Sumber: Pusaka Jawa Timur |
Carok
/I/
Bukan tanah, rumah, tambak
atau sapi yang ayah warisi
ia hanya mewarisi besi putih
serupa bulan sabit
yang sejak lama
bergelantungan di atas pintu rumah
Sejak aku berumur sepuluh
tahun
paman dengan tekun
mengajariku
memegang hulu besi serupa
bulu ayam itu
dan mengibas-ngibaskannya
dengan benar
Paman sangat senang jika
mendengar sang pewaris
menang dalam perkelahian di
sekolah
Di usiaku yang genap dua
puluh tahun
paman membisikiku dengan
lirih;
“Ada satu nama di pundakmu
yang
harus kau robek perutnya
atau kau putus urat nadi
lehernya”
/II/
Kali ini aku ditunjuk menjadi
lakon
di panggung pertunjukan
budaya
Terdengar suara genderang
dari jantung ibu
mengiringi langkahku keluar
dari belakang panggung
tiba-tiba suasana menjadi
senyap dan gelap
hanya ada sorot lampu yang
menyinariku
dan kilat celurit yang
menusuk-nusuk mata para penonton
lalu kukibas-kibaskan celurit
pada tanah
berharap bangkaiku kembali
diterima-Nya
Kemudian di ujung besi putih
bulu ayam itu
kutanggalkan dua tanda tanya:
hidup atau mati?
terhormat atau malu?
2017
Baju Lebaran
-untuk
Joko Pinurbo
Setiap lebaran
semuanya dibuat baru
tapi, warnanya selalu gelap
ukurannya pun lebih satu
tahun
Ah!
aku terlihat seperti
orang-orangan sawah
Satu tahun kemudian,
aku masih dengan bajuku
berputar-putar di depan kaca
tersentak aku tersenyum
sendiri
Eh …
lebaran lagi
2016
Hidup di Kota
Aku tak tahu dengan apa aku
dibesarkan
tahu-tahu aku sebesar dan
sebangsat ini!
Semenjak ibu meninggalkanku,
aku ikut ayah dan pergi ke
kota
Dan dunia telah mengajariku
bagaimana cara bertahan hidup
lebih lama
Terima kasih ayah
kau telah melarangku menjadi
orang yang jujur
dan maaf, jika kau harus
“kutipu” juga
2017
Skenario Dunia
Di sini kujumpai senja tengah
sembunyi
di bawah rindang pohon
cemara,
lelah katanya setelah
seharian memburu masa
Tubuhnya yang mulai kecut dan
ranggas
bahasakan betapa dunia ini
buas dan bengis,
kemudian dari ransel yang
terbuat dari kulitnya yang terkelupas
ia keluarkan skenario yang
dibuatnya sendiri
dan memintaku untuk
membacakannya:
“Sebentar lagi malam tiba,
sudah waktunya aku pulang
dan menitipkan dua kata, buas
dan bengis pada setiap pagi yang dilahirkan”
2017
Tajullail Dasuqi M, lahir di Sampang 07 Maret 1992. Ia alumni Pondok Pesantren Raudhotul
Ulum Arrahmaniyah (RUA)Pramian Taman Sreseh Sampang, dan melanjutkan perjalanan
suluknya di Pondok Pesantren Al-Khoziny Buduran Sidoarjo. Puisi-puisinya
termaktub dalam beberapa buku, di antaranya: Mantra (2017), Merah Marhaban
(2018), Mahar Siul (2018), Bangkalan Literary Festival 2018 (2018) dan terpilih
dalam buku antologi puisi Sastra Reboan #3 (2018). sampai saat ini selain
mengaji ia masih menulis puisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar