NASIRUN, Doa untuk Bumi (2015 | oil on canvas | 145 x 250 cm). (Lukisan: Dok. http://srisasanti.com) |
Autobiografi Tanah Merah
–setelah hari keenam; Ahmad Nurullah
akulah pekarangan semesta
cikal bakal peradaban umat manusia
muasal sesal gairah paling purna
lalu cinta, birahi, dan ambisi
tumbuh subur bersama margasatwa
yang dilindungi firman-firman Tuhan
lalu segala materi yang melekat padaku
merekah-rekah di udara
menjadi cermin bagi samudera
bukit-bukit dan gunung merapi
di negeri-negeri jauh tak bernama
maka di telapak tanganku
Adam dan Hawa merayakan pertemuan
memasak kehidupan dengan sisa ingatan
tentang taman surga dan rayuan syetan
akupun tumbuh oleh ciuman terpanas
di bawah matahari yang masih belia
dimana bulan dan bintang-bintang tertidur pulas
waktupun berhitung tanpa angka-angka
setelah jarak menemukan maknanya
dalam pelukan terpanjang di malam ketujuh
demi pelukan Adam dan Hawa di pelaminan Tuhan
kulahirkan buah-buahan, sayur-sayuran dan air
dan angin liar dari segala penjuru
kukultuskan sebagai penanda musim
isyarat permulaan kehidupan di dunia
ketahuilah, pada mulanya di pekarangan semesta
tiada janji buta dan keangkuhan keparat
wajah alam penuh senyum dan ketentraman
sebab arwah-arwah kegelapan belum buas
dan tak pernah memilih takdir hidup gentayangan
setelah Hawa melahirkan anak-anak atas nama cinta
kehidupan terperangah dengan api birahi
pembakar hati dan pikiran murni
kemudian cinta dikobarkan dengan api dewana
maka terbakarlah cinta di rusuk Adam
mengabulah cinta di lubuk hati Hawa
dan bergentayanganlah cinta di telapak tanganku
peradaban berjalan melintasi bisingnya hasrat
kebinatangan
sambil mendengar bisikan-bisikan Tuhan di pelupuk
hutan
dan arwah-arwah pohon cinta mulai menjahit luka
ingatan
dengan jarum api karatan tentang rupa alam menawan
bangau-bangau kemarau terpanah di bawah senja
penghuni pekarangan semesta menjerit
dengan teriakan paling pedih pemecah kegaiban malam
jutaan kelewar dan burung hantu pergi ke langit
dan aku menjelma jagat kematian
yang setiap batasnya adalah tajam belati waktu
kini aku adalah materi purbakala
pengenang kemesraan batu-batu langit berpandangan
tanpa sanggup menggapai pipi bulan dan mata hari
kecuali kobaran api paling binal dari mulut manusia
betapa aku hanya puing-puing makna ke-Tuhanan
dengan nyeri yang menjadi gelombang lautan
masih utuh rekaman percakapan di telapak tanganku,
dimana Adam berkata kepada Hawa:
cintaku ini Hawa, sudah benar bertengger
di puncak gunung cinta pemanggil hujan
dan kemarau yang diberkahi Tuhan
Hawa tak sanggup menahan magma madah jiwanya:
begitu pun cintaku, ia merayap dari hutan ke hutan
penuh tikaman buas cakra syetan
dan aku tahu mereka takluk oleh badai rindumu
kutahu itu dari angin sepoi yang membelai kupu-kupu
di kuntum bunga-bunga matahari di perbatasan
oh Adam dan Hawa mula asal percintaan manusia
adakah daun-daun patah
sebelum kering menjadikannya gugur
seperti auman srigala pertanda purnama jatuh?
aku bertanya atas diri yang hanya luka
ciptaan pikiran-pikiran buas anak-anak cucu kalian
saksikanlah wahai Adam dan Hawa
lebah-lebah di taman dunia berkerumun genting
di putik-putik sari kembang jagung menguning
lihatlah punggung
dan dadaku tergores luka cinta manusia
inilah luka semesta abadi yang telah Tuhan firmankan
namun aku masih sempat tersenyum bila ingat sumpah
yang kalian ikrarkan berdua di gerbang peradaban:
cintaku, kematian segera datang
dengan ranum kecupan maut
demi anak-anak cucu kita akan kujaga dunia ini
biar engkau harum di hembus terakhirku
2015
Madah Perkawinan
I
menjelang matamu terpejam,
kau tutup langit-langit pelataran kembara
dengan wajah alam kesemestaanmu.
tepat saat musim bersujud
merubuhkan tiang lampu kota
juga rumah-rumah kaca!
II
di muka dunia menyempit ini,
mataku mendidih oleh rona apimu
yang menjilat-jilat dari pusara cinta
tempat persemayaman abadi ratu Sheba
hidupku mengangkang oleh kemelut cita-cita
mata batin jauh memandang ke perbatasan
membaca tanda pada cuaca, pada angin,
pada gemuruh dada sendiri yang gempa
betapa ajaib gairah pemangku jagatku ini!
biar aku hanya makhluk tanpa mu’jizat:
Mazmur kebijaksanaan Sulaiman Sang Nabi,
membimbingku keluar dari labirin tipu muslihat.
III
dengan gairah penyatuan sebatang rusuk
yang Tuhan pisahkan sejak Adam ngidam Hawa
aku pun lahir demi menunaikan takdir-Nya
dan kepadamu aku datang melunasi pinangan
bila kau bimbang oleh ketampanan, harta,
dan kekuasaan yang tidak menjadi nasibku,
akan kutunjukkan padamu, hati ratu Sheba
yang takluk pada lelaki dari negeri Ursyalim
ya, dialah utusan penyeru kebijaksanaan
dan aku hanyalah pejalan ringkih
penganggit madah suram kota zaman teknologi
yang hendak menghapus duka di matamu
sampaikah padamu getar jiwa dari madahku?
madah yang kutulis dengan ruh para pujangga
demi mendapatkan cinta kasih lahir-batinmu
umpama Sulaiman menaklukkan hati Sheba
IV
betapa kuat tarikan magnet besi beranimu
energi segala inderaku leleh ke lembah semadi
melumuti bilik berlumut biru penuh bekas bibirmu
peretak kaca sempit tanpa kedip halusinasi
dari ujung rambutmu yang rumput laut
kutemukan makna hidup yang pernah redup
lalu sepasang alismu menjelma dua ekor belut
meliuk-liuk ke rongga terumbu karang dadaku
wahai makhluk licin pewaris tabiat ratu Sheba
tangkap dan genggamlah lidi-lidi takdirku
biar purna khataman ikhtiarku di jalan kembara
biar sirna seluruh guruh penghancur batu-batu rindu
lihatlah ke kedalaman sumur mataku;
mata airnya mengandung zat-zat cintamu,
yang berkilauan merjan-merjan suargaloka
penepis dahaga para pecinta dan duka dunia
V
bumi menyerap saripati daging kelapa gading
di tanah pekuburan para petani prosa dan puisi
dan aku yang menanam padi di ladang kalbumu
berdoa: Tuhan abadikanlah penyatuan kami!
demi doa yang terpanjat, kau khusu’ bertasbih
hingga mencuat dari bibirmu mekar melati
dan keris bertangan naga dari tanah Jawa
yang akan kukenakan untuk melamarmu
atas penyatuan kita yang diamini margasatwa
kupahami maknanya dan kuterima berkahnya
sebab engkaulah sang penunjuk semata arti
bahwa cinta adalah sinar jembatan tajjali
yakinlah aku dan kuyakinkan kau, wahai istri
sebab ruh cinta yang maha, kita saling bicara
di ranjang segala sifat dan zat yang Abadi
hingga tak padam senyum umat manusia
dan di pelaminan penuh berkah semesta
biarkan kumadahkan Mazkurku padamu:
akulah pejalan ringkih penakluk perih kelana
yang dihianati tahun-tahun perkawinan musim.
dengan Hud-Hud Sulaiman dan selendang Cleopatra
kunaiki tebing terjal di batas bumi dan langit!
Yogyakarta, 2015-2016
———————————————
The Hymn Of Marriage
I
before your eyes closed,
you close the sky of courtyard’s wander
with your universal nature look
right when season kneeled down
destroying the city’s streetlight
also the greenhouses!
II
in this narrowing world,
my eyes are boiled by hues of your fire
blasting from the tomb of love
a timeless funeral of Queen Sheba
my life astride by the turmoil dreams
my inner eye looking farther to the border
reading the sign on the weather, the wind,
and rumbles on my own quaking chest
how magical the passion of this world’s creator
even though I’m only a being without wonder
the wisdom Psalm of Solomon the prophet,
lead me out of this deceiving labyrinth
III
with passion on unifying a strip of ribs
that God had separated from Adam who was craving for Eve
I was born to complete his destiny
and to you, I come to offer my proposal
if you’re indecisive by a handsome face, great wealth,
and power that does not destined to be my fate,
I’ll show you, the heart of Queen Sheba
that was fallen to a man from Ursyalim
yes, he was the messenger of wisdom preach
and I am only a frail wanderer
a dreary hymn composer from a city in the technology era
who wanted to erase the sorrow in your eyes
have they come to you, the soul vibes of my hymn?
the hymn that I wrote with the spirits of poets
to reach your love, body and mind
just like when Solomon conquered the heart of Sheba
IV
how strong the pulls of your magnetic iron
all my senses energy are melting into a meditation valley
covering a blue mossy chamber that scarred with your lips
cracking narrow glass without a blink of hallucination
from the tip of your seaweed-like hair
I found the meaning of life that once was dimmed
then your eyebrows transformed into two eels
snaking into the cavity of my coral chest
O, slipper creature, the heir of
Sheba’s nature
catch and clasp my destiny
let my will completely ends in the street of wanderer
let all the roars from the crusher of longing stones vanished
look into my well-depth eyes
the spring water contains your substances of love,
sparkling shiny and divine
the lover’s thirst and world’s grief remover
V
the earth absorbs ivory coconut meat essence
in the graveyard of prose and poetry farmers
and I, who grow rice in your fields of heart
pray: Lord, let our unity becomes eternal!
for the sake of praying, you glorify deeply
till jasmine blooms out of your mouth
and a dagger with dragon hilt from the land of Java
that I would wear to propose you
upon our unification that was blessed by the wildlife
I understand the meaning and accept the blessing
cause you are the cicerone of meaning
that love is the light of tajjali bridge
I assure and I assure you, O wife
because of the spirit of infinite love, we’ve talked to each other
in bed where all nature and substance are eternal
and the smiles of mankind are not yet extinguished
and in the aisle full of universe blessing
let me sing the hymn of my will to you:
I am a frail wanderer, the conqueror of smarting rove
who had been betrayed by years of marriage season.
along with Solomon’s Hudhud and Cleopatra’s shawl
I climb the steep cliff at the edge of the earth and the sky!
Translated by Poetry Prairie
Sumber: Poetry Prairie (Madah Perkawinan | Autobiografi Tanah Merah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar