Sumber gambar: g/ www.berlinestanous.com |
PENGUNGSI
Aku
mengungsi dari cuaca buruk di matamu.
Aku
tidak ingin tinggal di rumahku sendiri.
Suaramu
menjadi monster dan menakuti
seluruh
penduduk pulau di mataku.
Keningmu
berkabut—dan lidahmu menjelma
ombak
raksasa yang menelan ratusan nyawa.
Aku
menghindar dari erupsi mulutmu
yang
bergemuruh di tengah pulau Selat Sunda.
Kutub,
2018
KRAKAL
Krakal,
pantai centil paling nakal
yang
melucuti keindahan matamu tak terduga.
Desau
angin tenggara yang membelai telinga
adalah
desau suaramu yang mesra di malam manja.
Kusapu
seluruh keindahan, warna biru
pada
kanvas laut dan batu bukit yang berundak.
Tak
ada yang tersisa dari ketakjuban.
Kuas
ombak yang memutih sepanjang pantai yang gemulai
Menuntun
mataku pada kata yang adalah sabda,
yang
tak tercatat kitab suci seluruh agama di Dunia.
Kutub,
2018
INDRAYANTI
Setelah
menempuh jalan begitu jauh.
Aku
mesti mendaki undakan di keningmu
Dan
berharap menikmati kedipan matamu.
Dan
memotret bulu alismuyang berombak.
Aku
berdiri disela-sela rambut pohonmu
yang
teduh. Aku pangkas sepi di rambutku.
Aku
ingin terjun di matamu, hanya di matamu.
Dan
berenang di laut kata dengan ceria
Tanpa
ada kata dusta, atau rasa bersalah
yang
menjelmabukit ganas.
Yang
bakal memangkas kesetiaanku padamu.
Kutub,
2018
HUTAN PINUS
Ketika
matamu sibuk mencemaskan tempat ibadah.
Pohon-pohon
di hutan ini, sedang sibuk beribadah.
Ia
lebih tua dan lebih sunyi dari pertanyaan-pertanyaanmu
yang
berbahaya. Ia lebih kukuh dari imanmu yang rapuh.
Di
Mangunan, keindahan adalah tapa bisu pohon-pohon
anggun
yang menawan.
Segala
kata yang bergelayut di udara
adalah
sabdatanpa buku, dan kitab suci.
Adalah
rumah ibadah yang tegakdalam sunyata.
Adalah—segala
jalan yang menanjak, dan meliuk indah
bagi
kata-kata yang berayun
menyerupai
doadan misi orang-orang suci.
Kutub,
2018
PUNCAK BECICI
Meski
matamu adalah kuburan kecil yang terpencil,
aku
tetap ingin berkemah di matamu.
Aku
mengemasi barangku dan ingin tinggal lebih lama.
Setelah
membangun tenda, aku ingin menyalakan api unggun.
Hujan
yang mencemaskan mataku, meruntuhkan
harapan-harapan
dan mimpi kitayang basah oleh badai.
Kita
mesti mengungsi dari ketinggian—mencari tempat teduh
yang
jauh dari aduh atau sepuhangin kesepuluh.
Kutub,
2018
BUKIT BINTANG
Semoga
dadamu selapang pandangan matamu
yang
membelah rumah-rumah dan jalan raya.
Pagi
yang mengantarmu pada banyak tempat,
pada
akhirnya menyisihkan matamu
sebagai
pengungsi sunyi,yang berlibur kesejumlah
keindahan
alam raya:
“Pandanglah
mataku sebagaimana kau memandang
dirimu
sendiri,”katamu suatu waktu.
Kutub,
2018
BARON
Ada
ketakutanuntuk tidak mendekati matamu.
Ombak
matamu mengamuk beberapa hari terakhir.
Petugas
pantai mengingatkan untuk tidak mendekati
bibir
pantai di matamu. Cuaca matamu memburuk.
Dan
setiap pengungsisepi tidak mau peduli,
sekalipun
angin pada bibirmu menjelma lidah api.
Semua
orang ingin menikmati hari liburtanpa rasa takut.
Dan
menatap lekat-lekat batu mungil di atas bibirmu.
Krapyak,
2018
KALIBIRU
Aku
tetap ingin mendaki ketinggian
meski
tidak kutemukan apa-apa.
Setiap
keheningan dan keriuhan adalah
matapisau
yang mengancam leher hari esok.
Mengancam
mataku, yang adalah matamu
:
mataranjau yang memukau.
Krapyak,
2018
ROMBEN RANA
Ketenangan
laut adalah ketenangan matamu.
Dan
setiap tempat menjelma laut.
Tak
ada yang mesti dikutuk atau disalahkan
semua
jalan menjadi jalan lapang.
Tak
ada yang meninggi atau tiba-tiba merendah
segalanya
menjadi sederhana pada kedipan matamu.
Kau
yang menemun hari-hari dengan jari getar,
yang
menjahit kenangan pada setiap rumah.
Pulanglah
sejenak, rumah ibadah pada dirimu sendiri
jangan
kau tinggalkan begitu saja.
Tak
ada yang lebih berharga dari sebuah kepulangan.
Pulanglah,
sebelum ketenangan mengecupi bibirmu
dengan
mesra.
Dungkek,
2019
MENGENANG 110 USIA MUHAJJA
Setiap
kepergian adalah pil tidur keabadian
tak
airmata yang dapat diramu menjadi obat kedasaran.
Segalanya
akan menjadi, seperti tidak terjadi apa-apa,
Jangan
pernah menangis untuk kecupan cintayang tak sia-sia.
Mari
rayakan kepulangan, agar rindu tak selalu jadi rasa haru
Mari
menari sebagaimana Darwish menari menolak matahari.
Kita
tak punya apa-apa, kecuali hanya batu bata kecemasan
Yang
menyusun diri menjadi stalaktit rasa takut yang rumit.
Dungkek,
2019
Saifa
Abidillah, lahir di Sumenep, 12 Januari
1993. Buku puisi tunggalnya Pada Sayap Kuda Terbang (Cantrik Pustaka, 2017).
Saat ini berproses di Komunitas Kutub Yogjakarta, dan tercatat sebagai Alumni
Studi Agama-Agama, UIN Sunan Kalijaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar