Oleh: Masyithah Mardhatillah
MENINGKATNYA
suhu politik akhir-akhir ini memberi dampak positif bagi popularitas bahasa
Madura di “rumah”-nya sendiri. Ia menjadi lebih familier karena banyak
digunakan dalam berbagai kesempatan maupun atribut kampanye. Gaya komunikasi
demikian tentu cukup beralasan sebab ia mampu menghadirkan kesan mendalam soal
keberpihakan pada rakyat, eratnya ikatan emosional, kesederhanaan, dan lain
sebagainya.
Sebelumnya,
kemajuan teknologi yang memperluas akses maupun perangkat informasi ikut
berandil dalam hal ini. Bahasa Madura tak lagi hanya populer sebagai lingua
franca, akan tetapi mulai menjadi identitas dan kebanggaan. Berbagai platform
media sosial yang ramai dikonsumsi masyarakat turut memudahkan promosinya, baik
untuk keperluan hiburan hingga agenda pelestarian dan promosi kekayaan lokal.
doc/ arsippenyairmadura |
Bersama
dengan itu, penyedia barang dan
jasa tak mau
ketinggalan. Mereka ikut melancarkan promosi dengan bahasa atau latar
budaya Madura. Bahkan, trademark bisnis berbahasa Madura semakin menjamur,
termasuk slogan Pemkab Pamekasan dan Madura United. Kecenderungan demikian,
alih-alih dianggap kuno dan ketinggalan zaman, justru mengesankan kentalnya
lokalitas yang susah dicari padanannya di tempat lain.
Ini
tentu menjadi kabar bahagia. Sebab, meski bahasa Madura tidak pernah absen dari
kurikulum pendidikan formal tingkat dasar dan menengah, popularitasnya nyaris
selalu kalah bersaing dengan bahasa nasional, bahasa gaul atau bahasa asing
yang telanjur dianggap lebih dapat menaikkan prestise pemakainya.
***
Momentum
naiknya popularitas bahasa Madura, karena itu, layak diapresiasi sekaligus
dikaji dari berbagai aspek. Ini utamanya karena sebagai kekayaan lokal yang
lebih intens ditransmisikan melalui budaya oral, berbagai problematika bahasa
Madura hingga saat ini belum benar-benar teruraikan. Selain itu, pelestarian
bahasa Madura dari generasi ke generasi tidaklah terjadi secara formal,
melainkan kultural.
Itulah mengapa,
tidak sedikit siswa
yang mendapat nilai
jelek pada mata pelajaran bahasa Madura meski pada saat
yang sama sangat lancar menuturkan bahasa daerahnya. Problem demikian, selain
berakar dari perbedaan (kosakata dan dan dialek) tiap kabupaten bahkan daerah,
strata bahasa berdasarkan skala kesopanan atau kurang populernya beberapa kata
tertentu, juga sangat dipengaruhi oleh ejaan.
Sedikitnya,
ada tiga titik terawan yang menjadi “lahan subur” terjadinya kesalahan
penulisan ejaan yang tepat ucap. Pertama terkait dengan variasi dialek di mana
gaya tutur lisan sebagian (besar) orang Madura cenderung dipungkasi dengan
bunyi ”h” untuk kata-kata yang berakhiran huruf vokal. Gaya demikian kemudian ”dipaksakan”
pada bahasa tulis (ejaan), semisal kata marè (Madura: selesai) dan kanca
(Madura: teman) yang lumrah ditulis mareh dan kancah dengan
menyertakan konsonan ”h” aspiran.
Kedua
adalah kekeliruan dalam pemilihan huruf vokal, seperti ketumpangtindihan
penggunaan ”a”, ”e”, serta ”â”. Dalam menerjemahkan ayam, misalnya, versi tulis
yang lebih sering dipakai adalah ajem dibandingkan ajâm (ejaan tepat ucap).
Begitu juga dengan gerre yang lebih populer dibanding gherrâ (Madura: kaku),
dhere dibanding á¸dârâ (Madura: darah), bha’en dibanding bâ’ân (Madura: kamu)
dan lain sebagainya.
Ketiga
adalah perihal kesalahan dalam menentukan huruf konsonan yang tepat ucap. Ini
biasanya terjadi antara antara ”j” dan ”c” (jubhâ’ namun tertulis cube’,
Madura: jelek), ”bh” dan ”p” (bhunten namun tertulis punten, Madura: tidak),
”k” dan ”gh” (kengku’, seharusnya ghângghu’, Madura: ingin melakukan/menyantap
sesuatu) dan seterusnya.
Selain
perihal minimnya wawasan kebahasamaduraan, tiga kesalahan di atas umumnya
terjadi karena alasan efisiensi. Pengguna bahasa Madura begitu saja
menyesuaikan bahasa tulis selayaknya bahasa lisan. Namun, di antara ketiganya,
poin pertamalah yang paling sederhana sebab ia hanya terkait dengan dialek.
Sementara itu, dua poin lain “melibatkan” kaidah-kaidah yang barangkali tampak
rumit bagi masyarakat awam dan masih eksklusif menjadi ”wilayah” para pakar.
***
Meski
tampak sepele, tidak terlalu mengganggu dan tetap dapat dipahami pembaca,
kelaziman yang demikian tentu tidak baik jika dibiarkan. Tak elok jika hal
semacam ini menjadi ”dosa warisan” yang di kemudian hari akan susah diurai
ujung pangkalnya karena ketiadaan respons serius dari ”pihak berwenang”. Ini
menjadi layak dipikirkan, sebab naik daunnya bahasa Madura tak hanya membawa
angin segar, akan tetapi juga tantangan yang tak kalah besar.
Jika
selama ini kajian bahasa Madura berfokus pada sekolah, kampus, komunitas
kesenian dan kebudayaan, media, pegiat atau pemerhati bahasa, sekaranglah
saatnya mengimbangi popularitasnya yang melejit dengan agenda pemasyarakatan
ejaan yang baik dan benar.
Agenda
besar ini bisa dimulai dari langkah-langkah kecil semisal menghadirkan ejaan
bahasa Madura yang tepat melalui iklan, pengumuman, nomenklatur, slogan, dan
perangkat informasi populer lain milik pemerintah daerah, public figure
atau pihak terkait.[]
**) tulisan ini sebelumnya tayang di Radar Madura dan radarmadura.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar