Oleh: Royyan Julian
Dalam manifesto sastra religiusnya, Kuntowijoyo menyatakan
bahwa etika profetik terdiri atas tiga komponen, yaitu liberasi, humanisasi,
dan transendensi. Liberasi berkaitan dengan pembebasan, humanisasi proses
pemanusiaan, dan transendensi berhubungan dengan kesadaran ketuhanan. Pada
etika yang terakhir, Kuntowijoyo mencatat bahwa seorang pengarang memiliki
tugas ganda. Sebagai manusia ia adalah saksi eksistensi Tuhan. Sebagai
pengarang, ia menjadi saksi rahasia Tuhan yang merupakan perbendaharaan
tersembunyi.
Sumber gambar: g/artslant |
Sejumlah puisi dalam Hujan
yang Mengguyur di Sepanjang Ingatan karya B.H. Riyanto mengartikulasikan
salah satu etika maklumat sastra profetik tersebut. Riyanto memainkan perannya
sebagai pengarang yang menjadi saksi kreatif-imajiner dengan mengurai misteri
kebesaran Ilahi dalam terma hujan dan segala asosiasinya—gerimis, mendung,
pelangi. Memang, pada beberapa puisi, hujan dalam buku tersebut hanya menjadi
ornamen dari momen yang ingin penyair kisahkan. Namun, pada puisi-puisi yang
lain, hujan menjadi figurasi dari peristiwa-peristiwa transendental.
Dalam “Tanah-Mu Basah Kembali”, misalnya, hujan adalah
kepanjangan Tangan Tuhan yang memungkinkan keberadaan dunia. Harum aroma tanah-Mu menyeruak/setelah
kemarau panjang meranggaskan reranting/disirami khusu hujan sepagi/tanah-Mu
basah kembali// (hlm 1). Hujan pada
puisi tersebut merupakan metonimia energi feminin Ilahi yang mengembuskan hidup
kepada tanah yang telah kerontang dimakan kemarau. Dalam teologi Kristianitas,
misalnya, kerja keilahian maujud dalam pribadi Roh Kudus yang memungkinkan
dunia ada. Roh Kudus, Rahim (dalam Islam), atau Shekinah (dalam Yahudi) adalah
simbol Tuhan yang feminin dan meniupkan napas serta cinta kepada makhluk.
Sementara itu, puisi “Pelangi” ditampilkan seperti lukisan
pastoral atau sajak-sajak romantik yang memotret lanskap alam pascahujan: Sebusur pelangi melengkung manis/di rimbun
gerimis/senja ini//Di sudut yang lain mendung/masih menggantung// (hlm 6). Pada
puisi ini, bait pertama dan kedua hadir sebagai sampiran. Pembaca akan memahami
maksud yang disampaikan dengan begitu verbal pada bait selanjutnya: Maka inilah selukisan ayat-ayat-Mu/kembali
menampar kedunguanku/mengajarkan permainan hidup/sesungguhnya// (hlm 6).
Pernyataan pada bait terakhir merupakan eksplanasi atas
deskripsi bentangan alam pada bait pertama dan kedua. Dengan nada didaktif yang
amat telanjang, puisi tersebut hendak menyampaikan ajaran tentang tanda (ayat) eksistensi Tuhan yang tidak hanya
tertera secara skriptual via kitab suci (qauliyah),
tetapi juga terhampar di alam (qauniyah).
Pada puisi “Pelangi”, panorama pascahujan adalah sinonim penampakan Wajah Ilahi
(tajalli).
Mistifikasi dari sesuatu yang imanen dalam karya Riyanto
tidak hanya disematkan pada hujan, tetapi juga, misalnya, pada capung dalam
puisi “Seekor Capung Hijau” dan “Isyarat Musim”. Alegori tentang peristiwa
mistik pada puisi-puisi tersebut mengingatkan kita pada personifikasi laron dalam
literatur sufisme. Seekor laron menjadi ibarat dari seorang pecinta, menuju
objek cinta (Tuhan) yang disimbolkan dengan cahaya dalam momen unio-mystica. Sayang sekali, secara
semiotik, Riyanto tidak mengizinkan pembaca mengakses makna mistis puisi-puisi
tersebut lantaran di sana-sini penuh bolongan. Kita hanya mampu berspekulasi
tentang apa yang direpresentasikan capung pada puisi tersebut.
Jika pada puisi “Tanah-Mu Basah
Kembali” hujan adalah rahmat, dalam sajak-sajak yang lain, hujan dan segala
asosiasinya menjadi lambang sebaliknya. Mendung adalah majas yang menyubstitusi
dosa. Kesalahan-kesalahan itu pada saatnya nanti menjelma maut yang meneror
manusia.
Pada puisi “Mula-Mula Mendung Menggumpal”, misalnya, dosa menghancurkan
manusia melalui bencana. Sekilas, puisi ini terkesan apokaliptik. Namun, jika
dipertimbangkan ulang, puisi tersebut justru menarasikan peristiwa katarsis—yang
selalu menyertai tragedi. Dosa yang menjelma banjir bandang menyapu kemurnian
primordial manusia (disimbolkan dengan keluarga dan kampung halaman), tetapi
sekaligus mendorong hamba menuju cinta sejati dan kasih abadi (Tuhan). Riyanto
menarasikan peristiwa puncak spiritual tersebut dalam bait lalu/semua yang kita cinta/lenyap tiba-tiba/terseret arus bah/menuju-Mu!// (hlm 13).
Royyan Julian, mengajar sastra Indonesia di Universitas Madura. Karya-karyanya terbit di berbagai
media massa. Novelnya berjudul Tanjung
Kemarau dan buku puisi tunggalnya Biografi
Tubuh Nabi. Kini tinggal di Pamekasan dan bergiat di Sivitas Kotheka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar