Perancang sampul: Alek Subairi. |
pasongsongan
darahku adalah rajah perahu sungai angsono yang bersatu pada tugu
di alismu: tugu bulan paling sabit. jangkar kuangkat, layar dikebar-kibar,
angin lindap dalam seluruh penantian pengabdian.
kacongku, ini perahu ayah, dimana lautmu?
kembara! laut paling membara. engkau paling tak terkatakandan
tak mampu dikatakan. sungai hijau
merobek belantara. aku mencari jalan ke utara tempat di mana kepala
dilelapkan-dipulaskan dengan kain kafan putih awan, langit pasongsongan.
ayah, benarkah malam telah tertidur, atau kita yang tidak
benar-benar terjaga?
sudah kualamatkan surat paling panjang, sepanjang hayat manusia.
supaya esok kita telah bersiap diri memilin waktu dari segala muassal
penantian-pengabdian.
hikayat perahu ba’
jangan kau lempar sauh saat subuh, katamu mengasah diamku.
sementara yang diam tak usai menghitung jarak. “laut itu laut sampan ayahmu. perahunya
adalah perahu ba’. dan alif yang merobek dadamu adalah tiangnya.”
tapi tak ada ikan yang mesti ditangkap. atau laut yang mesti kita
singkap? sudahlah bang, akan kupinjam tongkat musa dan kita belah lautan dengan
tangan sendiri. “sepertinya mati lebih abadi, bang” kataku setelah berebut
pesan dengan angin, “apa yang hendak dikatakan selain makna, selain cerita masa
lalumu?”
dan semestinya kita sudah buat keranda. apa mungkin hidup benar-benar
nyata? ah, biar kusulut dupa atas kematian yang dihidupkan. kematian yang
dihidupkan.
perahu mawar
perahu ayah mawar namanya. membelah bulan tiang alifnya. di haluan
hujan dan kemarau saling bersahutan. menghitung jarak antara ayah dan pantai.
di buritan ayah memandang ke masa lalu. kenangan berbisik lewat angin dan
garam.
ketika tongkat musa tak mungkin lagi membelah laut. belah
aku dengan tiang perahumu, ayah.
mawar berduri bila langit dan laut saling pagut. jangkarnya meruncing
panas matahari. sebab mawar bukan buatan nuh. ia bukan perahu yang datang dari
puncak gunung. bukan.
mawar hanya perahu nelayan biasa. penangkap ikan bersirip
pelepah purnama.
mawar punya layar yang perkasa. tamberangnya kuat dan gagah. ayah
menjahit jaringnya seperti sulaman indah jaring laba-laba. ayah seperti
menjahit hidup yang retak dan luka.
ketika melaut jaring dilempar menggagahi ikan-ikan. ayah serasa
melempar nisan ke jurang paling dalam.
saat jaring diangkat. semerbak mawar senantiasa mendekat.
Shohifur Ridho Ilahi, lahir di
pesisir Pasongsongan, Sumenep tahun 1990. Puisi-puisinya termaktub dalam buku
Akulah Musi (PPN V Palembang, 2011), Tuah Tara No Ate (TSI IV Ternate, 2011),
Setia Tanpa Jeda (UnSa, 2011), Atas Nama Bulan Yang Dicemburui Engkau (AGP,
2011), Serumpun (Antologi Puisi Penyair Yogyakarta-Kuala Lumpur, 2012), Agonia
(Antologi Puisi Yogya-Jember/ IBC & TI, 2012), Satu Kata Istimewa (Antologi
Puisi Penyair Yogyakarta/ Ombak, 2012), Poetry Poetry from 226 Indonesian
Poets; Flows into the Sink into the Gutter (Shell-JT, 2012), Poetry Poetry From
120 Indonesian Poets: Diverse (Shell-JT, 2012), Sauk Seloko (PPN VI Jambi,
2012), Dialog Tanean Lanjeng (Majelis Sastra Madura, 2013), Di Pangkuan Yogya
(Ernawati Literary Fondation, 2012-2013), Sebab Cinta (Ernawati Literary
Fondation, 2013) Indonesia Dalam Titik 13 (Antologi Penyair Lintas Daerah
Indonesia, 2013), Qasidah Lintas Cahaya (Pena Nusantara, 2013), dan tersesat di
beberapa media cetak dan online. Manuskrip puisinya yang berjudul Rokat Perahu
Mawar mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) sebagai
pemenang II dalam Penjaringan Karya Seni Jawa Timur 2013. Alumnus
Teologi-Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sembari bergiat di Teater ESKA.
Kini mengelola RokaTeater.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar