Sumber gambar: g/20minutos.es |
Oleh: Zainal A. Hanafi
Berani Berkata Benar adalah cara Rosi Praditya
menyampaikan kegelisahannya lewat puisi- puisinya. Buku yang baru turun dari halaman
penerbit Delima, yang oleh penyair diberi judul Tidur, Sayang Malam Telah Larut (2018) ini terdiri dari 53 puisi. Penyair
kelahiran Sampang ini mungkin tidak terlalu memikirkan bagaimana puisinya bekerja.
Sehingga setiap halaman demi halaman tidak ditemukan judul-judul, sebagaimana puisinya
hanya tertuju oleh satu tujuan. Hanya terdiri dariangka-angka.
Bagaimana bisa puisi ini disebut sebagai
berani berkata benar? Puisi-puisi yang tertuang dalam hamparan halaman ini merupakan
sebuah ilustrasi kebenaran tentang kepedihan itu sendiri. Dia ada dalam ruh puisi.
Rosi Praditya dalam ini saya sebut sebagai
Parrhesiastes.Yaitu orang yang menyatakan
segala sesuatu yang ia pikirkan: ia tidak menyembunyikan apa pun, tetapi membuka
hati dan pikirannya sepenuhnya kepada orang lain melalui wacananya (Michel Foucault,
2-3, 2018).
Orang lain melalui wacananya dalam
konteks ini adalah seorang pembaca puisi-puisinya. Saya membaca buku ini justru
tidak menemukan kepedihan yang teramat dalam. Bagaimana bisa? Tentu sajabisa. Rosi
menurut saya adalah seorang perangkai kata yang piawai dalam menyusun kata-katanya.
Dia lahir seolah-olah dari apa yang dirasakan: tentu saja melalui pembacaan atas
pengalamannya memuja kekasih.
maafkan
aku harapan,“jujur”
aku
tak bisa meninggalkanmu
apalagi
memintamu untuk jauh
meninggalkan
panggilan yang
tak
lelah menanggalkan hari tua
lalu
mencontreng angka-angka
kemerdekaan
yang amat telat
kita
kemas kesenantiasaan itu
jejak-jejak
dari barat ke timur
meninggalkan
sisa-sisa ciuman
di
perpustakaan, bermula dari
bekas
bibirmu tersentuh cuaca
yang
basah. nikmatilah, ruang
kelas
umum yang begitu buas
jika
kelak kau menghilang
biar,
biar aku yang mencarimu
ke
arah puisi meski penuh ilusi
(17, 23, 2018)
Kita lihat di dalam puisi berjudul 17. Puisi
ini memang banyak menampakkan kepedihan. Dia lahir dari keberanian seorang Rosi.
Seorang yang berkata benar merupakan seorang yang berani dan seorang yang berani
tentu dia harus menerima segala bahaya. Termasuk resiko-resiko. Begitu kira-kira
pendapat Foucault dalam buku Parrhesia: Berani
Berkata Benar.
Namun, saya juga menemukan kebenaran yang
lain dari puisi Rosi. Misalnya dalam puisi di atas. Bentuk kepedihan yang ditampilkan
dikemas dengan kalimat yang panjang. Tentu saja Rosi menyamarkan atau
barangkali memang ditampakkan tapi pembaca (saya) yang kurang jeli dalam
menangkap berbagai kepedihan.
Saya menangkap bahwa puisi pedih itu disampaikan
dengan romantis. Tentu saja saya memiliki sifat Parrhesia dalam hal ini karena saya sebagai orang yang menemukannya.
Mungkin dapat juga dirasakan bahwa Rosi meromantisasikan
kepedihannya. Sehingga jalinan antar kalimat merupakan sesuatu yang mengganggu pembaca
yang mencari bentuk kepedihan. Saya misalnya. Membaca buku ini justru
senyum-senyum sendiri. Saya lebih merasakan bagaimana kalimat-kalimat itu berjalan
dan menemukan kecocokan antar katakata yang dipasang.
Bagaimana puisi ini juga disebut sebagai
meromantisasikan kepedihannya?
Kepedihan digambarkan sebagai pilihan yang
baik. Pilhan yang tentu saja masih segar dihidangkan kepada khalayak pembaca. Kepedihan
sebagai bentuk yang indah diutak-atik melalui berbagai penggambaran yang ditampakkan
Rosi Praditya dalam puisi Tidur, Sayang Malam
Telah Larut. Bagaimana kata-kata sedih dan begitu sunyi itu dikemas dengan bahasa
yang indah. Nah, hal itulah yang saya sebut sebagai menyamarkan yang pedih dan mampu
membuat saya senyum-senyum sendiri.
Kembali ke pembacaan secara umum. Puisi memang
banyak menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk ditafsirkan. Sekuat-kuatnya kemungkinan
tentu juga harus berdasarkan landasan-landasan. Baik dari sebuah teori mau pun anggapan-anggapannya.
Lalu, hal itu juga termasuk dari tindakan berani. Termasuk berani berkata benar
atau berani mengkritik benar.
Saya merasakan kekuatan bahasa yang dilakukan
Rosi dalam buku puisi ini merupakan ibadah yang panjang. Ibadah yang hanya dilakukan
oleh seorang penyair yang istiqamah dalam memuja kekasihnya sampai pada akhirnya
pedih dan sakit yang didapatkan.
Dari berbagai pengalaman dalam pemujaan itulah
Rosi berani menyatakan semuanya tanpa takut dan menyandang sebagai seorang yang
Parrhesiastes. Meski pun pembaca lain
tidak mengakui sebagai seorang yang berani berkata benar, saya tetap berani berkata
bahwa Rosi merupakan penyair yang benar-benar beribadah dengan baik dan benar.
Terakhir darisaya. Saya membaca buku ini
seperti membaca karya-karya Aan Mansyur yang mungkin menggunakan teknik serupa.
Puisi-puisi Rosi justru puisi yang tidak cocok ketika dibaca menggunakan olah vokal.
Tentu saja pembaca sedikit sesak napas karena jalinan kata-katanya terlalu panjang.
Apalagi
karakter Rosi dalam buku ini sedikit sekali menggunakan tanda titik sebagai akhir
kalimat. Rasakanlah kebenarannya!
Pamekasan,
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar