Lukisan diambil dari "Abstract Painting". |
LONCENG KERBAU:
KONFORMITAS,
MENONTON PRAGMEN KATA-KATA
oleh: Otto Sukatno CR
KONFORMITAS, begitulah watak, mentalitas, dan sikap hidup para
petani di negeri ini. Berada pada situasi optimisme berlebih, sekaligus
skeptik; pasrah pada ketentuan grand design takdir, kemurahan hati alam
dan atau Tuhan. Saya tidak pernah bermimpi menjadi penyair. Seseorang dengan
kekayaan nilai yang luar biasa —yang dibaptis masyakarat sebagai penjaga
bahasa. Dunia di pungggungnya terus bergetar, menjadi petunjuk rute-rute
pandangan tentang keindahan. Maka, saya tidak boleh berhenti. Dunia kepenyairan
saya harus berebut dengan dunia yang lain; dunia “pertanian”. Dunia yang
diturunkan keluarga saya, yang telah membesarkan saya dan mengirim saya untuk
mendapatkan pengetahuan lebih. Dari pengetahuan itu, saya mengukur siapa diri
saya. Nilai-nilai apa yang telah saya punya.
Lukisan diambil dari "Abstract Painting". |
Ketika menjadi petani, saya merasa sebagai seorang bapak yang penuh
kasih sayang. Menyayangi setiap tanaman yang tumbuh di sawah-ladang. Memupuknya,
menjaga airnya agar tetap cukup, dan mendoakannya semoga cepat besar. Pekerjaan
kasih sayang ini membuat saya menjadi sensitif, tapi keras. Sebab dalam kerja
bercocok tanam itu, semua tenaga dan kepercayaan dipertaruhkan. Kadang saya
berada dalam kesunyian yang lain lagi. Sikap skeptis. Dunia pertanian yang saya
geluti roboh. Karena hembalang kapital. Dalam frustasi ekonomi bakat saya
kacau. Namun, dia terus saja berkata “Kita petani, ya bercocok tanam. Jika
tidak, terus kita ini apa…” (Lonceng Kerbau. 2014: ix).
Di negeri agraris ini memang ironis. Menjadi petani adalah “kutukan
sejarah”. Karena menjadi petani, adalah petani dalam arti semata
penggarap/buruh tani. Secara politis —tak ubahnya—tanam paksa. “Bunuh diri
nasib dan masa depan”, seperti ungkapan ayah Mahendra “Kita petani, ya bercocok
tanam. Jika tidak, terus kita ini apa…”. Kalau toh ia memiliki tanah
sendiri, rata-rata –khususnya di Jawa— luasnya kurang dari satu hektare. Dengan
kalkulasi sewa traktor (tanaga penggarap) bibit dan pupuk serta racun serangga,
belum dihitung tenaga perawatan dan lain-lain selama tiga bulan. Hasilnya bisa impas, lumayan.
Wajar jika menjadi petani sadar tak sadar akan membentuk mentalitas
nilai “optimisme berlebih /narsis (sabar dan tawakal)” yang absurd sekaligus “skeptisisme
akut”. Sebuah jalan hidup yang sulit dinalar/dipahami secara rasional.
Seonggok Jagung
Bisa membayangkan seorang Mahendra (Hendra Cipta), sarjana Fakultas
Ushuluddin, Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Sunan Kalijaga, aktif di kesenian
(Teater Eska) pulang ke kampung halaman, lingak-linguk ibarat… “seorang
pemudapemuda/ yang pandangan hidupnya berasal dari buku/ Dan tidak dari
kehidupan/ Yang tidak terlatih dalam metode/ Dan hanya penuh hafalan
kesimpulan/ Yang hanya terlatih sebagai pemakai/ Tatapi kurang latihan bebas
berkarya/ Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupannya/”…Apakah gunanya
seseorang/ Belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja/. Ketika
ia pulang ke daerahnya, lalu berkata: “disini aku merasa asing dan sepi”// (Seonggok
Jagung; W.S. Rendra) Begitulah mentalitas dan sistem pendidikan, anak-anak
negeri agraris ini, dididik untuk menjadi “kijang berpribadi singa” atau
sebaliknya “singa berpribadi kijang” (Muhammad Iqbal). Di dalam sistem sekolah
yang mengedepankan formalisme buta, mencetak koruptor, dan melanggengkan
kapitalis, menjadikan generasi yang pa(ng)ling –mengerti –wajah diri. Menonton
Fragmen Kata-Kata, saya berkenalan, dalam arti membaca Mehendra ketika
membaca enam puisinya di antologi “Prosenium (Kitab Puisi Penyair Muda Teater
Eska, 2013), kesan pertama adalah aneh, pelik, dan membingungkan tak ubahnya
Afrizalianisme. Baru menjadi lengkap dan klop, jika membaca antologi Lonceng Kerbau yang memuat
85 biji puisinya. Juga semakin memahami membaca kredo kepenyairannya: Adam,
ladang, demonstrasi buruh, lenguh kerbau, bau apek keringat, korupsi, lumpur,
kelontang suara kaleng, dan kawanan kuntul seperti “organisme ingatan” yang
terus menggerakkan kerja seluruh kepenyairan saya. Kepenyairan yang bukan
sebagai “kegagahan”. Kepenyairan merupakan kerja pencatatan agar setiap sesuatu
tetap hidup, demikian saya. Kerja ingatan dengan pencatatan semacam di atas
telah menjaga setiap medan agar tetap menjadi tegangan. Bahwa; diskriminasi,
ketimpangan sosial, invasi, pembalakan, pungli, kemiskinan, dan terorisme masih
berlangsung di sekitar kita sebagai denyut jantung kebudayaan yang menggerakkan
seperti tumpukan bahasa. Ingatan-ingatan layaknya hewan liar yang berebut ingin
melarikan diri —dari sebagai pamflet-pamflet, iklan, dan pidato-pidato politik.
Terlepas dari kuasa kepentingan dan ideologi. Maka, puisi seperti tambang yang
mengikat semua keliaran bahasa itu. Sebagai momen¬momen puitik. Mengumpulkan
semua kenangan ke dalam peleburan estetik di mana kesadaran bekerja. Juga
diharapkan menemukan sebuah masyarakat tanpa ketegangan. Sebab, setiap kenangan
telah lebur ke dalam kesan-kesan puitik. Akhirnya, puisi adalah kerja organik.
“Kegiatan mengumpulkan ingatan ke dalam ingatan yang lebih besar, kemudian
menyublimkannya ke dalam tubuh” (Lonceng Kerbau. 2014:x).
Dengan kredo kepenyairan di mana menulis “puisi adalah kerja
organik. Kegiatan mengumpulkan ingatan ke dalam ingatan yang lebih besar,
kemudian menyublimkannya ke dalam tubuh”, Mahendra membangun puisi tak ubahnya
menyusun fragmen yang aktor dan aktrisnya adalah kata-kata. Atau bisa jadi,
ketika membuat puisi Mahendra tak ubahnya sedang membuat lukisan kolase dengan
bahan kata, tepatnya adalah “kolase mentalitas” suatu masyarakat yang diacu dan
mengacunya. Dengan demikian, dalam puisi-puisinya Mahendra tidak sedang
mencari, merumuskan, atau menyusun tesis akan nilai dan makna. Tetapi, ia
(sekadar) membahasakan “bahasa batin” diri dan masyarakatnya —dengan kegagahan
sekaligus kejumudannya. Maka, jangan mencari “kesatuan makna” dalam
puisi-puisinya jika tidak ingin frustasi karenanya. Atau kau tidak akan
mendapatkannya.
Bahkan dengan model kerja korelatif ala Afrizalian yang sedemikian
kental itu, Mehendra menempatkan “judul”, baik judul antologi ataupun
“judul-judul puisinya” menjadi suatu yang sangat relatif, fleksibel, dan
plastis sekaligus –secara sarkastis– menjadi tidak penting-penting amat.
Diganti dengan apa pun judul antologi atau judul-judul seluruh puisinya, yang
hadir berserak, ia tidak jadi masalah.
Sebab judul sebatas “kepala tulisan” atau tanda akan ada dan keberadaan.
Tanda akan kehadiran semata. Hadir atau tidak, tidak memengaruhi nilai dan
makna.
Jelasnya, seperti judul “Pembisik Bebek”. Bebeknya mana, bisikannya
apa, tidak penting. Diganti menjadi “Pembisik Setan!” atau apalah-apalah, tak
jadi masalah. Lalu, bagaimana puisi Mahendra harus disapa, dimaknai atau
dibaca? Sebagai fragmen kata-kata yang bersifat korelatif, akan menjadi nikmat
manakala kita hadir sebagai penonton. Yakni “menonton dengan cara membacanya”
atau sebaliknya “membaca dengan cara menontonnya”. Di situlah keindahan akan
bermakna, bahkan kebenaran —fakta-fakta mental dan psikososial diri dan
masyarakat yang diacunya— akan tercipta. Sebab keindahan —terlebih kebenaran—
biasanya akan muncul dari balik jeda, setelah ada “jarak —estetik maupun
empirik— yang meruangkan sekaligus memisahkannya.[]
Otto Sukatno CR, penyair dan penulis senior di
bidang sastra. Dia merupakan generasi muda yang lahir di Solo, tepatnya
Karanganyar. Menempuh studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis sejak
berada di UIN dan menggeluti dunia seni melalui Teater ESKA. Dari sini dia
mencoba memulai meniti karir menjadi penulis. Karya-karyanya terbit di media
cetak dan buku-buku salah satunya “Seks Para Pangeran”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar