Lukisan karya Hidayat Raharja. |
PANTAI YANG MEMELUK PERAHU
I
di
pantai yang tertidur ini
engkau
berjalan
seorang
diri
sambil
melagukan lagu sunyi
dan
waktu
mengubahmu
menjadi batu karang
tempat
menunggumu ketika langit kehilangan terang
sedang
lelakimu belum juga datang
II
ombak
menderu dari segala penjuru
seolah
mengabarkan kegelisahan suamimu
di
tengah lautan. mulutmu tak berhenti berucap
sebuah
nama kau ucapkan lirih.
lirih
sekali
“
suamiku, kapan kau pulang? “
tanyamu
seperti pertanyaan batu karang pada ikan.
“
apa aku bilang, ombak itu pasti telah
mempersunting
suamimu “
kata
seorang lelaki yang tetiba muncul tapi hilang lagi.
kau
terperangah
dan
mencarinya di sela-sela ombak yang membelai
batu
karang.
“
suamiku, itu kah dirimu, menari-nari bersama
ombak
di belakang perahu? “
III
kau
masih ada di sana
dan
sudah tak ada yang datang
perahu-perahu
berjejer rapi
serupa
rindumu
yang
berbaris di dalam hatimu. tetiba,
kau
teringat pada perahu suamimu
yang
sudah tak dipakai itu.
kau
menuju ke sana
dengan
iringan ombak di setiap kakimu.
“
bagaimana aku dapat melayarkan perahu ini,
suamiku,
sedang
pantai ini telah memeluknya setiap waktu? “
tanyamu.
Darusa
Timur, Desember 2017
PINTU BELAKANG
inilah
pintumu,
terbuat
dari ketabahan kayu. meski ia sering lapuk
terkena
hujan
dan
panas matahari bergantian, tapi ia tetap pintumu
;
yang menyimpan rapi jejak tanganmu
saat membukanya di lain waktu.
inilah
pintumu,
pintu
belakang dari hatiku, berdaun pintu rindu. di
sana
aku
melihat
senyummu tertinggal dan hidungku
adalah
satu-satunya hidung anjing gila_masih bersetia
pada
bibir yang sama_bibir itu menjelma pantai
;
tempat paling dirindukan
bagi
nelayan dan ribuan kapal, setelah rumah
dan
desahan malam.
inilah
pintumu,
satu-satunya
pintu dari semua pintu. engkau
masuk
dan keluar dari situ
bila
ingin bertemu
tanpa
sepengetahuan ayah dan ibu.
tanganmu
begitu tahu
bagaimana
agar ia tak berderit juga tak cemburu
ketika
diriku dan dirimu hendak bercumbu.
inilah
pintumu,
janganlah
kau masuk dan keluar
selain
dari pintu itu.
Darusa
Timur, 5 Desember 2017
JEJAK SEPASANG KAKI
kaki
manakah yang membawamu kemari
malam-malam
begini kaki kanan atau kiri
tapi
percuma walau tanah menanyakannya pada bumi
sebab
kakimu telah lama membawamu pergi
keinginan
manapula yang menyertaimu
membawa
sebungkus rindu yang sering kau
sembunyikan
di balik bibirmu
sebuah
kegelisahan kau menaruhnya juga disitu
apa
kau juga menaruh aku dalam rindumu?
kau
tahu rupanya ada yang diam-diam
menghitung
bekas jejakan kakimu
tanah
yang basah juga bebatuan-bebatuan nakal
yang
mengabadikan jejakmu
ada
juga kerikil-kerikil kecil yang menggambar kakimu
lewat
tubuhnya mereka beramai-ramai
meneriakkan:
rindu
Darusa
Timur, 09 Mei 2017
SENJA ITU,
ENGKAU MASIH DUDUK DI PINGGIR KALI
senja
itu, engkau
duduk
di pinggir kali. melamuni nasibmu
yang
tanpa suami. ikan-ikan berputar-putar
mengelilingi
lingkaran keraguan
antara
pergi ke muara atau ke hulu sungai;
asal
segala macam rindu.
ikan
itu masih berputar di sana, ketika engkau
duduk
di kali pertama, sesekali ia memandang
segala
yang datang dan pergi
lalu
sunyi.
“
ambillah gambar tubuhku,
pada
bagian mana pun kau mau ”
ucapmu,
pada
air yang masih mengalir.
air
tiba-tiba berhenti menjadi alir
lalu
bersiap memotret dirimu yang sudah tanpa baju.
air
itu mangambil gambar bagian-bagian kecil
dari
tubuhmu; di wajahmu_dua mata, alis, juga
telinga_ia
mengambilnya
beramai-ramai.
“
apa kau tak ingin mengambil gambar hidung
dan
bibirku? ”
tanyamu,
sebelum
kau bisu.
air
dan ikan-ikan itu pun mulai berdatangan
mengerubungi
tubuhmu.
Darusa
Timur, Desember 2017
Imam Rosyadi, lahir di Sumenep,
1 Desember 1995. Menulis puisi, sesekali cerpen. Kini ia aktif di Aksara,
Kalenteng dan Ngopi Sastra. Beberapa karya puisinya pernah masuk 17 dan 20
besar yang diselenggarakan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar