Gambar: dirancang oleh "Alek Subairi" doc/ arsippenyairmadura |
WINGIT
Kami memulai lagi berjalan beriring-iring
membuka senyum, membuka pagar halaman, membuka
temali yang mengikat masa lalu di
simpang-simpang.
Kami membawa air minum, hasil panen,
biji-bijian, dan cara
duduk seperti buah-buahan matang. Bila dilihat
dari kejauhan,
kami tampak membuang-buang waktu,
seakan penganut ajaran yang menjamu yang gaib.
Mari mendekat, sampai lenyap namamu. Akan kau
dengar
doa-doa dibisikkan, dosa-dosa disunyikan,
airmata dilagukan.
Kami menanam apa-apa yang kami cintai, bukan?
Bertamu kepada alam dengan segenap tubuh kami,
dengan
tabiat kami, dengan ikhtiar tak berlebih.
Sekali-kali kami tidak
memunggungi kebaikan lain yang datang dari
banyak silsilah.
Biarlah kami menerima dengan bahasa yang kami
mengerti,
bahasa yang kami kenal perangainya sampai ke
dalam tidur
paling hijau. Yaitu, tidur tanpa beban waktu.
2011
SULUH
Sejuknya, sejuk mata,
memeluk sunyi setangkai
hai,
jingga datang dari kerumunan
lalu menggelar tikar
: marhaban, ya marhaban.
Kau memandang senang
aku menabuh gendang
lalu kami menulis kabar
kepada yang jauh,
juga kepada yang dekat.
Berpuluh iringan
membaca salam
salam daun berikat-ikat
lalu bimbang jadi kembang,
jarak jadi pelukan
jadi yang memanggil
dalam putik tembang
pengantin datang
hai,
pengantin jangan hujan.
Mari senang-serukun.
Asap dapur melambai-lambai
sebab kembang batin
memberi restu bagi yang
berjalan ke pematang
Bila kau menyisir rambut,
aku mengusir kabut
memberi jalan kepada
hai
sunyi setangkai.
2010
KETINTANG
Banyak yang datang menyerahkan pagi hari
kepadamu,
seperti menyerahkan nasi kuning dan doa
selamatan.
Doakan kami agar terhindar dari banjir yang
mengepung
asal-usul kami. Kami ingin terjaga dari tidur
setiap kali
ada bunyi ting, setiap kali ada bunyi yang
menyaru
ibu bapak kami yang
jauh.
Namun, bila kami terjaga, bunyi-bunyian itu
menjadi sosok lain, menjadi kerisik tikus yang
gemar
menabrak pintu dan jam tidur. Menjadi siaran
sepak bola yang gaduh, menjadi ajakan
mengelabuhi
perasaan kangen di warung kopi yang
licin.
Siapa yang datang dan pergi cuma sebutan
sekelebat.
Semua orang membawa tas, membawa mantel hujan,
membawa rencana-rencana pertemuan yang
tak pernah selesai
dimiliki.
Lalu kami membuka pintu malam-malam
mengintip ke luar, ke arah pos ronda di
tikungan
yang kosong. Kami rindu memukul potongan besi
yang menggelantung itu, sekadar memastikan
kalau kami masih
waspada.
2012
Gambar: doc/ arsippenyairmadura |
Alek Subairi, lahir di
Sampang, 5 Maret 1979. Lulusan Seni Rupa Unesa, Surabaya. Beraktivitas di
Komunitas Rabo Sore (KRS), dan Komunitas Tikar Merah. Buku puisinya Kembang
Pitutur (amper media, 2011). Mengelola Jurnal Puisi Amper dan Majalah
Sastra Kalimas. Tahun 2013 mengikuti Ubud Writers & Readers Festival
(UWRF). Sementara ini tinggal di Surabaya. Email: aleksubairi@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar