Gambar: g/ news.okezone.com |
NH. DINI
Selamat pagi pendengar radio
Semesta Raya
Telah tiba riap cahaya matahari
Seusai mencium kelopak bunga
Kini singgah di jendela
Membelai kalender di balik lemari
Tempat menyimpan lipatan kenangan hati
Disisirnya cermin retak tak berbingkai
Seusai mencecap dinding kusam
Ia beranjak mengiringi jejak pagi
Melompati rentangan waktu kelam
Alangkah hangat pelukan udara
Ranting luruh dari pohon duka
Yang merambat di dahan usia
Terusir sudah dari dada
Ya, pendengar yang berbahagia
Di sini cuaca sedang cerah
Tapi bagi anda yang ingin berjalan ke batas harapan
Jangan lupa membawa peta
Antena dan pemancar
Biar terpancang sepanjang pandang
Demikian sedikit informasi saya layangkan
Izinkan saya merebahkan kesunyianku di Sendowo
Sebelum rasa sakit dilulur koyo
Marilah sejenak kita berbagi senyuman
Dalam bentangan perjalanan panjang
Sri pemetik bunga Sekayu
Lintasi ambang pekarangan petang
Meniti jembatan impian sang ibu
Sehabis hujan bayang menggenang
Di balik pintu menuju senja
Dipandanginya lukisan air mata
Di ambang petang ayah dijelang
Pelukan hangat bunda berkecai
Ke tubir sunyi rumah abadi
Dupa mewangi ranting luruh
Lubuk kalbu bersuar suluh
Tembusi kenasi, Sri rahayu
Tinggalkan Sekayu, muasal rindu
Ke Kincir Angin, Keberangkatan menepi
Iringi perjumpaan dua hati
Berselempang rajutan kembang melati
Dalam senarai pupuh Kinanthi
Lamun sira ameguru kaki
Amiliha manungsa
Ingkang becik martabate
Serta weruh ing ukum
Kang Ibadah lan kang wirangi
Sukur oleh wong tapa ingkang wus amungkul
Tan gumantung liyan
Iku wajib guronana kaki.
Sertane kawruhanana
Akulah Sri dalam cerita
Berjalin rupa antara Jawa dan Eropa
Susuri sebuah lorong di kotaku
Seberangi sungai Siene rantau
Kucari peta pelaut Jules Verne
Dua puluh ribu mill di kedalaman laut
Barangkali di sana bersua Raja Ali Haji
Pelantun gurindam baris dan makna
Pada sebuah kapal kulempar jaring
Giwang kujadikan kail dan pancing
Amir Hamzah hanyut aku
Dalam sajakmu tak kujumpa kalbu
Suatu senja di pelabuhan kecil
Kutandai namanya bukan Chairil
Penyair kusam bertubuh dekil
Menanti Rimbaud di taman eiffel
Aku Dini, Sri penari pipih
Menyanyi sunyi ditinggal kekasih
Di pucuk bunga taman Tuileris
Tangisku pilu di jantung Paris
Siapakah berpaling di sisa hari
Menjanjikan petang dan
Malamku sangatlah sendiri
Mampus hati dikoyak sepi
Adakah pendengar merasai udara
Mengembun dari lumbung Dini
Mengabur dari beranda pagi
Pendengar radio Semesta Raya
Tapi baiklah, pendengar setia
Harap tak usa menggeser gelombang
Sebelum tembang Ngesti Pandawa
Dari jantung kekasih tersayang
Sebab alamat tak pernah tiba
Diharap penerima bersabar sejenak
Dan disarankan menjaga jarak
Dari pertunjukan tarian Subadra
Sri Sindoro, Sri gadis Jawi
Digaris hening pasrahkan diri
Sri tembangkan serat Centhini
Di tubir Merapi cinta berapi
Pendengar radio Semesta Raya
Di rimba birahi mana pun anda berada
Dimohon tidak memetik kenanga
Dari pohon rambat hingga ke dada
Bila mawar tak lagi mekar
Dini 'kan enggan berkabar
Kantil dan melati tumbuh bersemi
Di lubuk Sri sang penari
Satu tembang dendang menggema
Dini harap pendengar bahagia
Bersanding bersama batin dahaga
Sampai menepi kapal di dermaga
Pada Sebuah Kapal
Sri larungkan diri ke dalam laut kembara
Geladak berderak gelombang menggemuruh
Tepian dan pelabuhan semakin jauh
Kenangan, kenangan menjelma sakal
Patahkan dayung hingga terpental
Ke mana tepi mesti dicari
Ke hati jua diri selidiki
Gema gulana tiada arti
Dalam gelombang ajal menanti
Telah tiba riap cahaya matahari
Seusai mencium kelopak bunga
Kini singgah di jendela
Membelai kalender di balik lemari
Tempat menyimpan lipatan kenangan hati
Disisirnya cermin retak tak berbingkai
Seusai mencecap dinding kusam
Ia beranjak mengiringi jejak pagi
Melompati rentangan waktu kelam
Alangkah hangat pelukan udara
Ranting luruh dari pohon duka
Yang merambat di dahan usia
Terusir sudah dari dada
Ya, pendengar yang berbahagia
Di sini cuaca sedang cerah
Tapi bagi anda yang ingin berjalan ke batas harapan
Jangan lupa membawa peta
Antena dan pemancar
Biar terpancang sepanjang pandang
Demikian sedikit informasi saya layangkan
Izinkan saya merebahkan kesunyianku di Sendowo
Sebelum rasa sakit dilulur koyo
Marilah sejenak kita berbagi senyuman
Dalam bentangan perjalanan panjang
Sri pemetik bunga Sekayu
Lintasi ambang pekarangan petang
Meniti jembatan impian sang ibu
Sehabis hujan bayang menggenang
Di balik pintu menuju senja
Dipandanginya lukisan air mata
Di ambang petang ayah dijelang
Pelukan hangat bunda berkecai
Ke tubir sunyi rumah abadi
Dupa mewangi ranting luruh
Lubuk kalbu bersuar suluh
Tembusi kenasi, Sri rahayu
Tinggalkan Sekayu, muasal rindu
Ke Kincir Angin, Keberangkatan menepi
Iringi perjumpaan dua hati
Berselempang rajutan kembang melati
Dalam senarai pupuh Kinanthi
Lamun sira ameguru kaki
Amiliha manungsa
Ingkang becik martabate
Serta weruh ing ukum
Kang Ibadah lan kang wirangi
Sukur oleh wong tapa ingkang wus amungkul
Tan gumantung liyan
Iku wajib guronana kaki.
Sertane kawruhanana
Akulah Sri dalam cerita
Berjalin rupa antara Jawa dan Eropa
Susuri sebuah lorong di kotaku
Seberangi sungai Siene rantau
Kucari peta pelaut Jules Verne
Dua puluh ribu mill di kedalaman laut
Barangkali di sana bersua Raja Ali Haji
Pelantun gurindam baris dan makna
Pada sebuah kapal kulempar jaring
Giwang kujadikan kail dan pancing
Amir Hamzah hanyut aku
Dalam sajakmu tak kujumpa kalbu
Suatu senja di pelabuhan kecil
Kutandai namanya bukan Chairil
Penyair kusam bertubuh dekil
Menanti Rimbaud di taman eiffel
Aku Dini, Sri penari pipih
Menyanyi sunyi ditinggal kekasih
Di pucuk bunga taman Tuileris
Tangisku pilu di jantung Paris
Siapakah berpaling di sisa hari
Menjanjikan petang dan
Malamku sangatlah sendiri
Mampus hati dikoyak sepi
Adakah pendengar merasai udara
Mengembun dari lumbung Dini
Mengabur dari beranda pagi
Pendengar radio Semesta Raya
Tapi baiklah, pendengar setia
Harap tak usa menggeser gelombang
Sebelum tembang Ngesti Pandawa
Dari jantung kekasih tersayang
Sebab alamat tak pernah tiba
Diharap penerima bersabar sejenak
Dan disarankan menjaga jarak
Dari pertunjukan tarian Subadra
Sri Sindoro, Sri gadis Jawi
Digaris hening pasrahkan diri
Sri tembangkan serat Centhini
Di tubir Merapi cinta berapi
Pendengar radio Semesta Raya
Di rimba birahi mana pun anda berada
Dimohon tidak memetik kenanga
Dari pohon rambat hingga ke dada
Bila mawar tak lagi mekar
Dini 'kan enggan berkabar
Kantil dan melati tumbuh bersemi
Di lubuk Sri sang penari
Satu tembang dendang menggema
Dini harap pendengar bahagia
Bersanding bersama batin dahaga
Sampai menepi kapal di dermaga
Pada Sebuah Kapal
Sri larungkan diri ke dalam laut kembara
Geladak berderak gelombang menggemuruh
Tepian dan pelabuhan semakin jauh
Kenangan, kenangan menjelma sakal
Patahkan dayung hingga terpental
Ke mana tepi mesti dicari
Ke hati jua diri selidiki
Gema gulana tiada arti
Dalam gelombang ajal menanti
Dalam arus Sri menantang
Ombak pasang siap diterjang
Sri gamang menimang gelombang
Terkenang Bunda tempat berpulang
Dari Ngalian Ke Sendowo
Bunda membayang sepanjang jalan
Di tapal batas garis kesunyian
Bundalah, Dini, tempat tumpuan
Ombak pasang siap diterjang
Sri gamang menimang gelombang
Terkenang Bunda tempat berpulang
Dari Ngalian Ke Sendowo
Bunda membayang sepanjang jalan
Di tapal batas garis kesunyian
Bundalah, Dini, tempat tumpuan
*) dikutip
dari buku “Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa, Mahwi Air Tawar.
2017”.
Gambar: doc/ arsippenyairmadura |
Mahwi Air Tawar, lahir di pesisir Sumenep,
Madura, 28 Oktober 1983. Sejumlah cerpen dan puisinya dipublikasikan di Kompas,
Jawa Pos, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Bali Post, Horison, Jurnal Cerpen
Indonesia, Jurnal Sajak, dan lain-lain. Cerpen dan puisinya juga termuat di
sejumlah antologi bersama, di antaranya 3 Penyair Timur (2006, puisi),
Herbarium (2006, puisi), Medan Puisi, Sampena the 1 International Poetry
(2006, puisi), IBUMI: Kisah-kisah dari Tanah di Bawah Pelangi (2008, puisi),
Sepasang Bekicot Muda (2006, cerpen), dan Robingah, Cintailah Aku (2007,
cerpen). Salah satu cerpennya yang berjudul Pulung terpilih sebagai cerpen
terbaik dalam lomba yang digelar oleh STAIN Purwokerto dan terkumpul dalam
buku Rendezvouz di Tepi Serayu (2008-2009), Jalan Menikung ke Bukit Timah
(TSI II, cerpen), Ujung Laut Pulau Marwah (TSI III, cerpen), Tuah Tara No Ate
(TSI III, cerpen), Perayaan Kematian (2011, cerpen). Kumpulan cerpen
pertamanya, Mata Blater (2010), mendapat penghargaan dari Balai Bahasa
Yogyakarta, 2011. Ia aktif mengelola komunitas sastra Poetika dan Kalèlès,
Kelompok Kajian Seni Budaya Madura, di Yogyakarta. Buku cerpennya yang terbaru
adalah Karapan Laut (2014), dan buku puisinya yang sudah terbit; “Taneyan”, “Lima Guru Kelana ke Lubuk Jiwa” dan
“Tanah Air Puisi Air Tanah Puisi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar