Sumber gambar: g/ www.pexels.com |
Oleh: Mahendra Cipta
***
Puisi, seperti
seorang gadis seksi, yang selalu mengundang hasrat untuk terus diperebutkan. Baik
hanya sebagai perbincangan atau sebagai kerja ladang perburuan. Oleh karenanya
sampai sekarang puisi terus dituliskan dan dibicarakan. Ia seperti sumur tanpa
dasar. Sumber inspirasi. Membayangkan kemolekannya kita seperti diseret ke dalam
semesta mimpi-mimpi. Sebuah telaga hasrat yang menjanjikan mata air
fatamorgana. Di sinilah, seperti kerja-kerja kesenian yang lain, laiknya sebuah
‘pukauan’. Sebuah mesin hasrat yang menyimpan kutub ‘ke luar’ dan ‘ke dalam’.
Sebuah medan katarsis kesadaran, tempat leburnya kemanusiaan.
Saya menengarai
ada tiga hal penting kenapa puisi bisa begitu; pertama puisi sebagai
pencatatan perjalanan. Seberapa penting sebuah perjalanan dicatatkan, tentu
setiap orang akan berbeda pandangan. Sebab di dalam kerja pencatatan itu,
‘pengalaman’ menjadi sebuah kunci bagi pengetahuan. “Pengalaman adalah guru
yang paling baik” menunjukkan kerja pencatatan ini. Sehingga dalam
pandangan-pengalaman pengetahuan seseorang menjadi sublim di dalam dirinya dan
absolut sebagai proses pencarian. Perbedaan pengalaman hanya akan semakin
menebalkan keyakinan kita bahwa sebuah pengalaman penting untuk
dicatatkan—kemudian dipertentangkan. Sehingga dalam tegangan itu, setiap orang
dapat mengambill pelajaran yang sangat penting akan proses hidup. Pengalaman
dalam kerja proses menyimpan double effect sekaligus, pelaku dan apresian
(pembaca dan penonton) dalam kerja seni. Oleh karenanya sejalan dengan seorang
pemikir Rusia; “saya datang ke gedung-gedung pertunjukan, melihat pameran di
galeri, mendengarkan puisi, menonton teater, atau kerja membaca laporan
perjalanan, tidak dalam maksud apa-apa, melainkan hanya ingin mengulang sebagai
manusia, merasakan kembali bahagia, menangis dan penderitaan”, sebuah puisi
dia hadirkan kembali. Kedua, jelas di dalam puisi menyimpan virtue
(hikmah). Seperti banyak tokoh menuliskan, bahwa puisi adalah ilham. Maka ia
datang kepada siapa yang dikehendakinya. Puisi yang memilih penyair bukan
sebaliknya. Saya yakin puisi seperti nasib, seperti takdir kehidupan bagi
pelakunya. Dalam nalar spontan semacam ini, maka puisi seperti ayat-ayat
kebenaran dan menyimpan hikmah-hikmah yang dapat dijadikan pencerahan. Hikmah
artinya menyimpan kebaikan-kebaikan, baik sebagai pelajaran atau sebagai
pengalaman.
Oktavio Paz
berkata “puisi adalah pengalaman batin seorang penyair”, apa yang bisa
digali dari kerja batin yang samar selain hikmah. Sebuah kerja rahasia yang
menyimpan banyak kemungkinan dan ketakterdugaan-ketakterdugaan.
Ketiga, sense of critic. Sebagaimana sense of critic
sebagai urat nadi proses seni. Begitulah kerja puisi menjadi semangat kritis
setiap orang. Sehingga dalam semangat itu kita saling mengkoreksi perjalanan
kebudayaan yang lebih besar. Puisi membangkitkan keberanian untuk ‘berkata
tidak’ kepada kenyataan. Semacam eksistensi Camus yang menganggap bahwa
‘memberontak’ adalah sebuah jalan menjadi manusia seutuhnya. Cita-cita setiap
orang untuk sampai kepada insan kamilnya Iqbal atau Ubermenczsh-nya Nietzsche.
Dan Rendra kemudian mengkongkritkan perjuangan melalui kata-kata “perjuangan
adalah pelaksanaan kata-kata”, ujarnya.
Pertanyaannya
bagaimana sebuah puisi yang dituliskan hanya dari kamar saja?
***
Begitulah
puisi, memukau sekaligus menggeser. Ia adalah rumah ada. Sebuah keberadaan yang
disebut Al-Ghazali sebagai rumah keabadian. Puisi adalah ruang kehadiran dan
menghadirkan kembali. “Puisi tidak mencari keabadian melainkan menghadirkan
kembali”, Paz menambahi dalam sesi yang lain.
Seperti saya
sebutkan di awal, bahwa puisi merupakan sebuah mesin hasrat yang terus memicu
kegelisahan dan kecintaan orang-orang. Kehendak untuk menunjukkan dirinya
sebagai eksistensi. Maka bagaimana puisi akan hadir, puisi (akan) bisa
dihadirkan dari kerja lain dari puisi itu sendiri.
Puisi seperti
ruang tanpa batas. Puisi menyimpan kesemestaan. Sehingga bisa didekati dengan
berbagai cara, berbagai metode, berbagai keinginan. Di sinilah, justru puisi
akhirnya membuka ruang kreatifitas yang lain. Sebuah kerja seni pertunjukan
yang multi dimensi.
Maka
orang-orang terus berupaya untuk menjadikan puisi. Menjadikannya sebagai ruang
kesadaran bersama masyarakatnya (komunitasnya). Maka model kehadiran puisi juga
menjadi kegelisahan yang lain. Dan ketika ‘puisi dibacakan’, puisi menjadi
kompleks dan lebih terbuka, baik secara audio visual. Sebab di dalam pembacaan
puisi (deklamasi puisi) seluruh unsur di dalam ruang itu harus dipekerjakan,
pembaca-penonton dan puisi itu sendiri.
Pembacaan puisi
(deklamasi puisi) pada hakikatnya –menurut saya— sebuah seni pertunjukan. Oleh karenanya bagi seorang
pembaca puisi, diperlukan berbagai hal untuk bisa menjadi pembaca puisi yang
baik. Harus memahami, pe-lafal-an, jeda, intonasi, dan ekspresi. Maka latihan
(eksplorasi) adalah harga mati. Lafal, bagaimana sebuah proses untuk
menyampaikan bunyi bahasa, baik kata perkata (artikulasi), kalimat, frasa, yang
sesuai dengan maksud dan jiwa puisi dalam pembacaan. Jeda, bagaimana
memotong dan mengolah nafas dalam mengucapkan kata. Intonasi, ketepatan
nada, penekanan tinggi rendah suara dan irama dalam pembacaan. Ada tiga hal
penting di dalam intonasi; tekanan dinamik, tekanan nada, dan tekanan tempo. Ekspresi, mimik wajah yang menunjukkan
perasaan teks, dan gerak (pantomimik) dalam menunjukkan (senang, sedih,
bahagia, marah dan seterusnya) di dalam puisi.
Faktor keempat
ini adalah faktor di luar bahasa, sebuah kerja lain di luar teks puisi yang
tidak kalah penting untuk menunjang kehadiran sebuah puisi sebagai seni
pertunjukan; sikap, mimik dan gerak (pantomimik), volume suara,
kelancaran dan ketepatan (hafalan).
Orang-orang
terus berupaya menggali apa yang dikandung puisi. Bahwa di dalam puisi ada
musikalitas, bahwa di dalam puisi ada manusia yang ikut tumbuh, bahwa ada
sebuah kerja kebudayaan yang sedang berlangsung sebagai kenyataan yang terus
bekerja. Kerja kehadiran ini adalah rekayasa
puisi sebagai sastra pertunjukan bisa berupa, musikalisasi puisi yang
dipentaskan dalam bentuk; ilustrasi puisi, dengan cara puisinya
dibacakan –baik individu, kelompok dan diiringi musik. Musik puisi,
dengan menjadikan teks puisi sebagai lirik lagu. Dan puisi disajikan secara
musikal-performence.
Tidak selesai
di situ, tentu karena sebuah puisi adalah cita rasa yang lahir dari pengalaman
batin. Menganalogikan bahwa sebuah puisi adalah kisah manusia, perjalanan hidup
yang menyimpan banyak fragmen. Sehingga kemudian ada orang-orang yang menghadirkan
puisi melalui seni pertunjukan teater yang utuh.
Bila puisi
dipentaskan dengan memperhitungkan tata pentas seperti dalam teater, ada setting,
blocking, tata rias, kostum, gerak tari dan musik, maka disebut teatrikalisasi
puisi. Jika puisi dipentaskan dengan memilih puisi yang memuat karakter
untuk dimainkan oleh beberapa orang yang memainkan karakter yang ada dalam
puisi dan disertai elemen-elemen teater, maka ini disebut dramatisasi puisi.
***
Pada akhirnya
sebuah puisi adalah pencarian terus menerus seorang manusia akan kebenaran
(dirinya). Sejatining urip. Oleh karenanya maka menulis puisi seperti
menjaga siklus dunia agar terus dijalankan dan digerakkan. Maka pencarian akan
puisi dan bagaimana menghadirkannya sebagai kerja kebudayaan tiada batasnya.
Dan setiap orang mempunyai metode dan ruang ekspresi-kreatifnya
sendiri-sendiri. Eksplorasi dan eksperimentasi harus terus dipraktikkan. Dan
kita tidak perlu takut untuk menggali dan mencoba. Jika kita menengok ke masa
lalu, maka kita akan menjumpai bagaimana sebuah kerja sastra adalah (juga) kerja
pertunjukan. Orang-orang tua kita dulu mempunyai tradisi seni pertunjukan puisi
yang begitu dahsyat, melalui mantra dan ritus-ritus sastra pertunjukan, rokat
misalnya. Kita bisa menyebut macopat (mamaca), pojjhian, dhammong,
syi’iran, sandur, sintung dan banyak lagi khasanah tradisi sastra
pertunjukan yang terus berlangsung sampai sekarang.
Pertanyaannya,
sudahkah kita berpikir kenapa puisi butuh corong lain untuk kehadirannya?
Kenapa hari ini banyak puisi dituliskan tetapi tidak banyak yang berbicara?
Jangan-janga seperti dugaan saya,
justru ketika puisi meninggalkan folklore maka puisi hanya akan
melahirkan penulis puisi saja.
Language Theatre, 2019
*) tulisan ini di sampaikan pada acara
diskusi Maulid Puisi #3 di Gubuk Kata-Kata, Sampang dan terbit di Radar Madura
24 November 2019.
Mahendra, lahir dan
tinggal di Sumenep, Madura. Sempat
singgah di Yogyakarta dan menyelesaikan S1 pada jurusan Theology dan Filsafat
UIN Sunan Kalijaga. Bergiat pada aktivitas-aktivitas lingkungan hidup, sosial,
budaya dan kesenian. Pernah bergiat di beberapa kelompok kesenian; Teater Eska
Yogyakarta, Rumah Arus Community Yogyakarta, SPPY (Sindikat Penyair Pinggiran
Yogyakarta), Krikil Freelance, Therminal Kuman Experimente De Arte. Di tengah
kesibukannya membina sanggar-sanggar pesantren dan sekolah-sekolah dengan
kekawan mencoba membangun jaringan kesenian dengan Taneanlanjhang Culture-Art
Exebition. Selain sebagai pemulung (penyuka teater, tari dan musik), dia juga menulis
naskah teater, essai, artikel dan puisi dan sebagai aktor dan sutradara dalam
banyak pertunjukan. beberapa puisinya dimuat dalam antologi bersama; Ketika Pinggiran Menggugat (Yogya,
2003), Atjeh, Kesaksian Penyair
(Yogya, 2005), Nemor Kara (Balai Bahasa
Surabaya, 2006) dan antologi puisi mutakhir Jatim:
Pasar yang Terjadi Malam Hari ( Dewan Sastra Sby, 2008). Antologi puisi Festival Bulan Purnama Majapahit (DK
Mojokerto 2010), Dzikir Pengantin Taman
Sare (Bawah Pohon Publishing 2010), dan Hijrah
(Sanggar Bianglala, 2011). Diundang dalam TSI-4 Ternate Maluku Utara, dan
terkumpul dalam antologi Tuah Tara No Ate
(2011). Kini bersama kawan-kawannya mengelola Language Theatre Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar