Sumber gambar: g/ gambargambar.co |
Oleh: Bernando J. Sujibto
"Jika bumi, langit dan seisinya dicipta selama
enam hari, apa yang dilakukan Tuhan sejak jauh
sebelum hari pertama, dan jauh setelah hari keenam?"
(Ahmad
Nurullah, Setelah Hari Keenam)
BAGI karya sastra puisi tidak ada konstruksi realitas yang ajeg, statis,
dan terhenti sebagai makna tunggal yang selesai. Puisi selalu bersuspensi dalam
menafsir, menciptakan, atapun "menghancurkan" kembali realitas itu
sendiri. Puisi tidak pernah mengamini dirinya sebagai penganjur kemapanan; ia
akan terus menguliti setiap inci esensi of being reality-dengan
mempertanyakan keber-ada-an realitas itu sendiri, atau membenturkannya dengan
entitas lain yang bahkan tak "berjejak".
Pada titik itulah puisi, ruang yang bukan manden (mundane), lahir.
Puisi selalu (harus) menembus kejamakan alam pikir manusia yang dikonstruksi
dari realitas yang "dibuat-dibuat" atas dasar interest dan
kepentingan beberapa (sejarah) orang. Karena dalam puisi ada dewa bernama
imajinasi yang mengantarkan semuanya menjadi mungkin, dan menegaskan bahwa ruh
yang diasah oleh penyair berupa imajinasi telah melampaui realitas itu sendiri (beyond
reality). Diktum popular dari Albert Einstein menguatkan proposisi tersebut
bahwa "logic will get you A to B, imagination will take you
everything."
Deskripsi di atas adalah secuil pengantar memasuki kumpulan puisi karangan
penyair Ahmad Nurullah berjudul Setelah Hari Keenam. Judul buku yang
diambil dari judul salah satu puisi di dalamnya (hlm 98-99) secara terang
benderang sudah mempersoalkan atau mempertanyakan ulang tentang entitas penciptaan
jagat raya (sama' wal ardl), yang menurut kitab suci (Al-Qur'an)
diciptakan Tuhan selama enam hari (fi sittati ayyaam). Setelah Hari
Keenam, atau sejak jauh sebelum hari pertama, apa yang Tuhan lakukan?
Pertanyaan itu tentu menembus pola-pikir kebiasaan banyak orang; sebuah topik
yang menurut banyak orang selesai, namun tidak di tangan penyair! Nurullah
menjawabnya sendiri, namun dengan nada sinis dan memporak-porandakan akal jamak
manusia beragama. Seperti dalam bait //... Aku tak hendak mengatakan:/ Tuhan
adalah pengangguran//.
Ada yang getas dalam teks religiositas, sehingga penyair menambalnya dengan
pertanyaan yang menyuruk-menusuk. Jika puisi ini diperuntukkan kepada para
pemeluk teguh agama, yang sehari-hari menyantap teks agama secara artifisial,
Nurullah tak ingin membiarkan mereka ber-taqlid buta dengan menambalnya—jika
itu dianggap teks yang getas-pertanyaan puitik. Misalnya tergambar dalam puisi Di
Tebing Waktu: Meditasi: //Sebelum jagat raya diciptakan,/apa yang dilakukan
Tuhan, Stephen?/Membangun Surga?/Merancang Neraka?/Jauh sebelum ayah dan ibumu
berpengantin,/di mana kau ada?//
Pertanyaan filosofis-eksistensinalis-tentang pra-ada, ada dan
pasca-ada-membetot penyair melakukan kerja intens dengan menelisik teks-teks
agama yang disimplifikasi secara literal. Akar eksistensinal tentang
religiositas atau keilahian menjadi tema yang terus berdenyut, sehingga penyair
dengan sangat tegas melakoni kerja filosofis tersebut dalam banyak puisi di
buku ini.
Latar belakangnya sebagai orang Madura telah banyak menyita penyair dalam
menulis puisi dengan tema-tema yang dekat seperti religiositas dan ketuhanan. Tetapi
topik religius yang ditulis Nurullah tidak seperti kebanyakan penyair di
Indonesia, yang hanya merekam momen dan bahasa puitik yang digambarkan melalui
bahasa-bahasa simbolik semata seperti kata sejadah, tasbih, kitab suci, mesjid,
musalla, peci. Nurullah tidak seperti itu, dan bahkan bisa dipastikan ia tidak
pernah menyebutkan kata-kata simbolis tentang agama selain hanya kata Tuhan.
Nya, Mu dan Alkitab. Ia justru sangat kekeh dengan kritisisme terhadap
ketuhanan, keberagamaan dan ciptaan itu sendiri, seperti sangat jelas tergambar
dalam puisi Di Tebing Waktu: Meditasi, Narkisus, Setelah Hari Keenam, dan
Ritus Bunuh Diri. Artinya, Nurullah tidak hendak bermain dengan
simbol-simbol agama-karena dalam puisi yang lain simbol dan teks justru dijewer
oleh penyair—namun ia masuk kepada ranah filosofis tentang eksistensialisme:
Ilahi dan ciptaanNya. Di situlah kelebihan Nurullah dalam membidik tema
religiositas dalam puisi-puisinya.
Dalam konteks ini, Nurullah seperti ingin menegaskan tentang bahasa puisi,
dalam tema Tariq Ramadan (2010:2), sebagai doublespeak, menawarkan
kontradiksi demi kontradiksi dari teks puisi. Di situ berperan imajinasi dan
metafora dalam puisi. Nurullah menyadari betul bagaimana membaca konsep
teologi, agama, dan ciptaan dalam puisi-puisinya. Ia sangat berani
mempertanyakan ulang tentang ciptaan karena bahasa puisi adalah doublespeak
di mana semua orang bisa masuk dan memaknainya sendiri. Nurullah seperti
mengajarkan bagaimana membebaskan teks sebagai suatu bacaan dengan selongsong
makna yang pekat, namun bebas diraba, dimasuki, atau dimuntahkannya kembali.
Puisi-puisi Nurullah dalam antologi ini mengajak pembaca mengkritiki setiap
hal (realitas yang tersusun dalam teks), mulai dari suatu yang dekat-melekat
dalam kehidupan kita hingga sesuatu yang jauh, atau dalam istilah Radhar Panca
Dahana, yang memberi endorsement terhadap buku ini, "memasuki lorong
terjauh sekaligus terdekat dari diri kita". Semangat mempertanyakan ulang
tentang realitas misalnya ditunjukkan Nurullah melalui tanda tanya (question
mark) yang bertebaran dalam antologi ini. Tercatat sekitar lebih dari 60
persen atau 32 dari 50 puisi dalam Setelah Hari Keenam dijejali dengan
pertanyaan-pertanyaan penyair secara verbal. Lain lagi pertanyaan tidak verbal
yang sengaja ditebar penyair melalui bait-bait puisi yang intens dan sublim
dalam mempersoalkan ruang dan waktu.
Upaya Nurullah untuk terus melakukan pembacaan kritis terhadap teks dan
tanda (dalam realita) dimulai dari sebuah "definisi" tentang makna di
balik kata-kata, misalnya dalam puisinya yang berjudul Menginap di Sebuah
Kastil dalam Puisimu. Di sana Nurullah menulis: //Tak ada kata yang
telanjang/Kata-kata berkabut. Atau berputar/Seperti rombongan penari
balet/mengenakan busana berlapis/Ruang dan waktu berkelambu/Titik pun bercadar.//
Ketika makna berkabut atau mengenakan busana berlapis, pada saat itulah teks
menjadi suatu yang tidak lagi bermakna tunggal atau bahkan mempunyai kebenaran
satu. Dalam teks puisi Nurullah, realita diperlakukan seperti sebuah teks:
diinterpretasi, dan menjadi suatu yang belum final. Atau dalam bahasa Harold
Bloom dipertegas bahwa "form" in poetry is itself a trope, a
figurative substitution of the as-it-were "outside" of a poem for
what the poem is supposed to represent or be "about." (Bloom dkk,
1979: 1).
Namun akhirnya dari sekian kegelisahaan penyair tentang Tuhan, agama dan
ciptaan-Nya, puisi Perkampungan Ilahi telah menjawab kegelisahan tersebut dan
menjadi puncak pencahrian Nurullah tentang ketuhanan itu sendiri, seperti
digambarkan dalam larik: //Tanah bukit lembah surut ke titik nihil/Antara
nol dan minus yang panjang/Bagai barisan molekul berlari di dalam air/tanpa
gelas. Bagai darah merah darah putih mengalir/tanpa jasad//Di perkampungan
Ilahi/Tak ada lagi kebisingan/Kecuali nyanyian//. Puisi ini seperti menjadi
puncak dan jawaban bagi kegelisahan demi kegelisahan penyair, karena dalam
Perkampungan Ilahi penyair seperti sudah menemukan titik terang tentang Ilahi
dan keilahian itu sendiri.
Namun, ironisnya puisi dari penyair Ahmad Nurullah yang bisa dinikmati
dalam buku kumpulan tunggal hanya sebiji-tipis ini. Jalan kepenyairannya yang
sepanjang sekitar 24 tahun itu hanya bisa ditandai dengan buku ini, Setelah
Hari Keenam dengan 50 buah puisi saja!
Bernando J. Sujibto, penyair kelahiran Sumenep, 24 Februari 1986. Menulis puisi, esai, artikel
dan resensi di media lokal ataupun nasional. Karya puisinya terkumpul dalam
antologi bersama seperti Risalah Dua Jari (Andalas, 2002), Kampung
dalam Diri (Temu Penyair Lima Kota, 2008), Puisi Menolak Lupa (Obsesi
Press, 2010), Mazhab Kutub (Pustaka Pujangga, 2010), dan Suluk
Mataram (Galang Press, 2011). Sementara karya tulis ilmiahnya masuk dalam
buku kompilasi seperti Resasan untuk Jogja (Impulse, 2009), Islam:
National Character Building dan Etika Global (UIN Sunan Kalijaga, 2010), Kajian
Islam Multidisipliner [jilid 2 dan 3] (Lemlit UIN Jakarta, 2009 dan 2010),
dan Islam dan Terorisme (Grafindo, 2010). Antologi puisi tunggalnya Rumbalara
Perjalanan (Basabasi, 2017). Bergiat di beberapa komunitas, salah satunya
Teater ESKA Yogyakarta. Suka berjelajah ke negara-negara asing: Amerika dan
Australia, sambil selalu menulis puisi sebagai pengalaman personalnya. Bisa
dikontak lewat email: bernando_j_sujibto@yahoo.com dan akun Twitter di: @_bje
Tidak ada komentar:
Posting Komentar