Sumber Lukisan: pelajariindo.com |
Setelah 929 Masehi
Mautmu yang dipenggal
panglima sejajar, ada kala terpikir
bahwa ia tak sepenuhnya nista
Tak sepenuhnya juga tata cara
Tetapi ia Madura yang terlempar
biji derita cuaca keajaiban jiwa
Setelah 929 Masehi
gunung-gunung meletuskan
aksara tahta ke tengah-tengah
dunia tanpa cinta
Berteriak Medang,
menjeritkan Menang, untuk suatu
pertikaian yang melumpuhkan
kekeluargaan
“Leluhurku Medangkamulan…”
teriaknya lagi
Sangka yang buruk, taman hutan,
mimpi bulan, hubungan patih, dan
rakit-rakit letih pun disiapkan
Gegap melayari beban seluruh
korban pualam ke sepanjang sungai
yang hanya patuh untuk berderai
“Ke mana aku dihanyutkan, Rapuh,
selain kepada jauh?”
Sisikmu yang bisik, hatimu yang
menarik, bawalah ke arah yang lebih
tangkas
Sebab pada setiap ikan-ikan buas
yang hendak memangsamu luas-luas,
mereka hanya bangsa-bangsa yang
tercipta dari cangkang nelangsa
Cangkang yang tak sesungguhnya
berlabuh kecuali susut, kalut, dan
semrawut
Jadi bergegaslah berlayar,
berkabarlah kepada setiap inci
gambar pugar segala yang di luar
Seperti pagar-pagar mawar yang tak
sudi dilamar ular-ular yang bisanya
hanya memutar gentar di atas tikar
“Bantinglah! Bantinglah ular
kembar itu hingga jemu!”
Pasir pun menderu
Juga penyendirianmu yang tampak
bagai menelan langit biru
Nyanyikan saja tentang ambang
layaknya maskumambang
Lahirkan semua yang bisa mahir
Cegah mengalir menuju seluruh hilir
Sampai jauh derita menandang
Rasa khawatir, yang paling akhir
dari ombak samudra dalam dada
biar selanjutnya mata dan mati
yang memaknai
Agar jati dan diri tak lari berkelahi,
demi kalbu yang tak sanggup mengelabui
sekuntum senja di ujung gema sunyi
untuk kebangkitkan bayang-bayang
putramu, nama putramu, putra
kebanggaanmu, kebanggaan
bagi seluruh umatmu
yang kelak berperahu ke muara hulu
dan berkayuh kaki jantan dan biru
Bangkalan, 2017
Ajunan: Restu Perang
Mengusap keagungan, izinkan
kelak putramu itu pergi berperang
hingga ke depan karang
Cikalkan bakal restu
yang lebih ajaib dari gaib
Sebab kelabu adalah magrib
Dan ia tak berayah apalagi
berdarah
Jika pintu ragumu pun bernanah
dan menjadi kian tak terarah,
injak kakimu untuk memanggil
setiap candu yang berlalu
Panggillah hantu delima,
buah simalakama, sejauh segitiga
api neraka. Biar mereka juga
tersiksa
Cium mereka seerat hakikat
Pikat benda-benda menyatu
ke dalam getah pertama
Tanamkan sejarah,
buat semakin merah, sebagai
balasan arwah setiap kenang
untuk selusin tiang punah—
setajam panah
Dan dari akarnya
yang penuh kunang-kunang
akan termaktub liang-liang
penunjang raga: raga padmi,
raga ambami
Maka ragamulah yang bisa
meraksasa mengusir segala pinta
bencana yang datang di setiap
malam purnama
Di saat-saat ganggu menyerbu
nama-nama ratu, menggugat abu,
menyelat tipu dan pulau-pulau ibu
Dan pohon-pohon musuh
akan menumbangkan dirinya sendiri
hingga jadilah mereka ranting
tak terpuji
Hanya pada dirimu daun akan memuji,
karena engkau tak memungkari sari-sari
gelombang semanggi
Untukmu, waktu sudi menyembah
dan tak berkekah
Dan jika Cina datang untuk kesekian kali
dan mereka menantang perang kembali
berdoalah engkau setegas pukau
Bawakan senjata yang lebih tajam
dari terkam
Jika tak ada suara kau iri, sebutlah
berulang-ulang bahwa di setaman jiwa
yang Jawa, ada Segara yang akan
menempa hampa
Hampa suci, suci bunyi, bunyi budi,
budi halusinasi, halusinasi harga diri
seperti terpeluknya teluk seribu jari
oleh kemudi
Oleh jajahmu, oleh biri-birimu,
oleh takdir yang menggugurkanmu
ke arah pukau-pukau yang menyebutmu
tugu empat angin penjuru
Kepada sanubari, undang
setiap pembakaran yang tak berbaik
kepada cahaya
Ajak singgah kapal-kapal yang
berhafal, tanpa saksi pujangga
Cincin nakal, anting cekal, prasangka
akal, usir mereka hingga terjungkal
ke secarik tabik taktik
yang tak menyukai hardik
Pusaka yang kau punya,
adalah bukti-bukti bahwa setiap bukit
di alam semesta hanya tanda
tentang siapa pun dapat berkuasa
Begitupun kuasamu, Cinta
Dalam perutmu, dalam denyutmu,
bangsa-bangsa gagah perkara
akan tiba memintal damba
Damba yang tak pernah bisa tiada,
kecuali engkau meniada, dan tak
melaksanakan ritual kura-kura
seperti kisah adu domba tentang
siapa saja yang bakal menghuni
surga pecah suara
Bangkalan, 2017
Seorang Permaisuri di Malam Sinting
Di suatu malam
kalam permaisuri itu karam
Lantaran lupa dongeng ayah
yang sebenar-benarnya berkisah
laki-laki perang yang gagah dan
terpandang
Ayahnya menyuratkan,
menyampaikan itulah dengung
yang bukan simpul agung
Sebab juga ayahnya rakyat,
berkulit kualat, yang berhasil
dibinasa oleh tingkap derita
kuning langsat istana
Apalagi istana telah dikenalnya
foya-foya. Sedang permaisurinya
cuma pemuja cara-cara Jawa yang
tetap sansekerta dalam iktikad
sekaligus berkhianat
Maka, di sudut waktu terbaru
Ketika ketat tubuh permaisuri itu
ditumbuhi ingatan bersatu, ia pun
melepas baju
Paru demi paru. Karena tentu kalah
ragu, juga karena ngiang ayah yang
memburu
Malam itu, ketika ia tak memakai
gincu, perlahan ia tatap juntai lantai
wiracana yang berdahan
Meraba perutnya
yang punah senggama: miring,
bunting, anting
Tak ia sebutkan semua pada sejenak
suara. Namun sesal makin beranak:
sejak terjal menyenyak gema kelak
di jendela, tempat ia menggantung
sajak-sajak cintanya yang selalu
disangka pura-pura
“Rahib, Rahib…
Kenapa kau sunting aku dengan
cara yang begini purba?” bisiknya
kepada patung anggur merah muda,
tempat suaminya bertelanjang dada
menikmati bibir dan matanya
yang sinting
Dari sana menujulah permaisuri itu
kemudian. Ke pintu lama, pintu yang
kerap juga membuatnya bertanya:
kenapa keraguan amat akurat ada
untuk dimasukkan ke dalam kitab-
kitab kemesraan manusia
Karenanya ia ambil rindu di sebatang
windu. Pada pemilik dagu ia pun terharu
Ia lalu lukis putri nafsu berwajah tandu,
dengan tinta persuntingan selimut yang
pernah membikinnya tergelitik cantik
Semakin ungulah rindu itu berpekik
Mengubah pintu ratu jadi jin kayu
Dan berbau kupu-kupu yang hinggap
pada kulit palma yang bisu
“Ajak aku tertawa sebagaimana
bagusnya percandaan Kanwa, atau
Gusti Prasena yang benar-benar tak
bermaksud melukai Amba”
Begitulah pintanya ketika purnama
tak ada. Begitulah angan-angannya
kepada angka seribu usia milik
ayahnya
Di luar, dunia gemetar menggambar
segala yang terumbar
2018
M.
Helmy Prasetya, lahir di Bangkalan pada tanggal 28
November 1977. Pendiri Pusat Sastra dan Rumah 1000 Puisi “Arus Barat Madura”.
Mendirikan Komunitas Masyarakat Lumpur tahun 2004 dan meraih Komunitas Seni
Terbaik Jawa Timur tahun 2014. Karya puisi tunggalnya, antara lain Laki-Laki
Senja (2001), Antologi Cinta (2003), Sajak Tuhan (2005), Ollessia (2007),
Sepasang Mata Ayu (2008), Palsu Maduara (2013), Aku Menulis dengan Tangan Kanan
dan Tangan Kiri (2014), Tamasya Celurit Minor (2015), Mendapat Pelajaran dari
Buku (2016), Mata yang Baik (2016), Antropologi Hilang (2016), Luka (2016), Bagaimana Aku Menunggumu dengan Setia
(2016), dan MaduraBat (2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar