doc/ arsippenyairmadura |
Oleh: Raedu Basha
Sebelum akhirnya mengenal Daviatul Umam bertahun-tahun
kemudian, tepatnya beberapa hari yang lalu di akhir Maret 2019. Pertama-tama
saya sudah mengenal puisinya terlebih dahulu, tepat ketika saya menjadi kurator
Festival Sastra KMSI UGM dan menemukan puisinya pada tahun 2016.
Selama kurang lebih tiga tahun saya menjadi tukang kurasi
lomba cipta puisi dalam hajatan Unit Kemahasiswaan KMSI di FIB UGM itu, tradisi
saat kuratorial tentu saja selalu terhidang debat panas atas karya-karya yang
masuk ke panitia lomba. Semakin pilihan karya menjadi sedikit, maka parapadu
semakin sengit.
Di kantor Prodi Sastra UGM, parapadu itu berlangsung
bertiga. Di tangan kurator lain, Pak Suhardi dan Mas Dede, keduanya adalah
dosen dan asisten dosen, saya temukan keduanya memilih puisi berjudul
“Annuqayah” masuk sepuluh besar. Sedangkan saya sendiri mengesampingkannya
barang sejenak. Karena saya sudah curiga dan sudah menebak, ini pasti santri
Annuqayah Guluk-guluk. Perlu Anda ketahui, penjurian kurator dilakukan tanpa
membubuhkan nama penulis. Tapi dengan cara penulis puisi berjudul Annuqayah
itu, dengan cara menuliskan judul demikian, otomatis saya tebak.
Guna menjaga keobjektifan, saya menyisihkannya sejenak.
Biarkan kedua kurator yang lain membicarakan apakah sajak itu layak atau tidak
untuk dimasukkan pada senarai pemenang. Tapi sebagaimana pembacaan saya,
kurator-kurator lainnya tampak bersemangat untuk menjadikannya salah satu
jawara, bukan hanya sebagai nominasi. Saya menjaga marwah diri sebagai alumni
Annuqayah dengan cara saya diam saja. Tutup mulut dan menunggu alasan-alasan
orang lain untuk parapadu. Hingga semua sepakat, dan saya mengangguk untuk
posisi juara III nasional. Kendati kedua kurator tidak mengetahui bahwa saya
adalah alumni Annuqayah, mungkin sampai sekarang.
Tahun demi tahun berjalan seperti biasa, hingga suatu
ketika datanglah seorang anak muda memperkenalkan dirinya bernama Daviatul
Umam. Dia datang ke rumah saya dengan sebuah motor yang dikendarainya seorang
diri dari pulau kecilnya, Pulau Talango, sekitar 50+ kilometer ditempuhnya,
tiba di rumah saya di desa Bilapora Timur, Kecamatan Ganding.
Di hadapan saya, dia menceritakan bahwa dirinya berproses
di Sanggar Andalas Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk Sumenep dan sempat
menjadi ketua Andalas kala itu. Ketika saya di Annuqayah, teman-teman saya yang
aktif di Andalas antara lain M. Wail Irsyad, Abdullah Mamber, dan Sofyan RH.
Zaid.
Suatu penuturan Daviatul Umam membuat saya kaget, dia
ternyata sudah keluar dari pesantren Annuqayah sejak 2015. Jadi, puisi berjudul
Annuqayah itu dia tulis ketika dirinya sudah tidak di Pondok Pesantren
Annuqayah lagi. Kenapa kamu berhenti dari pondok di saat sekolahmu belum lulus?
Tanya saya.
Dia bercerita, sesuatu telah menguji masa remajanya. Saya
merasa iba. Padahal seandainya dia mampu menyelesaikan pendidikan aliyahnya
kala itu, sesungguhnya sertifikat juara lomba cipta puisi di Festival Sastra
KMSI UGM dapat dijadikan tiketnya untuk mendapatkan beasiswa masuk ke UGM lewat jalur PBUB
(Penelusuran Bibit Unggul Berprestasi). Jalur ini sudah pernah terjadi pada
masa-masa sebelumnya, karena sertifikat event-event UGM sangat dihargai oleh
lembaga UGM. Sayangnya dia mungkin kurang sedikit terdorong untuk membuatnya
punya ijazah aliyah, kendati tidak harus di Madrasah Aliyahnya yang lama.
Padahal beberapa orang kakak tingkatnya di Annuqayah pernah masuk UGM melalui
jalur ini, seperti Achmad Fawaid dan Taufiqurrahman.
Kedatangannya ke rumah saya, tentu mempunyai tujuan dari
niat besarnya. Bayang pun, dia harus naik kapal untuk menyeberang, tidak
mungkin kalau tanpa niat dan tujuan tidak besar. Sebuah manuskrip berbentuk
lembaran kertas folio dihaturkan kepada saya.
Daviatul Umam. Anak yang masih ABG ini, sudah
berkeinginan menerbitkan buku puisi? Seusia dia, saya tidak berani. Saya
menerbitkan buku ketika umur sudah 25 tahun, dan saat itu saya sudah lebih
sepuluh tahun berproses. Saya menegaskan pertanyaan saya, apakah kamu sudah
mantap betul? Dia menjawab, sedianya dia cuma ingin mempersembahkannya untuk
kekasihnya, sambil-senyum dia tuturkan hal polos ini.
Saya tidak tahu. Barangkali zaman sudah berubah. Saya
lihat, generasi-generasi sekarang sepertinya sudah tidak menggunakan
pertimbangan seberapa lama antara proses dan menerbitkan buku tunggal dalam
dunia kepenyairan. Tradisi menjaga ritme dan nafas panjang mungkin sudah punah
dan klise ditelan budaya digital yang meledak dari detik ke detik. Cara pandang
sudah bergerak lebih cepat, seperti berita-berita yang setiap detik
tol-cantolan di internet, sehingga kalau kita abai beberapa menit, kita sudah
tidak update. Maka bersiaplah dikubur oleh zaman bila masih menggunakan cara
tradisional.
Mungkin demikian
pula keadaannya, puisi-puisi dalam Kampung Kekasih ini diupayakan harus segera
dilahirkan oleh Daviatul Umam, sebelum semua hal di dalam jiwanya memberontak
untuk minta dilahirkan, dan sebelum semua yang usang di dalam inspirasinya
minta dialihkan oleh inspirasi-inspirasi barunya yang menggugat ruang luas di
dalam habitusnya.
Daviatul Umam—selanjutnya saya akan panggil dia dengan
Davit—salah seorang anak milenial di muka bumi ini, tahu cara merawat itu
dengan baik di hadapan zamannya. Kendati dia harus mengatakan naskah kumpulan
puisinya untuk seorang kekasihnya semata, yang mana nama kekasihnya sengaja dia
tulis dengan tegas dalam sebuah halaman. Calon makmum, katanya. Ya, mungkin
Davit berambisi ingin menjadi imam masjid di Talango dengan makmum tunggal. Ya,
kekasihnya itu.
Namun setelah saya buka naskah Kampung Kekasih dari
lembar ke lembar, halaman demi halaman, Davit bicara tentang sisi-sisi
pencitraan yang memungkinkan dapat kita nikmati imajinasi-imajinasinya. Sisi
yang paling mencolok, puisi-puisi Davit menunjukkan sketsa-sketsa tentang
spiritualitas masyarakat agraris dan maritim, hampir di semua sajak-sajaknya.
Secara spontan, saya jadi diingatkan sebuah ungkapan dalam kitab Fathul Muin,
bahwa pekerjaan yang paling dekat dengan Allah adalah pekerjaan pertanian,
karena dengan dunia pertanian adalah dunia yang mendorong seorang manusia untuk
bersikap tawakal.
Davit mengaku, kini pekerjaan sehari-harinya adalah
membantu ayahnya. Saya tidak tahu apa pekerjaan ayahnya. Tidak ada keterangan
lebih lanjut tentang ini. Namun dari puisinya seolah tercium, dia membantu
ayahnya bertani di ladang—atau nelayan? Sebagaimana umum menjadi mata pencarian
orang-orang Madura dan Kepulauan Madura.
Citra petani dan dunia pertanian demikian digali oleh
Davit dalam ceruk-ceruk spiritualitas. Penggalian itu dibentuk oleh sikap
perasaannya akan cinta yang dirawat di dalam hatinya sebagai perasaan yang ada.
Cinta yang biasa digunakan kepada apapun dan kepada siapa saja, terlebih
mungkin calon makmum yang dikatakannya. Cinta itu menyala dan hidup seperti…
sepasang sapi betina (yang) begitu tabah
cut dipecut menenggala ladang impian
...
kami tanam benih-benih harapan
antara tanah yang tunduk lemas
jua tikaman surya yang amat ganas
...(Tetapi,) ada kalanya kami istirah
kopi diseruput
rokok disulut
serupa hujan membangkitkan gelora pohonan
tulang kami merah menyala seperti semula.
(Musim Tanam)
Sikap rasa seperti dalam puisi ini diungkapkan hampir di
semua bagian pertama puisi-puisi Kampung Kekasih. Dalam puisi “Jagung Bakar”,
yang mendentingkan sebuah seruan akan bahayanya keserakahan. Dalam puisi “Panen
Jagung”, yang mencoba menawarkan sikap hidup dalam pribahasa suku Madura
disebut “lanjhang partobatan”, yaitu
sedia menjaga iman dan takwa. Dia berucap dalam seruan khas orang Madura saat
berpisah: ...kau yang sedang setia / pada
tangisku musim demi musim / mudah-mudahan bertahan iman / meratapi kehancuran
mendatang. Saya dibuat merinding pada larik terakhir. Meratapi kehancuran
mendatang. Banyak bayang-bayang imajinasi yang terhidang dalam kepala saya.
Saling membentur tak hanya ke ruang titik religi, tetapi juga persoalan sosial
politik dan ekonomi agraris.
Oleh karena itulah, mari kita senantiasa istikamah
mendirikan tahajud dan duha, sambil berdoa dengan lugu. Kelak, Davit dan
bininya akan mengamini, nada yang didengungkan Davit dalam puisi “Hikayat
Bapak-Ibu”.
Di puisi “Bapak Tak Mau Melaut”, saya baru tahu kalau
ayahnya seorang nelayan. Akan tetapi, bila tidak bapak yang berbentuk manusia
dan biologis, itu artinya merupakan bapak simbolis. Apapun dalam hidup ini,
terutama pencapaian spiritualitas, ia bisa dianggap bapak oleh kita. Ruang dan
waktu dapat menjadi seorang bapak. Tetapi ada kalanya bapak tak mau ke laut.
Itu artinya ada luka besar dalam jiwa. Namun kemudian, ketika “Bapak Kembali
Melaut”, yakinlah bahwa setiap penyakit ada obatnya. Mirip iklan kesehatan.
Citra-citra spiritualitas petani, juga nelayan,
terhidangkan. Kita akan tahu bagaimana cara masyarakat Madura memandang
kehidupan dari puisi-puisi Davit. Minimalnya dari sudut pandang seorang penyair
muda ini. Puisi “Nyolo”, “Ayam Sapsap”, menyuarakan nafas yang sama dengan
sebelumnya. “Talango dan Kalianget” yang menggambarkan keindahan kedua lokasi
itu. Namun sayang, Davit tidak menggambarkan bagaimana dan mengapa kedua tempat
itu diinginkan untuk menyatu dalam sebuah jembatan seperti Suramadu, sekaligus
tidak diinginkan oleh para pemilik kapal yang takut nafkahnya hilang,
sebagaimana kisah yang saya tahu darinya.
Tetapi jalan spiritualitas, di mata penganut agama
tradisionalis seperti orang-orang kebanyakan di Madura, akan selalu
bergandengan dan memiliki hubungan yang intim dengan jalan supranatural, berbau
klenik. Kita jadi tahu, bahwa sesungguhnya keagamaan diperkenalkan dengan cara
seperti ini pula di Madura. “Jaran Goyang”, “Karapan Kambing”, “Suluk Ludruk”,
“Rayuan Tayuban”, adalah sedikit tema-tema yang menyuarakan hal itu.
Selanjutnya, puisi “Pulau Nirwana”, “Pasarean Habib
Yusuf”—saya merasa diganggu oleh istilah “habib” bagi Sayid Yusuf dalam puisi “Pasarean Habib Yusuf”; sejak
kapan orang Madura memanggilnya habib? Saya mengernyitkan kening. Apakah sejak
Habib Rizieq naik daun di internet?—, demikian pula “Dalam Dekapan Masjid Jamik
Sumenep”, “Annuqayah”, “Hari Akhir Kiai Basyir”, “Di Samping Nisan Kiai
Warits”, “Pekarangan Kiai Zawawi”, adalah puisi perjalanan wisata religi.
Penganut agama Islam tradisional, memiliki keunikan
melakukan wisata, yaitu wisata religi dengan cara ziarah di makam-makam para
wali. Apa yang menarik dari puisi-puisi ini untuk kita baca?
Saya jadi ingat komentar Abdul Hadi WM terhadap
puisi-puisi perjalanan Bernando J Sujibto dalam buku Rumbalara Perjalanan. Yang
menarik dari puisi perjalanan adalah kesan yang ditangkap dan diungkapkan oleh
penyairnya. Saya mau menambahkan, akan lebih menarik jika kita menangkap apa
yang tidak ditangkap dan diungkapkan oleh penyairnya. Kiranya, menurut hemat
saya, menelisik karya sastra—tak hanya puisi—memang harus demikian. Mencari apa
yang disembunyikan dan disiratkan oleh penyairnya. Hingga kemudian kita jadi
tahu, bahwa sebenarnya Davit hanya ingin mengucapkan AKU CINTA KAMU kepada
kekasihnya. Bisa-bisa demikian, bukan?
Oh, dugaan saya mungkin keliru! Karena pada bagian kedua,
Kekasih & Kenangan secara lugas Davit ketengahkan sajak-sajak cinta yang
telanjang itu rupanya. Namun tak setelanjang seorang pria mengatakan aku cinta
kau kepada seorang wanita.
Kita akan berjumpa sajak-sajak yang ingin dimanja sebagai
puisi-puisi cinta. Semua penyair dapat melakukan hal serupa di belahan dunia.
Kesan yang saya tangkap adalah pantulan lirik-lirik musik dangdut. Khas sekali
sebagai selera musik dunia agraris dan alam kaum maritim. Tetapi lagi-lagi pun,
ini persoalan spiritual. Bedanya, ini antara manusia dengan manusia yang
dicitrakan dengan persoalan dan simbol yang berkaitan dengan percintaan remaja
di mata orang Sumenep—kabupatennya Davit. Misalnya Taman Bunga, sebuah wahana
rekreasi di mana anak-anak ABG Sumenep biasa menjadikannya sebagai taman
bermesraan terutama ketika sore dan malam Minggu.
Demikian juga
dengan Bandara Trunojoyo Sumenep, Davit ingin melahirkan sebuah pola
budaya baru di Sumenep dengan peristiwa romantis terkait bandara itu. Bagaimana
akan ada sebuah kejadian jumpa-pisah di sebuah terminal penerbangan, di
Sumenep, kendati cuma bandara perintis. Kelihatan heboh, rasanya. Tetapi di
tempat heboh itu, justru ada yang terluka, yaitu masyarakat agraria—kita semua
orang Madura, demikian kiranya Davit menggugat.
Saya menyimpulkan, Davit ingin menawarkan corak Madura
yang lebih update. Madura di mata seorang santri milenial—sedianya kita
menyimaknya dengan seksama. Akhirnya, apakah Anda masih muda? Apakah Anda masih
melihat Madura sekarang seperti Madura yang Anda pahami pada saat Anda masih
remaja? Apa yang berubah dan apa yang masih bertahan?
Bilapora, April 2019.
Raedu Basha, lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 3 Juni 1988. Namanya dikenal
melalui sejumlah karyanya yang berupa cerita pendek, puisi, dan esai sastra
yang dipublikasikan di media massa. Dia juga seringkali mendapatkan penghargaan
dan pemenang lomba sastra nasional maupun tingkat ASEAN. Raedu merupakan salah
seorang penulis Indonesia dalam ajang Ubud
Writers and Readers Festival (UWRF) 2015
(termasuk 6 festival sastra terbaik di dunia). Tahun 2019, Raedu menerima penghargaan
Nusantara Academic Award berkat thesisnya, Sastrawan Santri: Studi Etnografi Sastra di Pondok Pesantren Annuqayah
Guluk-Guluk Sumenep, Madura, yang disusun kala menyelesaikan pendidikannya
di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar