Sumber Foto: Penerbit Halaman Indonesia |
SEBELUM KEMATIAN TIBA
Sebelum kematian tiba
Aku ingin mengutarakan sesuatu pada tanah:
"Izinkan aku mati dengan jiwa sadar
tanpa ada tipu yang tertinggal dan akal takabbur."
Sebelum kematian tiba
Menjemput seluruh daya
Aku ingin mengabadikan puisi
dalam kendi anak-anak cucu
Agar mereka yang merana
Tak pernah terjebak pada jalan buntu.
Sebelum kematian tiba
Aku ingin ombak berlarian
Menjilat sepanjang bibir pantai
Kemudian biarkan aku mati menata karang
diburu angin sakal.
Aku puas
Meski tak hidup seribu tahun lagi.
(2018)
TELAH KAU ALIRKAN "IBU"
Ranjang pangkuan
Selendang belaian
Ditimang kedua tangan
Senandung sapa manja
Agar tersegut-segut ditahan.
Air kental kenikmatan
Mendinginkan tenggorokan
Pagi, siang, sore, dan malam
Ibu asupkan penuh belai kasih sayang.
Cairan Ibu hanya untukku
Menghapus rata surut basahnya mulut
Putih begitu rupanya
Sedap bagiku rasanya.
Semoga yang kau alirkan
Serupa puisi kenangan indah
dikenang.
Ambunten, 2017
SEBELUM HARI KEMATIAN
I/
Esok hari yang mendekam
Tak terbayang kita masih dalam keadaan mata terpejam
Siapa pun tak dapat menduga atau mengira
Kita bagaikan laron diamuk puing-puing permukaan
R/
Begitu sempit ruang semesta
Sebelum ia menyusup ke ruang sunyi
Gejala luka mengembala kita lari terbirit-birit
Sesak dalam jerit tulang yang melepuh
A/
Israfil dari pucuk kejahuan
Suara gaung sangkala
Lengking meralajalela
Kita makin tergesa-gesa berlindung
Ada yang menyembah ampun
Ada yang mencibir senyum
M/
Semak-semak adalah bala tentara
Mencegat hari esok
Sementara tangis merengkuh tubuh penuh luka
A/
Kita yang terkapar gugur di medan fana.
Yamut sebelum hujan
Berdoa pun tak ternilai ibadah
Akhirnya kita relakan ajal pada tubir nasib.
(2016)
TUMPUNG
Pada kaleng kecil kelabu
aku lewati cuci mulut
Mengelumat butiran
tembakau bau ladang
asap meretakkan gigi tanpa
mengunyah
Menjelma arwah dari
segala angan,
"Kemarilah berteduh, di luar hujan begitu lebat
kuyakin kau akan muntah,
sekarat.
Lalu tinggalkan
ketenangan yang mengadu rasa
hingga akhirnya dunia ini
perlu kita rantau."
Sadarkah kita jika itu
adalah petaka kematian?
Puing-puing sederhana
menyekat aliran darah
jauhkan detak dari
lapisan jantung kita.
Jika kita berpikir
dangkal
Bahwa bukanlah sebatang
haluan yang menerkamkan ajal pada hati yang tengah lembut
Relakan yang telah pergi
Terbang serupa angin
Kepergiannya akan
tergantikan oleh serpihan malam.
(2018)
SYAIBA FAHURIL, lahir di Sumenep, 20 November 1998. Selain menulis ia
gemar menjadikan puisinya sebagai lagu dan menulis diary di blog pribadinya.
Penulis merupakan Alumnus Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan. Dan
selama menjadi santri, ia bergabung bersama organisasi kepenulisan Forum
Lingkar Pena (FLP) Ranting Bayuanyar. Beberapa karyanya, telah banyak dimuat di
media cetak maupun online. Di antara buku-bukunya yaitu Alifmu
Tegak Berdiri (Antologi Puisi, 2016) Negeri yang Bersolek (Antologi Puisi
Penyair Grup Freedom Writers, 2017), Perahu Kertas (Antologi Cerpen Antar
Penulis Lokal), dan Purnama di Langit Rotterdam (Antologi Cerpen Bersama,
2019).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar