Diambil dari "Abstract Painting". |
SURAT DARI
KAMPUNG
Kepadamu,
aku kirim malam-malamku lewat hujan
Di lubuk
sunyi, masih kusimpan sebuah halaman yang tenang
Di
tanah ini, tak lelah aku berbaring menikmati aroma laut
Menyeruak
menjadi nafas bagi hari yang kian ngeri
Di
dadaku, matahari senantiasa terbit dan menyala
Dari
balik bukit dan rimbun hutan yang hijau
Sedangkan
kau selalu sembunyi di balik suara sirine
Menimbulkan
kecemasan dan ketakutan-ketakutan sementara
Di
tengah ladang yang subur, takkan gentar aku berdiri
Sambil
mengusir burung-burung yang gelisah
Mendengar
kabar dari kejauhan
Tentang
nama-nama yang tersesat di tengah kota
Kepadamu,
aku kirim hari-hariku yang biasa
Di
kedalaman nurani, kupanggil kau dengan sejumlah doa
Sumenep Madura,
2016
PADA SUATU HARI
YANG LAIN
Pada suatu hari yang lain
Engkau tiba-tiba mucul
Dari balik kenangan paling hitam
Menulis isyarat bunga-bunga
Menjadi
sekuntum tanya
Yang bertabur di persimpangan jalan
Sementara, aku mulai membaca tafsir
Di antara angka-angka yang berhenti
mengalir
Sambil berjalan keluar, mencari
suara-suara
Atas nama engkau yang tegak di balik
kaca jendela
Engkau telah menjelma hari yang teramat
ngeri
Tanggal-tanggal dan almanak terlipat,
menegaskan kalimat sepi
Engkau seperti berputar di atas
bayang-bayang
Ke dalam hutan aku bersembunyi, menerima
ketersesatan ini
Entah, sampai kapan keterasingan ini
akan berakhir?
Kepada langit, aku telah berbicara atas
namamu
Menyempurnakan rahasia yang bekabut di
dadaku
Sedangkan engkau masih selalu berbisik
Di antara pecahan-pecahan sukmaku yang
lelah
Mencari satu jalan, menunggu satu
kesimpulan
Sumenep,
2016
LELAKI
PUISI
Masih
kucari kelembutan bahasa pada mataku yang nanar
Membuka
rahasia langit, mengintip bulan sabit di daun jendela
Sunyi
yang samar, masuklah dalam tubuhku
Melarung
ingatan, memecahkan kaca menjadi kata bagi sebuah luka
Masih
kucari keindahan bahasa pada doa-doa yang dipanjatkan
Di
malam yang ke tujuh, agar puisi menyatu dalam ruh
Tanganku
gemetar menghitung kata-kata
Pada
jarum jam yang berbicara, meletup-letup di dada
Sumenep, 2016
LELAKI MALAM
Ia
berdiri di balik bayangannya sendiri
Sambil
mengintip jendela yang terbuka
Ada
bulan menggantung
Seumpama
puisi yang tak sempat diungkapkan
Ia
menyebutnya sebagai tanda
Mengetuk
kesunyian yang gelisah
Sepanjang
waktu bersembunyi
Kemudian
berputar di persimpangan malam
Ia
menengadah, membuka jalan ke langit
Memejamkan
doa-doa yang bergetar
Memuja
setiap inci rindu
Yang
menuliskan bermacam angka-angka
Ia
terus berdiri, membelah diri
Sampai
akhirnya, terlelap dalam puisi
Sumenep, 2015-2016
Rifky
Raya,
lahir di Sumenep Madura. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah.
Karya-karyanya berupa puisi dimuat beberapa media dan
antologi bersama, antara lain: Ketam Ladam Rumah Ingatan (2016), Lubang Kata (2017), The First Drop Of Rain (2017) dll. Di pesantren, pernah aktif di Sanggar Pangeran, Teater Kotemang, Sanggar
Andalas.
Saat ini bergiat di Komunitas Pelar Sumenep. Instagram:
rifkyraya_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar