupun rasa sakit dari masa lalu dan imajinasi tentang masa
depan dihadirkan secara serentak dalam tubuh hari ini dalam perwujudan (yang
dibayangkan) cita-cita milik bersama.
Dalam
memandang masa depan dan arah tujuan yang dipercaya sebagai cita-cita bersama
inilah Indonesia lantas lahir dari rahim jadah idealitas negara-negara
kolonial. Dalam Orientalism (1979) Edward Said menjelaskan bagaimana
Barat secara intelektual telah menciptakan dunia Timur (negara-negara
pascakolonial). Sejalan dengan banyak sarjana beranggapan bahwa negara-negara
pascakolonial dalam struktur, konsep kebijaksanaan dan ideologinya merupakan
fotokopi negara-negara kolonial.
Lewat
upaya-upaya kanonik ilmu-ilmu oriental, Nusantara dibentuk dalam
gambaran-gambaran moei indie (Hindia Molek). Indonesia tak ubahnya seperti
lukisan Moei Indie yang berarti ‘Hindia Molek’, yang tak hanya secara
visual memiliki bentuk indah, permai, dan damai. Tetapi lebih dari itu, secara
konsep dan muatan di dalamnya ia memiliki misteri yang mengancam, sebuah
kegelapan apokaliptik dari abad yang menyembunyikan “keliaran dan kebuasan”
adabnya di balik kecantikan.[1]
Lewat
gambaran kecil narasi-narasi seperti di ataslah sebuah masyarakat baru
dibentuk. Politik, ilmu pengetahuan dan kesenian memberikan peranan yang hampir
serempak dan resiprokal dalam membentuk kesadaran bersama, merebut ruang-ruang
publik, dan menanamkan belantara kesadaran ke tiap individu yang dilepaskan
dari dirinya untuk mengambil imajinasi (pembayangan sepenanggungan) serta
komitmen dari sebuah ikatan territorial politik—maupun kepentingan. Komitmen
ini lantas dibangun di atas fondasi-fondasi ideologis di mana struktur-struktur
kepentingan dibangun di atasnya.
Sayangnya,
banyak kalangan (termasuk sastrawan) beranggapan bahwa imajinasi bersama ini
telah final dibentuk bersamaan tercapainya proklamasi politik bangsa Indonesia.
Ilmu pengetahuan dan kesenian akhirnya datang dan diserap sebagai sesuatu yang
objektif; lepas dari ikatannya secara kontekstual zaman dan ruangnya. Revolusi
kemerdekaan dan politik dipahami sebagai hasil akhir dari sebuah upaya dari
integrasi sosial-budaya yang hingga kini bergulir.
Kosmologi
Murung dan Madura sebagai Wajah Politik
Tiap-tiap
kita di dalam suatu lingkungan geografis tertentu selalu memilki cara untuk
bertahan, beradaptasi serta menghayati lingkungan di mana ia tinggal.
Lingkungan geografis sebagai suatu biografi tubuh masyarakatnya memiliki andil
yang cukup besar dalam membentuk pandangan hidup juga produksi-produksi nilai
di dalamnya.
Telah
lama sekali kita mencoba memberikan arti dan hubungan yang erat dengan alam di
mana kita tinggal. Mengenalinya, memberi makna padanya, mengolah dan
mendaya-gunakan faktor-faktor material alam untuk kepentingan keberlangsungan
hidup mereka. Sejak jaman batu hingga teknologi industri alam telah memberikan
ilham kepada kita membangun peradaban. Tiap-tiap peradaban melihat alam dengan
kosmologi yang berbeda-beda namun tak satu pun di antaranya yang dapat
melepaskan diri dari faktor alam maupun kosmos tersebut.
Ikatan
kita dengan alam telah dimulai sejak agama-agama dan mitologi purba terlahir.
Kepercayaan dan mitologi ini menjembatani bagaimana manusia melihat alam
sebagai gambaran dari wajah Tuhan. Penghayatan terhadap alam mengantarkan
manusia ke tangga-tangga spiritual menuju yang Maha. Nabi Ibrahim (Bapak para
nabi) terlebih dahulu menyembah—merenungkan—alam sebelum akhirnya menjumpai
Allah sebagai Tuhan satu-satunya pemelihara yang paling mungkin dan mengatasi
segala sesuatu.
Peradaban
mesin bangkit dengan mempelajari sifat-sifat alam dalam labotorium modern.
Membangun gedung-gedung pencakar menggantikan keindahan gunung dan bebukitan.
Jembatan-jembatan dibangun menghubungkan
pulau-pulau dan menggarisi selat-selat. Menghubungkan aktifitas perdagangan ke
dalam suatu agenda industri dan gaya hidup konsumtif yang mengerikan.
Sekolah-sekolah bertingkat dibangun untuk menciptakan budak bagi hasrat
menundukkan alam dan mengasapi ambisi manusia akan kejayaan--sebelum akhirnya
memasuki bilik-bilik alienasi. Manusia menjadi mesin pengeruk yang berlipstik,
Raksasha dalam wujudnya yang paling cantik.
Kesadaran
ruang ini tak hanya menimbulkan suatu keinsafan manusia sebagai bagian dari
alam akan tetapi (cita-cita konyol) sebagai penakluk dari kenyataan material di
sekitarnya. Potensi alam semesta sebagai penyedia sumber daya dipandang sebagai
sesuatu yang disemenakan dalam memenuhi ambisi-ambisi material yang ada. Kita
lantas tidak cukup mengetahui—lantas menguasai—tapi juga mengeluarkan seluruh
ambisi eksploitatif atas ruang dan yang terdapat di dalamnya. Superioritas
inilah yang kemudian berlanjut atas usaha-usaha rasionalisasi atas
tindakan-tindakan timpang, ekspansif dan eksploitatif: baik atas nama individu,
nasionalisme bahkan agama.
Kegilisahan-kegelisahan
di atas tampaknya juga menjadi suatu latar bagi beberapa penyair Madura
generasi mutakhir dalam melakukan penghayatannya dalam satuan geografis “kecil”
alam lokalitas Madura. Meski sangat minim kesadaran di atas ditransferensikan
ke dalam puisi-puisi yang merasuk ke dalam wilayah sosial-ekonomi dan politik.
Sebagian besar merupakan kosmologi yang dibentuk dari penghayatan-penghayatan
teologi-sufistik khas pesantren. Hal ini tentu bukan tanpa alasan—walau hal ini
merupakan fragmentasi dari realitas riil yang sejatinya subordinasi dari budaya
yang lebih holistik—karena Pesantren merupakan suatu pendidikan “kultural” yang
dominan di Madura.
Hal
ini terlihat jelas dari diksi-diksi alam yang sangat pekat dan mengental dalam
strategi-strategi penggarapannya. M. Faizi yang menggarap kosmos dan simbolisme
alam semesta dalam anggitan religiusitas (lihat Permaisuri Malamku, Diva
Press 2011). Hidayat Raharja dengan lirisisme romantiknya. Timur Budi Raja
tampak seperti mengemas Madura dalam suatu ransel dan melakukan sublimisasi
akan alam Madura yang hilang dalam perjalanan aku lirik-biografisnya (lihat Opus
154, AkarHujan Press 2012). M. Fauzi yang merekam peristiwa dramatik dalam
lalu lintas diksi urban dan alam Madura. Madura yang curiga dan skeptik. Dua
terakhir sama-sama menggunakan diksi benda-benda artifisial dan istilah dari
abad hyper-modern meski dalam perilaku dan visi yang berbeda.
Dalam
beberapa puisi Hidayat Raharja—terutama yang ditulis antara tahun 2011 sampai
2014—tampak menandai akhir dari romantika alam yang perawan dan murni dalam
menjelaskan gejala alam Madura yang gemulai seperti dalam puisi-puisi D. Zawawi
Imron. Puisi-puisi D. Zawawi Imron tampaknya merangkak dalam binar mata kanak
yang takjub memandang dunia (baca Refrein di Sudut Dam, Bentang Budaya 2003).
Hidayat Raharja setia terhadap lirisisme-romantik namun mencoba membangun
jembatan yang melihat alam Madura sebagai gejala dari lungkrahnya struktur dan
nilai lama.
Migrasi
Realitas ke Bahasa dan Bahasa ke Realitas (Tentang Puisi M. Fauzi di Migrasi
Hujan)
Konsekuensi
dari respon aku lirik dalam puisi yang ditulis oleh penyair-penyair Madura
terhadap kesadaran akan ruang dan waktu yang menghidupinya memang beragam.
Namun dalam banyak kesempatan saya kerap mengatakan bahwa setidaknya terdapat
dua pola besar dari penyair Madura dalam memandang ke-Maduraannya. Pertama,
mereka yang melihat Madura sebagai idealitas murni. Yakni mereka yang
berdekat-dekat dengan lirisisme alam luar—yang masih murni dan melambai—dan
alam dalam dirinya sendiri. Kedua, mereka yang melihat Madura sebagai
problematika. Madura yang terancam. Madura yang bocor dan terbelah. Madura yang
menyambut apa-apa yang dari luar dirinya, baik konstruktif maupun sebaliknya.
Saya
melihat M. Fauzi sebagai bagian kedua. Hal ini semakin menajam jika kita
menelisik puisi-puisi M. Fauzi sebagai suatu karikatur yang nyiyir. Berbeda
dengan generasi-generasi sebelumnya yang cenderung memiliki struktur yang
simple dan kokoh. M. Fauzi menarik tubuh kreol dari benturan nilai antara yang
tradisional dan modern juga sebagai strategi tipografisnya. Memang sangat mudah
kita terjerembab dalam rasa capai dalam memasuki struktur puisinya yang
barangkali aneh—untuk tidak dikatakan mengada-ada. Mungkin hal ini adalah suatu
sikap kesadaran yang lain, di mana bahasa yang paten juga mewakili Madura yang
stagnan. Bukan ketentraman dan kesederhanaan daya ucap barangkali yang
ditujunya, tapi harmonisasi dari yang amburadul pada apa-apa yang dirancang dalam
diksi-diksi yang dipilihnya.
Dari
Rahim Madura (Tentang Puisi Benazir Nafila dalam Madura: Aku dan Rindu)
Dalam
banyak kasus kita barangkali akan sangat mudah untuk menuduh bahwa jika seorang
istri menulis puisi dan rupa-rupanya suaminya nota-bene seorang penyair pula,
intersubjektifitas dan saling keterpengaruhan pasti terjadi. Tentu pandangan
semacam ini rentan berada dalam suatu paradigma patriarkis jika dipandang dari
posisi gender, serta potensial terjadi jika kita lihat dari keterpengaruhan pergumulan
yang intens gagasan maupun laku dalam suatu pola hubungan yang intens. Tentu
sangat debatable.
Tapi
dalam kasus karya-karya Benazir Nafilah—terutama dalam antologi puisi
tunggalnya yang pertama; Benazir, Memberi dan Hutan— saya meyakini hal ini terjadi.
Kita bisa melihatnya dari keintiman dan keseragaman pola-pola metaforik yang
ditulisnya sangat berdekatan dengan karya-karya M. Fauzi. Namun saya tak
melihat ini sebagai sesuatu yang problematis. Saya menginsafinya sebagai suatu
bagian dari suatu proses puitik yang paling penting; jujur dan sederhana.
Kesahajaan.
Berkat
kesetiaan dan ketekunannya terhadap kesederhanaan itulah barangkali, Benazir
sampai dalam perwujudan karyanya yang seperti kini. Terdapat tema-tema penting
yang bisa kita catat dalam puisi-puisi Benazir, dan itu semua ia mulai dari
sebuah ruang paling intim yakni keluarga. Aku lirik yang dihadirkan mewakili
beberapa peran yang memang tak jauh dari dirinya sendiri; Perempuan, Kekasih
(Istri), Ibu, bahkan dalam satu dua puisi ia membayangkan dirinya sebagai yang
di luar “Perempuan”.[2] Ia seperti sebuah dentuman
lembut yang menghambur kepada persoalan-persoalan di sekitarnya.
Sangat
langka kita mendapati penyair perempuan asal Madura, baik yang di perantauan
maupun yang bermukim di kampung halamannya. Benazir adalah contoh dari
pengecualian hal ini. Tak tanggung-tanggung Benazir menggarap tema-tema
lokal—yang meski di banyak sisi belum menyentuh dan menghadirkan persoalan
faktual—dengan kepiawaian puitik yang saya kira cukup mengejutkan. Saya
menemukannya di dalam puisi-puisinya, seperti: Tembakau, Singkong, Suramadu,
Cuaca Madura, Jika, dll.
Bagian
Awal dari Sebuah Penutup
Barangkali
puisi menjadi suatu refren dan pembendaharaan yang paling kaya secara kuantitas
dalam melakukan rekaman kenyataan (kontekstualisasi) alam Madura dibanding
catatan-catatan etnografis yang ada. Hanya saja kesadaran puisi sebagai suatu
catatan historis maupun pustaka intelektualitas masihlah sangat minim dalam
proses reproduksi nilai yang ada. Hal ini tidak hanya rentan menimbulkan
miskinnya kajian serta minimnya interpretasi atas gejala-gejala sosial budaya
yang ada, tetapi juga—secara otokritis—laten mendudukkan puisi sebatas
berkedudukan sebagai seni untuk seni.
Apa
yang ingin saya tunjukkan—melalui pembacaan kecil saya—dari tiap-tiap bagian
dari tulisan ini adalah kenyataan bahwa puisi (dan mungkin juga penyair)
menempati sebuah ruang yang tanpa batas di mana segala hal baik yang sifatnya
fundamental maupun yang berbasis material (struktur) selalu berada dalam
ketegangan untuk saling mempengaruhi. Pertanyaan yang lebih penting dari
kesadaran yang demikian bahwa bukan lagi bagaimana sebuah puisi hidup (indah)
dan menghidupi dirinya sendiri, akan tetapi bagaimanakah puisi menjadi
berarti—khususnya dalam mempengaruhi dan memberikan timbal balik yang
signifikan bagi persoalan riil dan spesifik di luar dirinya? Pertanyaan ini
bagi para aktifis dan pegiat sastra akan mudah percaya bahwa bukan “puisi” yang
penting, tapi bagaimana kita menciptakan suatu kondisi puisi bisa dimungkinkan
lahir dan meresap ke dalam persoalan bersama untuk mengawal perubahan yang
dibutuhkan. Terima kasih. []
Yogyakarta,
2015
Ahmad Kekal Hamdani, penyair berdarah Madura ini lahir di sebuah panti Katolik di kota Jember
5 Agustus 1987. Tahun 2000 hingga 2008 menghabiskan waktunya belajar di
beberapa pesantren di Madura, sebelum akhirnya hijrah ke Yogyakarta. Menulis
puisi dan esai sastra-budaya. Tulisannya tersiar si media massa lokal dan nasional
seperti Horison, Basis, Suara Medeka, Jawa Pos, Minggu Pagi, Bali Post,
Majalah GONG, Pikiran Rakyat, Padang Ekspres, dll. Puisinya termasuk dalam
antologi Pedas Lada Pasir Kuarsa (TSI Bangka-Belitung, 2009), Antologi
Puisi Musibah Gempa Padang (Kuala Lumpur, 2009), Pesta Penyair Jawa
Timur (Dewan Kesenian Jatm, 2010), Narasi Tembuni (KSI, 2012), dll. Sejak akhir 2008 bersama kawan-kawan membangun komunitas-Masyarakat Bawah
Pohon Yogyakarta.
Selain menulis, aktivitas
senggangnya adalah melukis, kini mukim di Pamekasan. Buku puisinya Rembulan
di Taman Kabaret (Kendi Aksara) dan Gembala Tidur (Indie Book
Corener). Kini menetap di Pamekasan, Madura.
[1]
Dalam sejarah seni rupa
modern misalnya, kita mengenal sosok Raden Saleh yang beberapa kalangan
terutama di masa-masa awal revolusi menganggap karyanya sama sekali bukanlah
cerminan dari semangat nasionalisme. Teknik dan konsepsi yang ia pelajari di
dunia Eropa dalam perlindungan dan pengayoman Kerajaan Belanda diakui oleh
dunia adalah sebentuk penyelewengan—kontra revolusi. Tapi jika kita melihat
sekali lagi karyanya yang menggambarkan peristiwa ditangkapnya Pangeran
Diponegoro kita dapat menyaksikan bagaimana Raden Saleh melakukan konstruksi
kesadaran dengan menggambarkan Pangeran Diponegoro sebagai sosok yang teguh dan
kokoh pada detik-detik terakhir ia ditangkap.
[2] Lihat puisinya yang berjudul “Selamat
Pagi Madura” ia menulis: Sebatang rokok aku hisap dari tanah madura, hlm.
82. Lihat juga “Jalan-jalan Ke Surga”, hlm. 41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar