Sumber: Harian Nasional. Karya: Widi S Martodihardjo |
Di
Vredeburg
Aku telah kehilangan Tuhan, dan
diriku sendiri.
Jangan buat aku lebih cemas dari
ini.
Aku tak ingin kehilanganmu, seperti
aku
kehilangan segala-galanya.
Aku ingin suaramu tetap menggema,
seperti segala-galanya menggema
dalam dadaku. Aku ingin suara
cintaku
lebih panjang dari biasanya.
Aku akan mencatatnya dengan teliti,
kisah cinta yang lebih dingin dari
angin
yang tak santun, menelusup pelan,
dan beruntun.
Pada jalan ini, aku akan lebih lama
mendengarkan langkah kakimu yang
sendu,
mendengarkan ocehanmu tentang
hal-hal,
tidak penting: suaramu adalah
segala-galanya,
seperti segala-galanya adalah
suaramu.
Berbicara kemiskinan, ketimpangan
sosial
yang mencekik leher ibumu.
Aku ingin mendengarkan suaramu lebih
lama,
dari langkah kakimu yang makin
mengecil di trotoar.
Aku ingin suaramu tetap menggema
dalam kata-kataku,
dalam irama semesta, dalam sabda
yang sulit diterka.
Cantrik, 2019
Pada
Serat Nama Mungilmu
Pada serat nama mungilmu yang jenaka
kitab suci agama tua di dunia,
menggema dalam namamu.
Selain pada namamu,
aku ingin berenang pada polos
alismu,
pada setiap rekah senyuman merahmu
yang menggetarkan dada.
Aku mengamati setiap kedipan
matamu yang memancarkan kehidupan
esok dan lusa. Aku menghirup udara
sungai
di hutan kata-kata manismu.
Bahwa setiap gerak-gerikmu
adalah bahasa Tuhan yang anggun.
Dan aku hanya sanggup tertegun.
Aku tak hendak ingin mengatakan
bahwa aku telah jatuh cinta, atau
berpura-pura untuk tidak jatuh
cinta.
Jika kebahagiaan itu ada
Tuhan telah meringkus kebahagiaan
dari bibir pucatku yang ungu.
Di hadapanmu, bahasa kehilangan
mantra,
dunia sedang cemas,
dan demonstrasi besar-besaran
sedang terjadi dalam diriku:
Bahwa aku tak sanggup
mengendalikan diriku sendiri.
Weda, Weda, Weda,—
Kenapa Tuhan tidak mengetuk hatimu
untuk sekedar mendengar ketukan
dadaku
yang makin renta?
Cantrik, 2019
Di
Titik Nol Paling Ramai
Aku tidak ingin membiarkanmu
berjalan sendirian malam hari.
Di tengah orang-orang yang sibuk
memotret kekasihnya di trotoar,
di titik nol paling ramai.
Aku tidak ingin jauh dari derap
langkah
Kakimu yang pelan, membelah
keramaian.
Aku ingin menghabiskan malam
denganmu,
mengelilingi museum Vredeburg,
Jalan Malioboro, dan Taman Baca,
hanya berdua saja.
Aku ingin duduk di bangku
yang selalu tampak ramai itu,
tapi kau, sepertinya tidak suka
keramaian.
Sunyi adalah arus lalu lintas
yang setia bekerja pada matamu.
Dan aku bahagia kau mencintai
kesunyian lebih dari kebanyakan
orang-orang di tengah keramaian
yang berkerumun sepanjang malam.
Cantrik, 2019
Kolombo
Malam Hari
Matamu yang teduh,
membuatku melupakan kata aduh
pada hari-hariku yang gaduh.
Mari, duduklah cintaku,
seperti malam-malam sebelumnya.
Aku akan mendengarkan seluruh
keluh kisahmu yang paling sedih
sekali pun.
Suaramu menggema, lebih lembut dari
desir angin di beranda, atau angin
pematang
yang memukau di kejauhan.
“Aku berbekal kesedihan,
kemiskinan yang mencekik keluargaku,
membuatku tumbuh
seperti batang pohon kokoh
puluhan tahun lalu,” katamu.
Oh, manisku, tak ada gerimis yang
hendak jatuh
kecuali air mataku yang hendak
tumpah.
Jangan bersedih, jangan bersedih
cintaku,
andai yang kauminta ada padaku,
akan kuberikan apa yang kau minta di
dunia ini.
Aku tak kalah bersedih karena
mencintaimu
dengan diam-diam tidak cukup membuat
dunia
ikut berbangga.
Cukuplah aku menjelma telinga yang
selalu terbuka,
penyampai lidah, dan perih pedihmu
yang berpeluh.
Semoga esok dan lusa, Tuhan ada
untuk kita, untuk kita berdua.
Cantrik, 2019
Sebelum
Semuanya Kembali Seperti Semula
/I/
Aku tegaskan pada diriku sendiri:
Tuhan yang baik, aku telah temukan
cintaku.
Tolong jangan buat ia menjauh barang
selangkah,
seperti perahu-perahu itu singgah
dan menjauh meninggalkan lenguh.
Aku masih ingin lebih lama menatap
rekah matanya yang haus pengetahuan,
aku masih ingin lebih lama melihat
bibir merahnya meninggalkan dentuman
dahsyat di dadaku.
/II/
Tuhan yang baik, sebelum semuanya
kembali seperti semula, aku ingin
mengajaknya
sekadar bercanda, atau menertawakan
hal-hal remeh dan tidak berguna.
Atau sihirlah ia, dengan tangan
gaibmu yang lihai
menghidupkan putik bunga-bunga pagi.
Buat ia mencintaiku, sebagaimana aku
mencintai
bulu alisnya yang rapi.
/III/
Tuhan yang baik, sihirlah ia,
agar penderitaan hidup, tidak
melukai mata bulatnya
yang tampak seperti bulan penuh,
dan menentramkan setiap laki-laki
yang menatapnya.
Tuhan yang baik, kabulkanlah doa
malamku.
Basabasi, 2019
Museum
Kenangan
Vredeburg adalah museum kenangan,
bagaimana senyumanmu menjelma
patung-patung, penemuan di bawah
laut,
berupa keping logam, meriam The
Forbes,
jangkar, dan lonceng kapal.
Cantrik 2019
Pasar
Colombo
/I/
Kau memotong-motong dagingku
memberi harga pada setiap sayatan
pisaumu.
Tak ada yang tak berguna,
daging, tulang dan kulit wajahku
menjadi dunia
bagi senyumanmu esok pagi.
Kau mengulang-ulang hari
dengan cara sama, dengan ketukan
yang sama.
Esok pagi, seseorang ada datang
kepadamu
membawa harapan yang sama,
dan kau sedikit akan berbincang,
lalu melakukan hal sama:
memotong dadingku dengan gembira.
Cantrik 2019
Sonita
Cinta untuk Mifta
/I/
Seperti pohonan dan daun-daun yang
tumbuh di air,
barangkali, begitulah cintaku, kau
air yang mendinginkan
akar-akarku yang lentur dan
menjalar.
Aku hidup dalam kurungan, dalam
bingkai botol kecil,
dan menggetarkan. Kapan saja, aku
bisa mati,
jika matahari lebih terik dari
biasanya, atau bahkan jika
airmu tiba-tiba lebih kuat dari
getaran terik yang kuat.
Aku tak bisa berbuat apa-apa dengan
keterbatasanku akarku.
Aku tumbuh dengan begitu lambat,
“Bagiku, dunia ini
adalah ancaman. Tak ada yang gila
dari dunia ini.”
Bahkan jika ada seseorang yang
berbaik hati,
sekali-kali menyirami daun-daun pada
tubuhku,
aku sedikit beripikir, ternyata
kebaikan masih berlaku.
Cantrik, 2019.
Di
Mangunan
Mungkin hanya di Mangunan,
pohon-pohon tampak seperti bukan
hutan.
Jalan setapak yang angun,
barangkali seperti derap kakimu yang
santun.
Kita mendaki, dan berharap sampai
diketinggian
dan matamu menyapu awan yang ngungun
di selatan, di kejauhan.
Mulut kita terkunci, tak ada mesti
dipercakapkan.
Dan angin yang tak begitu rimbun
mengetuk-ngetuk celah kayu
tempat persinggahan kita
dan memulai kisah cinta kita yang
rabun.
Mungkin pada mulanya adalah
tertegun,
kemudian pertemuan yang tidak
direncanakan
lengkap dengan ransel persisahan
yang tidak
diinginkan.
“Tak ada kedamaian macam begini,”
katamu.
“Kelak ketika kita dipertemukan
kembali,
aku ingin mengajakmu ke tempat ini.”
Kutub, 2019
Saifa Abidillah, alumnus Studi Agama-Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Beberapa tulisannya pernah dipublikasikan di media lokal dan nasional. Dan
beberapa bunga rampai, Bersepeda ke Bulan (IndoPos, 2014), Nun (IndoPos,
2015), Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid III (2015), Negeri Laut (2015),
Negeri Awan (2016), Ketam Ladam Rumah Ingatan (2016), Pasic Karam (2016).
Antologi puisi tunggalnya adalah, Pada Sayap Kuda Terbang (Cantrik, 2017).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar