oleh: Itsna Hadi Saptiawan
Sekelumit
tentang Timur Budi Raja
TIDAK seperti zaman baheula yang membuat pencarian informasi
begitu sulit, era internet sungguh memudahkan ketika hendak mencari data
tentang siapa pun. Bahkan jika itu adalah orang yang tidak Anda gauli dengan
baik. Demikian pula untuk Bung Timur Budi Raja. Pertemuan yang hanya sekali
rasa-rasanya tidak relevan dijadikan rujukan dalam menyusun profil tentangnya.
Secara ilmiah, sikap ini hanya akan dianggap sebagai keteledoran akademis yang
sepatutnya tidak ditoleransi. Berdasar pertimbangan logis/pragmatis itulah,
kemudian saya selaku orang yang ”ditodong” membedah Opus 154 merasa membutuhkan referensi yang lebih banyak. Pun jika
di dalam Opus 154 telah dicantumkan
biografi singkat tentang Bung Timur, tetap saja tidak afdal jika saya tidak
mencari sendiri segala informasi yang berkaitan dengan penyair yang mulai
dikenal pasca memenangkan lomba penulisan puisi se-Madura pada 1998 ini.
Timur
Budi Raja lahir di Bangkalan pada 01 Juni 1979. Ia telah menerbitkan dua buah
antologi puisi tunggal, yakni Aksara yang
Meneteskan Api (2006) dan Opus 154
(2012). Di samping itu, sajak-sajaknya yang lain tercecer dalam beberapa
antologi puisi bersama. Di antaranya Akulah
Mantera (1996), Mosshat (1998), Anak Beranak (1998), Istana Loncatan (1998), Luka Waktu (1998), Narasi 34 Jam (Komunitas Sastra Indonesia, 2001), Osteophorosis (2001), Hidro Sefalus (2001), Sastra Pelajar (Horison, 2002), Ning (Sanggar Purbacaraka Udayana,
2002), Permohonan Hijau (Festival
Seni Surabaya, 2003), Penyair Jawa Timur
(Festival Seni Surabaya, 2004), Pelayaran
Bunga (Festival Cak Durasim, 2007), Laki-Laki
Tak Bernama (Dewan Kesenian Lamongan, 2008), Rumah Kabut (2009), Pesta
Penyair Jawa Timur (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009), dan Forum Sastra Hari Ini (Salihara, 2010).
Melihat produktivitasnya yang demikian tinggi, sudah sewajarnya jika beberapa
sajaknya diganjar penghargaan. Semisal pada 1998, ia memenangkan lomba penulisan
puisi se-Madura. Penghargaan itu ia menangkan pada usianya yang belum genap dua
puluh tahun. Sebuah prestasi yang tentunya sangat membanggakan. Mengingat, pada
usia relatif muda, ia ”menaklukkan” Madura yang notabene melahirkan
penyair-penyair nasional kenamaan semacam D. Zawawi Imron, Abdul Hadi W.M., dan
Jamal D. Rahman. Penghargaan lain diperolehnya dari Yayasan Komunitas Sastra
Indonesia (2001) atas puisi Biografi dari
Beranda Sine. Ada pula penghargaan dari Sanggar Purbacaraka, Fakultas
Sastra Udayana, Bali (2002) berupa Purbacaraka Award atas puisi Sehabis Sore.
Lukisan karya Van Gogh, diambil dari "Abstract Painting". |
Selain
aktif sebagai seorang penyair, Timur Budi Raja tampaknya memegang teguh prinsip
yang menyatakan bahwa lapangan seni bukan sekadar untuk kenikmatan pribadi,
tetapi juga sebagai ladang orgasme komunal.[1] Tengok saja, ia aktif dalam
perhimpunan-perhimpunan seni sebagai tutor/pendamping yang memberikan workshop penulisan kreatif. Ia juga
menjelma sebagai kontributor/penggagas ide bagi beberapa perhimpunan yang ia
bina. Bahkan, kerap Bung Timur ini melakukan roadshow yang jauh meninggalkan ”kandangnya” (kunjungan perdana ke
Lombok, 2011). Tampaknya, atas pertimbangan-pertimbangan itulah, ia sempat dua
kali ditunjuk sebagai kurator puisi. Yakni, pada Sehimpun Puisi Silaturahmi Indonesia (Temu Teater Mahasiswa
Nusantara, 2008) serta pada Sehimpun
Puisi Sepuluh Kelok di Mouseland
(2011).
Sudah
cukupkah paparan di atas? Sepertinya tidak. Laku ideal yang mesti dilakukan
pada saat berupaya memaknai sebuah karya ialah dengan mengenali ”dalang” yang bermain
di balik karya tersebut. Maka, tidaklah salah jika kemudian upaya memahami Opus 154 berkaitan erat dengan studi
antromorfis terhadap pribadi sang penyair. Dalam hal ini, tentu saja Bung Timur
Budi Raja.
Dalam
beberapa literatur yang beredar –dan berdasar pengamatan singkat penulis– dapat
disimpulkan bahwa Timur Budi Raja adalah seorang seniman yang semi-misterius.
Kesan pertama berkata demikian. Ia seolah sulur yang menyimpan keindahan dalam
lekuk-lekuk tersembunyi. Kehangatan, romantisme, termasuk sinisme seperti
tersimpan rapat pada kotak pandora raut wajahnya. Bayangkan saja seperti Anda
berhadapan dengan kotak hitam pesawat, kotak yang menyimpan rahasia. Bayangkan
saja seperti Anda berhadapan dengan seseorang yang hanya membuka diri melalui
sajak-sajaknya, bukan lewat retorika atau kecakapan verbalnya. Jika bertemu hal
demikian, segera yakinkan diri bahwa Anda sedang berhadapan dengan seorang
penyair bernama Timur Budi Raja.
Ia
mulai menulis sajak semenjak kelas empat sekolah dasar. Kita dari kelas berapa?
Perbandingan ini tentu mampu menjelaskan perbedaan kualitas sajak yang
dihasilkan. Bung Timur telah lebih dini mengasah intuisi dan imajinasinya. Ia
beranjak dari penulisan sajak-sajak ”permen” yang serbamanis dan indah menuju
ke taraf penulisan sajak yang secara psikologis lebih rumit dan
multiparadigmatis. Dalam Opus 154,
ada titik tertentu ketika Timur Budi Raja menjelma menjadi sosok avonturir (tamu dari desa dan teater). Namun, adakalanya ia berubah diam dan tafakur
mendengarkan segala keluh semesta (pada
suatu ketika dan pohon yang sendirian).
Seorang
penyair yang pendiam, sepertinya itu kesan visual yang mampu saya terima hingga
hari ini. Tampaknya, Timur Budi Raja memang terlahir dengan pencitraan
tersebut. Terlepas dari benar tidaknya asumsi ini, faktanya adalah sajak-sajak
yang ia tulis menghadirkan kesan paradoksal. Di dalamnya, ia justru hadir
sebagai sosok yang berapi-api, sinis. Ia penuh oleh dahaga estetik. Seolah
kegamangan yang ditemukannya dalam dunia nyata tiba-tiba nihil dan bertransformasi
menjadi sekumpulan bintang-bintang yang menunggu untuk dipoles agar bersinar
lebih terang. Maka, kemudian yang harus kita lakukan ialah membaca dan
menikmati. Sebab, dari keduanya akan kita ketahui serumit apa ”isi kepala” Bung
Timur Budi Raja.
Sajak-Sajak
Timur Budi Raja
Timur memiliki
pucuk yang patut diacungi harap. Ia mampu mengolah perenungannya atas sebuah
peristiwa ke dalam metafora naratif dengan imaji visual yang terang. Sebagai
sajak naratif, tuntutan yang seringkali diajukan adalah kemampuan sajak itu
untuk berubah menjadi kisah yang mampu bergerak meresap menggetarkan tubuh dan
jiwa pembacanya. Dalam buku ini, beberapa sajak dapat melakukannya, seperti
bunga-bunga sore menyisakan kenangan yang gemetar ke dalam ingatan (Aslan Abidin,
penyair dan dosen).
Sejumlah puisi
itu seperti tak hendak menjadi Madura, menjadi Bangkalan. Ia tidak berpijak
pada nafas sufistik yang banyak terdapat di lembaran kitab kuning. Pun, ia
menolak kekerasan, menolak Madura dengan tradisi celurit dan carok-nya. Malahan
memilih berteriak “ahimsa,…ahimsa” (Agus Hernawan, penyair)
Membaca
puisi-puisi Timur, untuk saya menjadi bagian membaca sebuah era dari kehidupan
sosial politik kita yang memang sedang menghancurkan puisi. Dan Timur memilih
ruang setapak dari jejak-jejak penghancuran itu untuk mengeram diri. (Afrizal Malna,
Penyair dan esais)
Tiga
paragraf di atas anggap saja sebagai penggalan testimoni dari tiga tokoh pegiat
sastra Indonesia terhadap kepenyairan Timur Budi Raja. Ketiganya menyuarakan kesan
yang berbeda-beda terhadap sajak karya Timur. Aslan Abidin, lebih melihat Timur
dari balada yang ia hasilkan berikut nilai kontemplatifnya terhadap pembaca.
Agus Hernawan mencermati sikap Timur sebagai individu yang tidak terkekang oleh
renda chauvinisme, menjadikannya seorang penyair yang begitu open-minded. Ia melihat Timur sebagai
sosok yang sedang memilih identitas pribadinya di langit sajak yang universal.
Maka, kemudian Timur menyambung ucapan Atiqurrahman dalam laman Lontar Madura, mengusung tema-tema puisi
yang berbeda. Sajak-sajaknya secara tekstual dianggap lekat dengan tema
intelektualitas. Sedang Afrizal Malna, penyair yang menulis epilog dalam Opus 154, mengumpamakan Timur sedang
mencari ceruk sebagai tempat berdiam diri. Bukan sebagai tempat bersembunyi
dari berbagai kegelisahan sosial yang menimpa, namun sebagai tempat untuk
mengamati dan memutuskan vonis yang adil terhadap kehidupan secara estetis.
Menurut Afrizal, jaringan imaji yang dibangun oleh sajak-sajak Timur sejatinya
mampu menghadirkan sebuah jembatan pemahaman akan makna sajak-sajaknya, meski
terkadang konvensi linguistik yang ia gunakan kerap mengaburkan jalinan
tersebut dengan tiadanya konteks dan referen di dalamnya.
Nah,
berbicara tentang nilai karya Timur Budi Raja[2] ialah berbicara tentang sejumlah/sehimpun
puisi yang di dalamnya berbagai dinamika dikembangkan dalam bentuk yang sublim,
menyeringai pada pembaca. Memaknai kata, menyelinap di antara labirin metaforis
yang digunakan olehnya, jujur saja melelahkan hati dan pikiran. Betapa tidak, Opus 154 yang kurang lebih terdiri atas
105 buah sajak harus terlebih dahulu diperikan dalam beberapa klasifikasi.
Tujuannya jelas, demi memudahkan pemaknaan dan menajamkan pisau analitis agar
lebih objektif; atau setidaknya memberikan gambaran tentang cetak biru
pemikiran, gagasan, maupun ideologi yang ditawarkan oleh seorang Timur Budi
Raja.
Merangkai Bunga:
Mekar Josephine dan Casablanca
Dengan
menganalogikannya serupa ekosistem, Opus
154 merupakan antologi puisi yang merekam jejak kepenyairan Timur Budi Raja
dalam banyak elemen sekaligus: anak-anak, ibu, lelaki, petualangan, rumah,
laut, perahu, pantai, ingatan/kenangan, masa lalu, romantisme, rindu, revolusi,
kesunyian, keterasingan, utopia, sinisme, naturalisme, impresi, mitologi, serta
paradoks. Buku ini seperti penanggalan konsepsi tentang nasib yang
diilustrasikan oleh penyairnya dengan cara lembut, membumi, mengawang-awang,
tetapi lantas membakar sukma dan menarik pembacanya larut dalam trance yang berkepanjangan. Bicara apa
penyair ini? Ternyata ia baru saja mendudukkan aku-lirik¬nya pada taraf yang
sungguh menyentuh.
Baiklah,
berdasar keragaman tematik, Opus 154
secara struktur dapat dipilah menjadi lima bagian. Klasifikasi ini berangkat
dari variasi nada dan suasana yang dimiliki sajak-sajak di dalamnya. Pertama,
mitologi dan lokalitas. Kedua, avonturisme/petualangan. Ketiga, romantisme.
Keempat, utopia dan keterasingan. Kelima, tragedi. Pun demikian, tetap saja
sulit jika harus membuat fragmen lagi dan mengklaim bahwa satu sajak hanya
masuk dalam satu kategori tertentu. Sebab dalam sajak-sajak karya Timur, satu
sajak bahkan bisa mewakili keberadaan beberapa nilai seperti avonturisme yang
bercampur dengan romantisme dan tragedi. Atau bahkan terdapat kombinasi antara
mitologi dan keterasingan, perasaan kehilangan akan waktu, cinta, dan kematian,
yang sejatinya bisa dianggap sebagai lokus tragedi.
Lukisan karya Van Gogh, diambil dari "Abstract Painting". |
Dalam
sajaknya, Sumenep dan Tutitonka Ob Waci,[3] Timur mencoba membangun narasi dengan latar
pulau, laut, dan ekspektasi akan kebenaran yang datang, yang ternyata dalam
sumenep digambarkan sebagai sebuah enigma yang masih dipertanyakan; utopia. ketika riak laut berkilatan ditindih malam,
ia tahu,/ada yang memiliki mata-kaca di atas sana./menggigau sendirian, menerka
surat atau telepon/dari kekasihnya yang setiap sore menyelam-terbenam//di bawah
laut, di bawah malam. Diksi mata-kaca, menggigau sendirian, serta menerka
merupakan kristalisasi akan makna kesedihan. Betapa sajak ini lantas lebih kuat
pada kesan penantian dan kehilangan ketimbang sekadar menjelaskan tentang riuh
gemuruh ombak Sumenep beserta anak-anak pantai dan garam-garamnya. Jadilah nama
Sumenep sekadar sebagai judul, sedangkan aksentuasi lebih ditekankan pada citra
laut dan ombaknya yang mewakili nasib misterius serta gejolak hati sang
penyair. Personifikasi pada riak laut
berkilatan ditindih malam dengan gamblang memerikan betapa unsur dominan
dalam sajak ini adalah kegelapan (malam,
terbenam, bawah laut).
Sedang
sajak Tutitonka Ob Waci berkisah
tentang dialog dengan seorang srikandi asal Aceh, Dien (Cut Nyak Dien?). dalam pengepakanmu, dien./sorga dieja dari
mulut izroil. Dien seperti sedang berusaha untuk terbang, menjangkau tempat
yang lebih tinggi, yang sedari awal telah diucapkan sebagai surga oleh malaikat
Izrail. Namun mengingat kecenderungannya yang multitafsir, baris dalam
pengepakanmu, dien dapat juga dimaknai sebagai ”ketika engkau dibungkus
(dikafani), surga adalah jaminan yang bakal engkau terima”. Pada sajak ini,
Timur mencoba menarasikan konten supranatural terkait keberadaan serta nasib
Dien. Baginya, Dien merupakan sosok yang kuat. Ia figur yang mewakili kegigihan
serta ketangguhan dalam menghadapi nasib. Rencong
di dinding itu pun menari,/membangun sudut-sudut ruangan. Keteguhan serta
kegigihan membangun banyak hal yang sebelumnya tidak ada. Ia mencipta garis,
titik, dan sudut agar mudah dikenali sehingga tidak menyesatkan para
penikmatnya.
Semakin
dalam menelaah Opus 154, semakin dipahami kekayaan makna yang dikandung oleh
sajak-sajak di dalamnya. Sebuah sajak berdiri, dibangun atas fondasi binal dan
kegerahan penyairnya, melahirkan nada avonturir yang kental dan tragis.
Tampaknya, petualangan tidak berhenti pada tataran wacana saja. Namun, ia
diwujudkan dalam gelung kegelisahan akan latar-latar baru. Kesan hebat akan
wanita, cinta, beserta sisi misteriusnya tampak benar menjadi tantangan yang
sangat sayang untuk dilewatkan. Tengok saja Tamu
dari Desa. Dalam sajak ini Timur memberikan gambaran yang metaforis dan
cenderung memperindah kesan jijik yang biasa dialamatkan pada tema prostitusi.
Narsih, demikian nama perempuan muda tersebut. narsih yang lugu//di tempat kelabu, ia seperti waktu, jam
beterbangan/jadi serangga. kupu-kupu di lantai hotel//sepertimu, hendak saya
kawini malam./juga seperti yang lain, pelacur-pelacur itu. Ia tidak
mencibir ataupun dengan nada sarkasme menghina masalah kontrak kelamin ini. Di
sini Timur justru hadir sebagai sosok utopis, entah menginginkan kebersamaan
melewati malam, entah menginginkan hal yang sama seperti Narsih: tetap terjaga
sepanjang malam. Lalu garis tunggal senyum sisa berkisah
tentang pengembaraan si-aku ke negeri-negeri jauh. Secara tematik, petualangan
yang dikemukakan oleh penyair dalam antologi ini tanpa sadar selalu terkait
dengan diksi-diksi tertentu seperti laut, ombak, jantung, perahu, rumah,
kampung pesisir/nelayan. Bila dicermati, dalam sajak garis tunggal senyum sisa
penyair dengan antusiasme yang bergolak menyatakan maka, pelukan ini memang harus kandas mengendap di/laut. menjadi deras
arus. denyut jantung yang memaksa/sang liar ombak pulang. juga tiang-tiang,
serta layar perahu/yang berasal dari susunan tulang-tulang dan kulit dada yang
sengaja berlepasan. Ini seperti sebuah kredo yang menyatakan bahwa hidup
adalah jalinan jarak dan waktu yang dinamis. Nyawa seorang petarung diletakkan
di tengah-tengah marabahaya dan keadaan gawat. Maka, setelah itu sang petualang
harus berani merumuskan sendiri nasib yang ingin ia capai. Demikianlah yang
diungkap oleh sajak ini.
Penggalan
sajak garis tunggal senyum sisa di
atas merupakan contoh untaian ritme yang sangat lancar diucapkan. Mengalir
tanpa terhalang oleh kesalahan peletakan fonem (vokal/konsonan). Kombinasi
semacam nasal n, m, ng, dan ny dan aliterasi bunyi liquida r, l, serta k, p, t,
s menjadi komposisi yang mampu menghadirkan pembacaan dengan jeda minimalis.
Menjadi demikian sebab Timur benar-benar memiliki kecakapan membuat pembaca
terus mengucapkan baris kata dengan hanya sesekali berhenti.
Di
samping itu, sajak garis tunggal senyum sisa juga mengingatkan pada Albatros
karya J.J. Slauerhoff.[4] Seolah-olah ada ikatan emosional yang kuat
pada kedua sajak ini. Para penyairnya melukiskan pengembaraan dengan narasi
estetik yang melambangkan keteguhan. Keduanya seolah tidak hendak menyerah
terhadap keterasingan yang mungkin ditemui. Alih-alih menganggapnya sebagai
sebuah kekurangan, baik J.J. Slauerhoff maupun Timur Budi Raja malah menganggap
pengembaraan tersebut sebagai altar pembuktian ”kelaki-lakian”. Simak saja
perbandingannya:
(garis tunggal senyum sisa) bukan keterpaksaan bila awal kali musti kuciumi
kadar/lulur yang merekatkan kepada tatapan mil-mil ke depan,/ sebelum telak
beranjak, ketika suram warna bersentuhan/langit, pilar-pilar retak, tugu tugu
ambruk.//“remuklah benua es, gunungan-gunungan beku. mabuk,/mabuklah
gelombangku.”//maka, pelukan ini memang harus kandas mengendap di/laut. menjadi
deras arus. denyut jantung yang memaksa/sang liar ombak pulang. juga
tiang-tiang, serta layar perahu/yang berasal dari susunan tulang-tulang dan
kulit dada/yang sengaja berlepasan. biarlah kugantikan biji mata ini/dengan
bola lampu sorot pada malam-malam pertaruhan./membuka pintu badai.//bila usai
petualanganku sampai, sampailah aku/di halaman keraton. terima kasih, telah kau
siapkan/penyambutan dan pemakamanku, wahai kampung pesisir.//sebab, di sinilah
pelataran-pelataran persemayaman./lampion perak menggelantung di atasnya, dan
dupa-dupa/cina yang iramanya jadi tembok-tembok dan dinding-dinding
gaib.//“kami sebut kegaiban,,” seru mereka, yang akhirnya menjadi/tangkai dari
pinggiran tipis magnit-magnit tempaan, muasal/pisau panjang. magnit-magnit yang
menyusupkan bukitan/bukitan garam pada kilatnya.
(Albatros)
Jemu pada dunia, terlalu tua buat gembira, bernikmat/Kubiarkan diriku hanyut di
arus angin barat./Dari segala yang mengembang dan layu di bumi,/Hanya gelombang
tinggal sebagai bunga-bunga abadi.//Di sebelah selatan Tanjung Harapan dan
Tanjung Topan,/Tak ada pantai maupun karang menghalang pelayaranku yang
lengang./Di mana Albatros pun dalam terbangnya tertidur aman,/Di atas topan, di
bawah tatapan bintang-bintang.//Arakan awan, gelombang-gelombang yang meregang
panjang,/Melingkar semesta, yang kelabu dan lengang./Angin yang kelihatan,
daerah-daerah perairan yang dalam,/Menyingkapkan bagiku lebih banyak rahasia
dibanding perempuan terdalam.
Selanjutnya
adalah Earth Born, sajak yang
mewakili tema romantisme di sepanjang antologi ini. Namun, di dalam sajak ini
tidak terkandung tema tunggal. Timur meramunya dengan menambah secara intens
kesan pengembaraan, penderitaan, keterasingan yang dialami oleh penyairnya.
Sajak ini tumbuh menjadi ladang eskapisme yang ranum, berkisah tentang cinta
dan bentangan jarak imajiner yang membuat banyak hal kecil dan menjauh. Semakin
jauh secara fisik, tetapi keintiman terbangun dalam rekayasa ingatan dan rasa
ingin: liest/terbang meninggalkanmu.
membuka kembali/rute pengembaraan tak menemu tempat singgah/dan diam,bahkan pun
sejenak.//menyusur setapak yang pernah digariskan/para pecinta terdahulu,
sambil mengenang/perihnya rindu mendapatkanmu.
Lantas,
untuk menambah daya evokasi, penyair dengan tegas berkata: gunung dan ngarai, jurang dan sungai yang menyaksi/disayat dengan
teriakan, mereka membaca/dengan risau ngungun yang sempurna. Ia
mempersaksikan kenyataan kepada semesta yang menemani pengembaraannya. Seolah
romantisme tersebut merupakan dedikasi terhadap segala yang dalam dan
menyentuh. Perhatikan repetisi/permainan rima pada gunung dan ngarai, jurang
dan sungai. Pengulangan nasal /ng/ serta diftong /ai/. Baris ini tidak menjadi
redundan. Ia malah menjadi pembuktian bagi pembaca tentang kecerdikan penyair
dalam memilih diksi yang tepat, ya,
terbang meninggalkanmu,/adalah membangun ingatan tentang rasa
ingin/mencintaimu, separuh kedamaian,/separuhnya lagi cerita yang memedih/dari
kesetiaan yang tak habis untuk menunggu.//kedamaian ini, sunyi ini,/dan
pengembaraan dari sakit kepada pulang. Diksi memedih, secara linguistik
menjadi inovasi penyair yang segar. Ia merupakan rangkuman dari diksi lainnya
seperti pedih, perih, kian pedih, menjadi
pedih, menjadi semakin pedih. Dan liest yang juga disebut dalam sajak
komposisi tampaknya menjadi pesakitan yang menunggu dengan harap-harap cemas.
Penyair memberikan opsi yang secara vulgar ditawarkan sebagai buah simalakama:
antara mencintaimu dan menapak jejak dalam pengembaraan maskulinitas. Maka,
demikianlah sajak Earth Born dapat dirujuk sebagai pernyataan
kecintaan penyair. Bisa kepada subjek perempuan, bisa juga kepada petualangan
yang kerap ia ajukan sebagai pembelaan atas ketidakmampuannya untuk setia
berada di samping orang yang dicintainya.
Selain
itu, ada pula sajak Surat Cinta yang
dengan utuh menampilkan Timur dalam aura ekspektasi yang romantis. Ia
memulainya dengan latar senja, citraan tentang sesuatu yang misterius yang
terhubung dengan subjek –mu. di tepian
sore itu,/di bawah senja yang kian remang,/ada sesuatu yang bergelombang di
dadaku./mendesakku untuk menyampaikan semacam pekabar/atau isyarat
kepadamu//:bahwa aku menerima hatimu,menerima/surat-surat cinta yang rajin kau
kirimkan./malam-malam bergetar mengingat/sajak-sajakku.//dan kau tak harus
tahu,/kapan aku pasti meminangmu. Sebuah pernyataan sederhana tentang
kesanggupan si-aku untuk bersama dengan –mu. Sajak ini sedikit berbeda dengan
sajak-sajak Timur lainnya yang bernada romantisme karena penyair pada sajak ini
memberikan dirinya secara utuh kepada –mu meski cacat yang tetap ada pada aku
adalah bahwa pada saat itu aku tidak sedang bersama denganmu. Dengan demikian,
secara umum romantisme yang dimaksud dalam antologi ini bukan dalam pengertian
yang benar-benar intim. Penyair tidak meletakkan cinta sebagai subjek yang harus
menghubungkan dua insan secara fisik. Romantisme yang dikemukakan dalam Opus 154 ialah romantisme emosional yang
lebih merupakan pencerapan terhadap hakikat cinta dan entitas kebersamaan dua
insan secara psikologis.
Tampaknya,
fakta literer romantisme emosional tersebut diperkuat oleh keberadaan tema
utopia/keterasingan di dalam antologi ini. Membaca makna-makna sajak di dalam Opus 154, memberikan pemahaman bahwa
masing-masing sajak pada dasarnya saling mendukung tema-tema yang hendak
disampaikan penyair. Romantisme tidak berdiri sendiri sebagai tema sebuah
sajak. Yang kerap terjadi, ia digandeng oleh keberadaan tema lain, entah itu
mitologi, tragedi, avonturisme, atau bahkan utopia dan keterasingan. Simak saja
ia mencarimu. Sajak ini bercerita tentang keberadaan/ketiadaan yang disematkan
kepada seseorang. Bila dihubungkan dengan benang merah sepanjang antologi ini,
sudah jelas bahwa seseorang yang dimaksud adalah penyair dengan
petualangan/pengembaraannya ke negeri-negeri jauh, petualangannya dengan para
perempuan, kerinduan sang ibu terhadapnya, serta ketidakpastian akan
kepulangannya. Meski di dalam banyak sajak, penyair mengungkapkan pembelaannya
dengan diksi kesetiaan dan pulang yang disampaikan secara berulang-ulang,
teguh, dan tanpa tedeng aling-aling.
Sajak
ini dimulai dengan kata potret/ia
mencarimu. Ia mencari wajahmu di setiap lembar/album keluarga yang kini jadi
begitu asing warna potret-/potretnya. Sebuah tanda tanya yang kemudian
diperkuat oleh baris ia jadi
menerka-nerka, apakah kamu benar-benar ada atau tiada. Sebuah sketsa yang
dipenuhi atmosfer kehilangan. Betapa sosok kamu menjadi subjek yang ganjil. Ia
ada, tetapi tidak mewujud dalam bentuk yang diharapkan: potret. Seperti apa
kamu? Lalu dalam sajak yang sama, teka-teki ini diperkuat oleh masalah
kerinduan seorang ibu kepada anaknya, menjadikan keterangan tentang jarak dan
waktu sebagai hal yang fardhu untuk diutarakan. dinding, laut, dan ibu/ia mencarimu. matanya menelusuk, menguliti/tiap
dinding yan tak berhenti mengisahkanmu menjadi/dongeng.
Kedua
bagian ini membangun korelasi estetis yang padu. Bagian pertama, waktu yang
telah lampau mengaburkan eksistensi –mu. Bagian kedua, jarak yang tak terhingga
menjadikan penantian sebagai ritual yang pedih, sia-sia. Kapan engkau akan ada?
Berapa lama lagi aku/kami harus menunggumu?
Akhirnya,
bagian terakhir sajak ini seperti menyuarakan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ada nada terasing di dalamnya. Nada yang juga
menyisakan tanda tanya tentang kepastian kepulangan. Sehingga untuk sementara,
yang bisa terwakili hanyalah rindu. sepertimu,
aku pun sunyi. ditingkah bisik dinding/yang terus mengisahkanmu.
dinding-dinding yang/mendekatkanku pada amsal rindu, dinding-dinding
yang/memanggilmu ibu.
Dari
105 buah sajak yang terdapat dalam Opus
154, setengahnya didominasi oleh kombinasi antara tema romantisme dan
keterasingan. Ada banyak pembayangan di dalamnya. Namun, sebagian besar
berujung pada keraguan atau ketidakmampuan penyair untuk mewujudkan rasa ingin
yang sebenarnya. Akibatnya, paradoks menjadi kelaziman yang populer untuk
mengakhiri sebagian besar sajak-sajak tersebut. Beberapa contoh dapat
dicantumkan di sini, semisal Suara-Suara
Itu; Pesta Odissey; Wilma; Inilah Kita, Gus; Kau, Perjanjian dan Keranda;
Pelancong Itu; dan Sajak Buat WN.
Selain
keempat tema di atas, dalam Opus 154
Timur juga menawarkan ruang yang luas untuk relik tragedi dan sinisme. Dari Pintu Rumah Duka, Kamar Pengantin, Jumiang,
Tamu dari Desa, Biografi dari Beranda Sine, Biografi Asbak Kayu, Beth, Halaman 172
dari Perjalanan, Dua Hari Ketika Saya Tak Jadi Pergi, serta Widji merupakan penggambaran tentang
realitas yang satir dan cenderung tragis. Sajak widji misalnya, tampaknya
didedikasikan bagi penyair sekaligus tokoh pejuang kerakyatan asal Solo, Widji
Widodo alias Widji Thukul, yang dilaporkan hilang pada April 2000 (entah
diculik, entah dibunuh, entah keduanya). Pasca kerusuhan Jakarta 27 Juli 1996,
Widji Thukul diburu oleh aparat, baik tentara maupun polisi, karena sajak-sajak
dan aksinya dianggap mendorong pada tindakan subversif, merongrong ketertiban
umum. Mungkin karena dilatarbelakangi oleh semangat pergerakan yang sama,
terciptalah sajak ini sebagai penghormatan atas perjuangan yang telah dilakukan
oleh Widji Thukul.
Obituari
dalam sajak dibuka dengan fragmen –selamat jalan!/1./sore itu, kami menangkap cinta/dari kartu pos yang kau kirim/:
bergambar dirimu.//siang ini, kami semua menangis/menerima kartu pos/:
bergambar kematianmu. Sebentuk solidaritas perjuangan atau tampaknya
kemiripan prinsip antara penyair dengan Widji telah mengerucut mendarah daging
pada penyair sendiri, yang tampaknya mendudukkan widji sebagai sosok idola jika
tidak mau dikatakan panutan. Pada dua bait awal sajak, muncul ambivalensi
antara menangkap cinta/bergambar dirimu
dengan kami semua menangis(i)/kematianmu. Alurnya kurang lebih bisa
digambarkan sebagai kebahagiaan pada tahap introduksi yang lantas berubah
seketika menjadi horor dan konflik pada tahapan selanjutnya. Sebuah paradoks
telah ditawarkan oleh Timur pada bagian awal sajak ini. Antara kebahagiaan dan
kengerian, manakah yang bakal menguasai klimaks?
Rima
konsonan /s/ tampaknya mampu membuat suasana menjadi hening dan muram. Ditambah
lagi dengan penggunaan vokal /i/ dan /u/ yang bernada ringan dan rendah,
membawa pembaca pada pengakuan yang lirih akan makna kehilangan. Tidak hanya
kehilangan secara fisik, tapi juga spirit yang telah dikumandangkan oleh sosok Widji.
api telah menyala/memenuhi halaman. kami
kehilangan wajahmu,/kami kehilangan alamat suaramu. Bila ditegaskan, bait
ini lamat-lamat serupa ratapan yang disemburkan pada sesosok mayat. Meski
demikian, ada nada menuntut yang hadir di sini. Seperti petisi yang meminta
keadilan. Ada semangat yang bangkit menyaksikan kematian Widji: sejak kabar yang tiba-tiba itu,/tenunan
tahun-tahun keheningan/jadi anyir dipenuhi api. dipenuhi api. Diksi api
mewakili perasaan yang bergejolak. Bisa diinterpretasikan sebagai kemarahan,
kebencian, atau dendam kesumat. Maka, kemudian bagian akhir sajak ini
menawarkan resolusi sederhana: perjuangan menuntut keadilan. Karena
bagaimanapun, martirnya Widji justru dapat dianggap sebagai pemicu semangat
yang sebelumnya tidak ada.
Demikianlah
gambaran umum karakter yang mengemuka pada Opus
154 karya Timur Budi Raja. Tidak ada tema yang berdiri sendiri pada sebuah
sajak. Sebuah tema selalu memiliki tema-tema minor yang justru memperkuat kesan
pada lima hal utama: keterasingan, romantisme, pengembaraan, kerendahan hati
(penyerahan), serta kisah-kisah tragis dan satir. Adapun tambahannya, Opus 154 banyak berisi sajak yang
tampaknya diperuntukkan bagi beberapa tokoh tertentu semisal Tutitonka Ob Waci, Negeri Malna (1&2), Ketika
Weker Tentang Kalender (1), Theresia,
dan Widji. Menjadi sebuah tantangan
bagi pembaca lainnya untuk merumuskan karakter lain yang lebih khas dari
antologi ini.
Tentang
Timur sendiri, sepertinya begawan ini hendak melumerkan dalam satu gelas kosong
beberapa menu khas yang diracik dari keanggunan, sedikit sikap binal,
maskulinitas, serta kecemburuan akan masa lalu sebagai pelepas dahaga yang
merekam jejak petualangannya yang sunyi dan sendiri. Meskipun demikian,
cukuplah perasaan teralienasi dari kampung halaman dirasakan oleh Timur
sendiri, tidak oleh para pembaca yang kemungkinan besar lebih memilih sejuk
romantisme di balik sajak-sajaknya. Maka, saya ucapkan selamat membaca!
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Itsna Hadi Saptiawan, tinggal
di Mataram. Tulisan ini sebagai materi bedah buku dan launching antologi puisi Opus 154 karya R. Timur
Budi Raja, bertempat di Aula Kampus STKIP Hamzanwadi Selong, 9 Juni 2012.
[1] Bersama M. Ali
Hisyam, R. Timur Budi Raja merupakan pembina Forum Lingkar Pena Kabupaten
Bangkalan.
[2] Terjemah versi Google untuk
entri tersebut ialah The Work of Cultivation
Eastern King.
[3] Sajak ini disentil juga oleh
editor Puitika.net pada pembahasan tentang launching
antologi pertama sajak-sajak Timur Budi Raja yakni Aksara Yang Meneteskan Api sebagai sajak tentang serigala yang
satir dan romantis.
[4] Penyair angkatan 1880-an (de Tachtigers)
dalam kesusasteraan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar