Judul lukisa: Pasar Ikan di Pinggir Pantar. Oleh: Hendra Gunawan |
MADURA BERGANTI NAMA
Di lautmu hujan menjelma seribu anak pulau
Sungai-sungai digenangi lempung plastik
Sepekat limbah cucian sabun dan lipstik
Ikan-ikan menunggu senja tercabik
Dalam hitungan almanac tembok pabrik
Di tanah merah dan peluh madumu
Aku lihat gerhana bulan di pucuk siwalan
Yang dibawa angin dalam mesin telegram
Siapa yang meninggal?
Aku dengar rintihan tangis anak-anak lumpur
Tentang ibu bapaknya yang mati terkubur
Tanpa grasi tanpa pelipur
Lebur
dalam wasiat leluhur
Di tubuhmu
Ritus
saronen seperti kehilangan mantra
Tak ada sanggul cinta
Tak ada selendang rindu di kepala
Lantaran kolam-kolam bidadari terlampau beku
Seperti Joko Tarub mengutuk tubuhmu
Menjadi tumbal suramadu
Nar Nir Nur
Nar Nir Nur
Jika kelak ada yang bertanya
Madura berganti nama
Pamekasan 2017
MADURA
DAN DENYUT YANG HILANG
Ia
tak punya denyut-denyut lagi
Tubuh
dan degub jantungnya tak sanggup mengenal wajah sendiri
Dalam
hentakan musik koplo, atau rempah ganja pil ekstasi
Mengubur
kenangan sedalam mabuk yang makin menjadi
Tiba-tiba
ia dipanggil dan harus segera diadili
Tubuh
dan degub itu kemudian dieksekusi, digerus, diamputasi
Tak
boleh ada saksi, tak boleh ditulis atau diceritakan kembali
Tanpa
grasi atau jaminan dalam wasiat jual beli
Hanya
nyeri yang masih ia miliki: abadi
Ia
setia membangun rumah-rumah mimpi disisa usia
Menjadi
istana kecil penuh bunga
Ia
pasrahkan degub tubuh dan denyutnya
Karena
baginya: tak ada catatan sejarah, mengalunkan madah kasih paling indah
Ia
pernah juga menyaksikan gagahnya nenek moyang
Dengan
tongkat-tongkat sederhana taklukkan gelombang
Tak
pernah gentar apalagi menyerah tanpa perlawanan
Berlipat-lipat
denyut dalam jumlah bilangan
Mencapai
kecup bibir semenanjung lautan
Pamekasan
2017
MADURA
DI LINTING TEMBAKAU
Misalnya
tak ada linting tembakau hari ini
Tolong
ajari satu cangkulan hujan
:
hujan yang senantiasa menumbuhkan bulir hisapan
Pada
merah tanah, juga humus serat rinduku
Linting
tembakau adalah bulir-bulir tabungan
Dari
ritus-ritus tani yang mulai pindah tangan
Tanpa
tongkat rotan, tanpa tetes hujan
Mengalir
bersama kekosongan
Rempah
tembakau ajian melumat harap
Dijulurkannya
sisa denyut dalam ikat wasiat
Mulai
harga yang kehilangan serat
Remuk,
di kantong tengkulak keringat
Semata
Madura di linting tembakau
Pewaris
benih dan daun-daun kesuburan
Kelak
akan kuziarahi lumbung-lumbung ingatan
Tentang
cangkul dan bulir hujan
Tanpa
nama tanpa taburan bunga
Pamekasan
2017
UNTUK
MADURA HARI INI, BESOK DAN KAPAN LAGI
Misalnya
tak ada hari ini, besok dan kapan lagi
Adakah
yang lebih alpa dan nista untuk kudustakan kembali
Seperti
linting tembakau tanah sendiri
Hingga
bumbu dapur telur mata sapi
Madura
yang elok limpahan kecil dari negeri kayangan
Di
dalamnya mengalir rawa-rawa kahidupan
Petani,
nelayan bahkan kiai
Duduk
bertamu, satu tanah kelahiran
Saling
sapa, tak ada pisah atau tertinggal langkah
“terimakasih
telah kau kibarkan layar-layar pada kami, meski kudapati retakan-retakan di
punggung sampan yang nyaris menenggelami, tak terbanyang pantang menyerah
kembali lagi. Atas sebaik-baiknya dendam putih pada tulang atau putih pada
mata: hutang darah dibayar dengan darah, hutang kematian harus dibayar pula
dengan kematian.”
Itulah
isyarat kaliterakhir kau kuabadikan
Sebelum
jasad wasiat-wasiat luhur benar-benar dikuburkan
Jauh
menempuh sulur-sulur impian
Dan
kelak, jika batang padimu tunduk di musim kemarau
Maka
akan kulayari kau
Melewati
lesap Suramadu atau tatap mata serdadu
Dengan
maskawin seperangkat sanggul cintaku
Juga
sepasang tanduk meski hanya seruncing bambu
Sebab,
di atas debur risau pulau-pulau
Telah
kuperas madu getah keringat
Merah
berarti darah, kalah atau kubur luhur sendiri
Untuk
hari ini, besok dan kapan lagi
Pamekasan
2017
RAYUAN
PULAU GARAM
Ini
tentang asin yang sama
Ketika
Tuhan menurunkan lanscap sempurna
Musim
pancaroba mengisyaratkan tanda
Bagi
laki-laki nelayan dan perempuan perkasa
Dimana
riuh ikan-ikan menabuh dada
Sementara
pada tiang-tiang pagan
Hujan
menulis sajak disana
Dengan
utuh makna yang paling bisa
Sampan-sampan
seakan terus menyebrangi
Melipat
degub di lengan kiri
Lantas
hilir ombak seperti sibuk meng-amini
Agar
jarak selekasnya menepi
Sementara
di bibir pantai
Perempuan
perkasa memunguti doa yang disisakan cemas
Ditampungnya
dalam keranjang harap dan waswas
Agar
lelaki nelayan seumpama berbagi usapan
Pada
tiap keringat yang dikucurkan
Di
celah pulau garam, Tuhan menurunkan lanscap peraduan
Tak
perlu menggoda laut agar termakna segala rindu
Sebab
di bantal ombak, telah menyemogakan temu
Pamekasan
2017
Sugik Muhammad Sahar lahir di Pamekasan 30 Mei. Alumnus Program Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Madura. Menulis puisi menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa Madura. Pada tahun 2017 karya-karyanya pernah
dipublikasikan di Radar Madura, Sastra Sumbar, Padang Ekspres, Jawa Post,
Haluan Padang, Rubrik Lini Fiksi, Rubrik Sastra dan Budaya Harian Sultra,
Banjarmasin Post, Radar Mojokerto dll. Kini menetap di Kampung Halamannya Sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar