Sumber gambar: http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2017/09/home-daftar-isi-daftar-arsip-contact.html |
MENONTON LUDRUK
Tampaknya orang-orang kampung butuh tertawa
sekedar menggulung tikar merah air mata
atas kesedihan padi-padi berbuah petaka
atau atas rasa asin hidup luntang-lantung
mencari nafkah dari sebongkah tanah.
Namun, mereka butuh kebahagian yang sederhana
dari sebuah hiburan yang mengocok perut anak muda
sampai tua bangka. Mereka pun korbankan rasa kantuk
pada gigitan angin malam, demi sepucuk bahagia
yang tak bisa dibeli dengan uang.
Seperti menonton Ludruk malam ini, kata orang-orang
kampung Nyabakan. Semua orang miskin dan kaya
berbaur
dihadapan panggung, menyaksikan manusia melawak
mementaskan kekonyolan hidup yang pura-pura
yang ditertawakan orang-orang kampung: haus
kebahagiaan.
Dan mereka tak pernah resah dan rugi, walau duduk
dan berdiri
berjam-jam menonton. Sebab, semua di sana membagi
keuntungan:
dari yang menjual kacang sampai dari mereka yang
membeli kacang.
Sedang, para pelawak terkekeh dibelakang layar,
karena
hatinya telah mendapat upah kebahagiaan, melihat
orang-orang terhibur, seakan menertawakan duka lara
yang bertahun-tahun berbunga di taman hati mereka.
Jurang Ara,2018
Ketidakwarasan Masa Kecil
Dari
gema mulut ke mulut lainnya
kenagan
menjadi piala bergilir
dalam
gelanggang cerita malam ini.
malam
ini, di kursi-kursi waktu
segelas
cerita purba kita seruput
sambil
menghisap sepuntung kenangan
masa
kecil yang tak sempat tercatat
ibu
sejarah.
Sesekali
kita menjadi orang gila baru
malam
ini: tertawa sendiri dan malu sendiri.
Ketika
sepasang mata ingatan
menyaksikan
sandiwara ketidakwarasan
masa
kecil kita dalam televisi masa silam.
Seperti
yang selalu kuingat sampai kini
adalah
kenangan tentang pertikaian kita
yang
tak masuk akal. Paginya bertengkar
bagai
kucing dan tikus dan malamnya kita
saling
berjabat tangan berangkat ngaji
sambil
menertawakan sedetik pertengkaran
yang
telah dikenang waktu.
Alangkah
manisnya hidup di rumah kenangan
dan
alangkah muaknnya hidup dalam tempurung
masa
sekarang. Barangkali kegembiraan hanya milik
masa
kecil bukan milik masa kini dan masa depan.
Sebab
seperti kita saksikan di luar jendela kenangan
tahun
ini. Dendam dan kebencian adalah sepasang
bunga
keabadian dalam hati perdaban waktu, yang
menyebarkan
aroma darah permusuhan dan kematian
menganyam
sejarah air mata dalam kehidupan, hanya
demi
tahta, harta dan kekuasaan kekal di panggung
kehidupan.
Jurang Ara, 2018
Bersama Kata: Waktu Bercahaya,
Hidupku Kembali Jaya
Tanpa
kata: hidupku rapuh kemudian patah
menjadi
kayu-kayu bakar dalam
tungku
ibu menanak nasik jagung.
Mungkin
hanya kata yang abadi
jika
di luar kata: taman kehidupan
tak
berbunga dalam sejarah.
Karena
bersama kata: waktu bercahaya
dan
hidupku kembali jaya setelah kematian
mengibarkan
bendera air mata pada kehidupan.
Barangkali
manusia tak berkawan kata-kata
adalah
mati setelah itu tak berarti dan dilupakan.
Sebab
kata adalah kotak ajaib yang menyimpan
kerikil-kerilki
atau mawar-mawar hati,
yang
dibaca dan dikenang waktu dan kehidupan.
Jurang Ara,2018
Norrahman
Alif, lahir di Jurang Ara –Sumenep –Madura 01 Mei 1995. Menulis puisi dan resensi di
Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta ( LSKY ). Beberapa karya saya bisa dinikmati
di: Media Indonesia, Republika, Kedaulatan
Rakyat, Suara Merdeka, Solopos, Minggu
Pagi, Radar Surabaya, Merapi,
Magelang Ekspres, Bangka Pos, Radar Cirbon, Koran Madura, Majalah Simalaba,
Analisa, Rakyat Sultra, Tempo, Banjarmasin Post dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar