oleh Maniro AF
Kami
tidak bisa mengabaikan perkataan Arif Bagus Prasetyo dalam esai kuratorial acara
“Sastra Indonesia Hari Ini: Jawa Timur”
yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara pada pertengahan tahun 2010, bahwa
“perkembangan sastra mutakhir di Jawa
Timur masih didominasi oleh puisi.”
Hal
itu benar dan argumentasi di atas sepertinya juga berlaku terhadap kesusastraan
di Madura, mengingat terdapat banyak penyair yang tumbuh sejak masa Abdul Hadi
WM (Sumenep), Syarifuddin Dea (Bangkalan), Hidayat Raharja (Sampang), Jamal D.
Rahman (Sumenep), M. Faizi (Sumenep), Timur Budi Raja (Bangkalan), Mahwi Air
Tawar (Sumenep), Alek Subairi (Sampang), Mahendra (Sumenep), M. Helmy
Prasetya (Bangkalan),
Sofyan
RH. Zaid (Sumenep), dan generasi saat ini seperti Shohifur Ridho Ilahi
(Sumenep), Raedu Basha (Sumenep), Royyan Julian (Pamekasan), Umar Fauzi Ballah
(Sampang),
dan nama-nama lain yang tidak mungkin kami sebut satu per satu.
Gambar didesain oleh Alek Subairi doc/ arsippenyairmadura |
Namun,
bagaimana dan sampai di mana perkembangan sastra di Madura, khususnya
Bangkalan, sebagai salah satu daerah yang gerakan kesusastraannya cukup aktif
pada dekade 90-an hingga hari ini.
Ada
dua metode yang kami lakukan dalam membaca perkembangan sastra di Bangkalan. Pertama:
pembacaan melalui jalur pengelolaan komunitas dan dinamika yang dibangunnya.
Sebagai
bagian dari produk kebudayaan, sastra memerlukan media, salah-satunya adalah komunitas, demi
tujuan membangun, memelihara,
dan menciptakan generasi baru dari kesusastraan kita. Sebelum memasuki tahun
2000-an berdiri Komunitas Janur Koneng pada rentang tahun 1995, kemudian tidak aktif pada 1996
karena ditinggalkan anggotanya. Pada
tahun
berikutnya, 1998, almarhum penyair Syarifuddin Dea (ayahanda Timur Budi Raja) bersama
Mardi Luhung, Lenon Machali, dan Sri Wahyuni mendirikan Lingkar Sastra Junok,
sebuah komunitas dengan beberapa kegiatan seperti diskusi karya, penerbitan
buku puisi seperti “Anak Beranak” (1998), buku yang memuat puisi Syarifuddin Dea
dan Timur Budi Raja, hingga acara besar seperti Pertemuan Penyair Jawa Timur
dan Bali yang menghasilkan antologi puisi “Istana
Loncatan” (1998) dan memuat puisi
46 penyair Jawa Timur dan Bali.
Komunitas
ini tidak hanya beranggota penyair-penyair dari Bangkalan. Sejumlah nama bahkan
A. Muttaqin (Surabaya), Alek Subairi (Sampang), Guruh Permadi (Surabaya), dan Didik
Wahyudi (Surabaya) juga turut berproses di dalamnya. Disebutkan bahwa M. Helmy
Prasetya pernah berproses di Lingkar Sastra Junok. Komunitas ini juga
merupakan rumah singgah bagi seniman-seniman di luar Bangkalan.
Seiring
berjalannya waktu, Lingkar Sastra Junok akhirnya pelan-pelan satu demi satu
kehilangan anggotanya. Namun yang pasti, mereka telah memberikan dedikasi
yang patut kita apresiasi hari ini.
Pada
dekade 2000-an, gerakan kesusastraan di Bangkalan semakin luas.[2]
Hal ini bisa dilihat dari dua komunitas yang ada di Bangkalan saat ini.
Masyarakat Lumpur (berdiri tahun 2004) diprakarsai M. Helmy Prasetya dan
kawan-kawannya, serta Komunitas Bawah Arus yang dimotori oleh Timur Budi Raja
pada 17 Juni 2016.
Sebagai
komunitas yang memproduksi dan mengonsumsi sastra (lebih-lebih puisi), keduanya
terbilang cukup aktif dan produktif melakukan persebaran ide dan gagasan dalam
kerja-kerja sastra
dengan membentuk semacam platform
kesusastraan. Komunitas Masyarakat Lumpur memiliki diskusi rutin antaranggota
komunitas, bedah karya yang dikemas dalam agenda “Mancing Sastra” dan “Taman Baca” hingga Festival
Puisi Bangkalan yang dalam tahun ini sudah terselenggara untuk ketiga kalinya
(salah satu di antara festival tersebut menghasilkan Antologi Puisi Nusantara
berjudul “Lebih Baik Putih Tulang
daripada Putih Mata” (KML, 2017).
Begitu
juga dengan Komunitas Bawah Arus yang memiliki program, baik dalam rutinitas
bulanan, maupun tahunan. Misalnya,
“Piknik
Puisi”, salah satu agenda yang bersifat jejaring komunitas dengan menjadikan
puisi sebagai media utama. “Mata Sastra” di mana fokus acara ini adalah
membedah karya penulis dari luar komunitas, dan “Batle Puisi”, sebuah ruang
yang dihadirkan untuk mengapresiasi puisi dengan esai kritik sebagai produksi
utamanya. Progresivitas
program Bawah Arus juga dapat dilihat dari kerapnya “Kelas Puisi” dilangsungkan.
Sedangkan“Bangkalan Literary Festival
2018 (BLF)” ini merupakan acara besar yang ruang lingkupnya tidak hanya
melibatkan pegiat literasi di daerah Bangkalan, tetapi juga melibatkan
beberapa penulis Indonesia pada umumnya.
Metode
kedua adalah pembacaan melalui publikasi
karya di media massa (online maupun
cetak). Tidak dapat ditolak bahwa media massa merupakan ruang komunikasi
terbuka, di mana gagasan dan opini bisa (bebas) dipertemukan dan sastra turut
mengambil bagian di dalamnya. Ia mampu mengubah gerak peristiwa sastra kita.
Estetika, wacana,
bahkan sejarah pun ikut bergeser sedemikian rupa.
Bersama
itu pula, puisi terus-menerus
ditulis dan dikonsumsi masyarakat kita. Kita dapat dengan sangat mudah
menemukan puisi bertebaran di mana-mana, dan Madura, salah satunya Sumenep,
menjadi daerah yang notabene para penulisnya cukup banyak mewarnai media massa
hari ini. Baik yang tinggal di daerah maupun yang bermukim di luar Madura. Bahkan Majalah Sastra Horison pernah terbit dengan
edisi Madura, yang secara keseluruhan penulisnya berasal dari Madura, Timur
Budi Raja (Bangkalan) salah satunya.
Berbeda
dengan Sumenep, para penulis khususnya puisi di Bangkalan, baik yang tumbuh
melalui jalur komunitas maupun individu, terbilang sangat minim dalam hal
publikasi karya di media. Sejak Februari 2015, Arsip Puisi Penyair Madura
(APPMI)[3]
tiap Sabtu dan Minggu mencari informasi siapa saja penyair-penyair yang
puisinya terbit di media, terutama koran yang menyediakan rubrik puisi, baik
dalam skala lokal maupun nasional. Namun, kami sulit menemukan
penyair-penyair asal Bangkalan (generasi pasca Timur Budi Raja dan M. Helmy
Prasetya) yang karyanya bisa kita dilacak di media massa.[4]
Ada
yang menarik bagaimana kemudian kegiatan literasi di Bangkalan terjadi.
Meskipun dalam penerbitan karya di media massa sangat minim, para penulis puisi
di Bangkalan umumnya memiliki buku antologi tunggal yang diterbitkan sendiri
oleh penerbit yang dimiliki masing-masing dua komunitas tersebut. Tentu dengan
biaya cetak sendiri dan terbatas (peristiwa ini mungkin bisa kita teliti lebih
jauh lagi mengapa penyair-penyair
Bangkalan lebih memilih menerbitkan karyanya sendiri daripada mengirimkannya ke
media?)[5].
Ada
juga yang karyanya diterbitkan oleh penerbit di luar mereka, baik dalam bentuk
antologi bersama, seperti Yuni Kartika Sari (Komunitas Bawah Arus) dalam “Kidung Sunyi”,
(Hardiknas, 2016), Andy Moe (Komunitas Bawah Arus) dalam “Rampak Naong” (Gerilya Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, 2015), Muzammil
Frasdia dalam “Negeri Awan” (Antologi
Puisi dari Negeri Poci 7, 2016), dan Ina Herdiyana (Komunitas Masyarakat
Lumpur) dalam “Senyuman Lembah Ijen” (Dewan
Kesenian dan Kebudayaan Banyuwangi, 2018), ada juga yang terbit melalui sistem
kuratorial oleh penerbit lain dalam bentuk tunggal seperti Roz Ekki dengan judul
“Sangkolan: Mata Celurit Mata Sabit” (Penerbit
Basabasi, 2018).
Sebagai
sebuah peristiwa kebudayaan dan kesusastraan, hal di atas tentu menjadi sesuatu
yang unik untuk diperhatikan.
Setidaknya sebagai bukti bahwa para penulis puisi di Bangkalan cukup mendapat tempat
dan perhatian publik. Seperti pencapaian Andy Moe (Komunitas Bawah Arus) yang
beberapa waktu lalu mengikuti Mastera 2018 di Bogor dan Joko Sucipto (Komunitas
Masyarakat Lumpur) yang lolos kurasi di Uburd
Writers and Readers Festival 2016 di Bali, dan banyak event lain berskala
nasional (dalam ruang sastra) mereka ikuti yang mungkin luput dari pencatatan kami.
Apa
yang kami sampaikan di atas merupakan sekelumit fakta yang kami dapatkan, baik
melalui diskusi dengan penulis-penulis di Bangkalan maupun media secara umum.
Semua yang dilakukan kedua komunitas di atas kami kira adalah bagian dari upaya
untuk membuat kesusastraan di Madura Barat, Bangkalan, tumbuh, hidup, dan berkembang. Dan catatan singkat
ini diharapkan menjadi irisan penting dari perhelatan Bangkalan Literary Festival 2018 sebagai peristiwa kesusastraan di Bangkalan
yang mengakomodasi
generasi kepenyairan mutakhir.[]
Maniro
AF,
lahir di Pasongsongan, Sumenep, 12 Agustus 1994. Menyelesaikan studinya di
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis puisi
dan esai. Karyanya pernah terbit di beberapa media dan antologi komunal. Kini
bekerja di Halaman Indonesia Cultural Forum, Yogyakarta, sekaligus sebagai manajer program Arsip Puisi Penyair
Madura (APPMI).
[1] Tulisan ini akan lebih fokus
pada kegiatan sastra di Bangkalan (tidak membahas Madura secara menyeluruh)
berdasarkan data yang dimiliki oleh Lembaga Arsip Puisi Penyair Madura. Data
ini tentu belum sepenuhnya lengkap, karena kami belum melakukan pembacaan secara
komprehensif terhadap perkembangan dan peta kesusastraan di Bangkalan. Tulisan
ini merupakan catatan pengiring terhadap perhelatan Bangkalan Literary Festival 2018.
[2] Kita lihat
misalnya karya-karya Timur Budi Raja dalam beberapa buku yang tersebar, seperti
“Permohonan Hijau” (Festival Seni
Surabaya, 2003), “Penyair Jawa Timur”
(Festival Seni Surabaya, 2004), “Pelayaran
Bunga” (Festival Cak Durasim, 2007) hingga ke lingkup yang lebih besar “Ning”(Purwacaraka, 2001), “Narasi 34 Jam” (Komunitas Sastra
Indonesia, 2001), “Tentang Yang” (Fiction
Writer & Font Makassar Internasional Eigtht Festival & Forum, 2017), “Forum Sastra Indonesia Hari Ini”
(Salihara, 2010). Antologi tunggalnya “Opus
154” (Amper Media, 2012) dan “Tujuh Tipografi
Tahun” (Delima, 2017) dan M.
Helmy Prasetya dalam “Antologi Mutakhir
Penyair Jawa Timur” (2004), “Kepada
Mereka yang Katanya Dekat dengan Tuhan“ (2007) dan antologi tunggalnya “Tamasya Celurit Minor” (2015) dan
lain-lain.
[3] Lembaga Arsip yang untuk
sementara ini masih berbentuk digital dan dikelola secara mandiri oleh beberapa
kawan-kawan pecinta literasi khususnya puisi yang ditulis oleh penyair-penyair
Madura, terutama yang dipublish di media mau pun dalam bentuk buku. Untuk lebih
jelasnya silakan kunjungi website (www.arsippenyairmadura.com).
[4] Di tahun ini, kami hanya
menemukan tiga nama saja yang puisinya bisa kami akses di media, itu pun online,
seperti M. Helmy Prasetya dan Roz Ekki. Jauh di belakang, hanya Andy Moe yang
kami temukan puisinya pernah dimuat di Koran
Madura, dengan tanggal terbit 27 Desember 2013 dan cerpen-cerpennya di
beberapa media massa lainnya, seperti Jawa
Pos, Jurnal Nasional, dan Radar
Surabaya dll. Terakhir adalah Ina Herdiyana, asal Sumenep yang mukim dan
berproses di Bangkalan, puisinya terbit di Lampung
Post pada tanggal 29 April 2018.
[5] Untuk mengetahui beberapa buku
yang diterbitkan oleh penyair-penyair Bangkalan yang tekhnik penerbitannya
(baik kurasi hingga, desain dan biaya) dilakukan sendiri dan diakses APPMI hari ini, silakan kunjungi
website kami dengan mengetik “Bangkalan”
sebagai kata kunci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar