Gmbar: g/ wallhere.com |
KEPADA AKUTAGAWA
Apakah dengan mengakhiri hidup, dunia
akan mengenangmu dengan bangga?
Pikiran-pikiran jahat, kengerian hidup,
telah membawamu pada pilihan terakhir
: hidup tidak layak diperjuangkan.
Kau bercerita padaku tentang makna hidup,
tentang kebaikan, dan kejahatan.
Aku masih ingat, Kandata—tokoh ceritamu
mendaki jaring laba-laba, hendak ke Surga
Ingin mengakhiri penderitaan di Neraka,
tapi apakah Kandata selamat dari siksa?.
Kandata tak ingin orang-orang
yang berpuluh tahun di Neraka, bangkit
dan lesit seperti dirinya ke udara terbuka,
menjalari kante laba-laba
dan ia akan jatuh dari daki—bahagia
“Ini adalah milikku!” katanya
sembari mengguncang sarang laba-laba raksasa.
Dan di tepi danau yang tenang,
tak jauh dari bunga teratai yang menjutai,
Buddha mengintai, penuh iba, penuh damba:
“Oh, Kandata, oh, Akutagawa,” katanya.
Kutub, 2018
BAHASA IBU
Siapa yang telah lebih dulu berdusta
di antara kita? kata ibu suatu waktu.
Apakah ibu telah berdusta pada bahasa,
atau bahasa yang telah berdusta pada ibu?
Di Desa, ibu hidup tanpa bahasa
Ibu bisu, seperti tetangga, dan para tetua
Mereka hidup lugu, dengan sapi
dan benalu anak-mantu yang tak kerja.
Ibu tidak pernah sekolah,
apalagi sampai membaca
Hanya ada caci menggerogoti telinga
dan dada yang terbuka setengah mata
Di lain hari, ibu terpaksa pergi ke Jakarta.
Di Jakarta, ibu hidup terlunta
sebagai buruh jaman Orba.
Sedang anak-cucu di rumah bambu
Lupa pada ibu, lupa pada bahasa
yang menari-nari gila di depan mata
Sumenep, 2018
GOO WOK NIANG I
Kau adalah ular betina
paling licik di muka bumi.
Tak ada laki-laki yang
tak takluk pada bibirmu.
Setiap kata-katamu adalah
perangkap dan marabahaya
tak terduga.
Kutukan demi kutukan
bagai ratusan peluru
menghantam keningku.
Kaki dan lenganku patah.
Aku lumpuh dengan
cacian-cacianmu
yang menjelma senjata
pemusnah:
bibirmu adalah bom atom
bagi dunia ini.
Tak ada kata manis,
atau kisah romantis.
Segala desis yang berbaris
pada lidahmu
adalah kata lain
dari kata bengis dan najis,
yang menanti kehancuran
dunia ini.
Jogja-Sumenep, 2018
GOO WOK NIANG II
Matamu lebih merah dari
mata api, dan seluruh api di neraka
takluk pada matamu.
Matamu tidak beragama
atau menganut suatu golongan.
Matamu terbebas
dari norma-norma apa pun,
dan tidak layak mendapat
tekanan dari siapa pun.
Matamu adalah sebagaimana
Mata Tuhan. Matamu adalah otoritas
Order Baru, dan telunjuk Hitler.
Tidak ada kebenaran
selain yang terpancar dari matamu.
Matamu adalah satu-satunya kebenaran,
di luar segala jenis norma
yang pernah ada di dunia ini.
Matamu adalah perasaan
rasa muak pada benda
yang bertentangan dengan
isi kepalamu.
Cantrik-Jakarta, 2018
GOO WOK NIANG III
Kata-katamu adalah bom rakitan
yang kau ledakkan,
ketika aku khusuk berdoa
pada alam raya.
Tak ada kata cinta
pada kening dan lidahmu.
Setiap cinta yang menyala
adalah jihad yang bersanding manis
dengan kebencian.
Cinta adalah kata pemusnah
yang tidak datang tiba-tiba.
Sedang gereja-tubuhku hangus
ketika kau datang memelukku
penuh kejutan dan kebejatan.
Kau telah membenarkan
isi kepalamu dengan caramu sendiri
dan aku telah membenarkan
isi kepalaku dengan caraku sendiri.
Kau tidak peduli, betapa kita
akan musnah dalam ledakan
yang konyol dan tidak masuk akal.
“Perjuangan tidak membutuhkan
kebenaran umum,” katamu.
“Jauh-jauh hari,
kebahagiaan abadi telah menantiku,
aku tidak sanggup
menunda hidup terlalu lama,” tegasmu.
Hari ini, kau telah merasa terbebas
dari kutukan dan caci-maki
setiap orang yang mencintaimu.
Kau telah menjelma kebenaran
tidak ada kebenaran lain,
selain kebenaranmu,
kau adalah kebenaran itu sendiri.
“Anal haq, anal haq, anal haq,” katamu,
meniru Mansur Alhallaj.
Tangerang-Sumenep, 2018
GOO WOK NIANG IV
/I/
Ciumlah bunga mawar di bawah pusarku,
juga pentil susu dan bibirku yang tawar.
Dan aku akan bersedih
jika malam-malamku lewat begitu saja
tanpa desahan atau lenguh seseorang
yang meniup telingaku sepenuh jiwa.
Dan aku selalu akan jatuh cinta
pada setiap laki-laki yang mendatangiku
Ada api, ada api yang tidak pernah
padam pada mataku.
Dan aku tak bisa hidup tanpa desahan.
Bagiku, dunia ini diciptakan
untuk sebuah desahan dan desahan.
Tidak ada yang lain.
/II/
Tak usah kau mencariku
ke akar silsilah, tak ada yang akan
mengantarkanmu ke sana.
Aku, Goo Wok Niang
dalam darahku, tak ada Goo Hwang Lin
atau Laksamana Cheng Ho
yang membawa ceritaku padamu.
Aku ada, tanpa peran mereka dalam sejarah.
Mataku tidak sipit, dan aku tidak dilahirkan
dari bangsa kulit putih
Aku tidak hidup dalam mitologi Yunani
atau cerita rakyat atau
dalam sebuah novel sejarah.
Aku tidak dilahirkan di Jawa Tengah
bahasaku tidak ngapak,
aku lahir di Sumatera, berdarah Jawa.
Umurku delapan belas tahun
dan aku akan mengahabisi kalian
yang tidak sepakat, bahwa tujuan hidup
adalah desahan. Hahaha.
Dengan kelincahan lidah
dan tingkahku, kau tidak akan mengelak
atau menghindar,
kau akan takluk pada ranjangku.
Percayalah, tak ada racun paling
mematikan kecuali
kecupan-kecupanku, jika kau
tak percaya: datalanglah padaku
ketika mataku benar-benar
berwarna merah.
Tangerang-Sumenep 2018
BUTA LA’-MELLA’*
Ada yang jatuh
dan patah tak terduga
tak jauh dari meja
Ibu bahasa marah,
matanya merah
dan murka
pada anak bahasa:
‘Tidak melihat,
hah, tidak melihat?’
Ibu bahasa ngambil sapu
dan memukul anak bahasa
sampai biru.
Sembari sesegukan
anak bahasa pergi dari rumah
dan tak pulang ketika senja
benar-benar telah lusuh.
Sumenep, 2018
*istilah ini biasanya berlaku bagi orang yang
grusah-grusuh, dan selalu terburu-buru.
NGOWAN BAKTO
Waktu adalah sapi ternak
yang dipelihara penuh cinta.
Setiap pagi waktu dimandikan
seperti bayi-bayi dimandikan
Tahi dan kencing pada tabuh waktu
dienyahkan dengan telaten.
‘Waktu adalah dirinya sendiri,’
kata pemilik waktu.
Telur ayam kampung
dan jamu ramuan dicapur jadi satu,
Lalu diminumkan pada waktu:
‘agar urat waktu sekuat baja,’ katanya.
Rumput-rumput didatangkan
dari desa sebelah, agar waktu tidak kurus,
Agar waktu terawat dengan baik,
oleh tangan yang ulet dan cekatan.
‘Sepintar-pintar kau
merawat tubuh waktu,
Sepintar-pintar pula lah
kau merawat dirimu sendiri.’
Begitu selalu pemilik waktu berujar
setiap kali matanya menyapu laut bulan
Desember.
Sumenep, 2018
EMBI’ NGANTOR GHUNONG*
Kambing akhirnya memilih sepi
karena tidak berhasil meminang
gunung di ketinggian.
‘Sepi di padang,
sepi dipandang,’ kata kambing.
Sepi menemani kambing,
kemana pun kambing pergi,
kemana pun kambing berbagi.
Sumenep, 2018
*istilah ini berlaku untuk laki-laki miskin
yang berambisi meminang perempuan terpandang tapi ditolak mentah-mentah.
**) Sumber naskah: g/ janang.id
Gambar: doc/ arsippenyairmadura |
Saifa Abidillah, lahir di Sumenep pada 07
Februari 1993. Alumni MA 1 Annuqayah. Sekarang masih tercatat sebagai mahasiswa
Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN
Sunan Kalijaga dan aktif mengelola LSKY (Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta).
Tulisan-tulisannya pernah terkumpul dalam antologi bersama, antara lain, Narasi
Mendung dalam Tarian Hujan (2009), Bersepeda ke Bulan (2014), Lumbung
Puisi Sastrawan Indonesia Jilid III (2015), Nun (2015), Negeri Laut
(2015), Ketam Ladam Rumah Ingatan (2016) dll. Kini mukim di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar