Gambar dirancang oleh Alek Subairi/ doc. arsippenyairmadura |
1
di jalan ini,
kekasihku. jarak adalah duka, bencana kutempempuh sepanjang hening dalam jiwa.
dan aku tahu bagaimana cara mengarungi air matamu yang menjadi sungai. dan kini
celahku bertanya; “cinta kita belum utuh sepenuhnya, dan belum selsesai
kepada cuaca yang terus menggigil”.
di matamu
magrib turun, menyelamatkan hari-hariku dari siksa segala keriuhan yang paling
diam. dari pemberian matahari ke bumi, mengisyaratkan puisi sebagai harapan yang
indah. di hatimu, kenanglah aku ke dalam suara azan magrib ini sayang, hingga
menyerupai cita-citamu yang sudah mulai gemilang.
seperti yang
lalu-lalu, seperti mengenang kenangan di tempatku dari segala perihal tentang
kepedihan. Dua tahun ini, di
luar sana, di halaman paling depan, kita seringkali mewujudkan rasa hormat kepada usia yang semakin mesra dan tumbuh dewasa. kekasihku, mari kita berbahagia kepada puisi.
2
kekasihku;
setiap nyanyian selalu memperhatikan sel darah otakku dalam kepala. jejak-jejak
yang selama ini meringkus, kini berubah di sela-sela wajahmu yang sungguh
terasa ayu. aku menyusup kemudian, berpindah baris, dan membangun mimpi
sepanjang waktu di sana.
“lalu tempat jalanku berpikir ialah memikirkamu.”
benarkah kau
akan mengandaikan, dan menarikku ke dalam sana? di dasar ingatan, bebayanganmu
sering melelapkan mataku, kekasihku. memusingkan arah kesadaranku menjadi tidak
waras. kau tentu ingat sejak kemurungan hati ketika kelak kau hancurkan. biar,
biar lebih lekas tanpa memikirkan rasa berdosa.
apa boleh buat,
hancurkan puncak dada ini, kekasih; ledakkanlah hingga sampai tak tersisa
sedikit pun. kurelakan serpih-serpihan dada terbakar menghiasi genangan
darahku, hingga ketaksanggupan malam ini– dari sisa luka yang sampai kapan pun
kau tak mau ingin mengenalnya.
3
memandang
langit oktober dari kursi yang berderet di ruangan paling depan, kita pernah
saling berkata-kata, menyiasati hal apa yang kita inginkan terjadi? membentuk
nasib, dan memenuhi kutukan sebagai salah satu tafsir agar memasuki ruang
gelisah dalam tubuhmu– yang terlalu sering membeku.
pada puncak
tanggal dua puluh nanti, bulan dua, sebagaimana kusampaikan kisah asmara ini
sebagai kepenuhan hati seorang diri, kudengar isak tangis dalam dirimu.
kekasihku, cuma kita berdua yang tahu rahasia tentang pelukan, tentang bekal
ciuman-ciuman di masa yang lalu yang pernah terjadi, meski hanya sekali.
yang mungkin
ada, aku akan pergi menjauh dari kabar yang semakin deras tentangmu, bergegas
dari kesaksian, bulan tak lagi tenang, apakah kau masih menyimpan cinta kita
yang kenang?
Rosi Praditya, lahir di
Sampang 20 Oktober 1992. Lulusan dari S1 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP PGRI Bangkalan, dan masih menempuh kuliah Pascasarjana S2 Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Dan kini
bergelut sastra di Komunitas Stingghil Sampang, dan pendiri Sanggar Potret Laut
Pagi. Kumpulan puisi bersama: Suara Wak-tu (2014), Permohonan
Minoritas (2015), Lebih Baik
Putih Tulang Dari Pada Putih Mata (2017), Seribu Kembang Hujan (2014).
Buku tunggalnya: Bunga Rose (2015). Mungkin Seperti Senja (2017).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar