Perancang sampul: Tu-ngang Iskandar |
SAJADAH
SUNYI
retak
wajah ini membusuk
dan hangus di pundak senja
kutusuk jantung dalam hari-Mu
dan hangus di pundak senja
kutusuk jantung dalam hari-Mu
“marhaban ya, ramadhan”
kusambut
malam-Mu
di atas sajadah sunyi
bertafakur menjalin cinta
di balik malam tabula rasa
di atas sajadah sunyi
bertafakur menjalin cinta
di balik malam tabula rasa
dalam
hening kerinduan
zikir cinta mulai gemuruh
menggetarkan roh-roh renta
di tubuh insan semesta
zikir cinta mulai gemuruh
menggetarkan roh-roh renta
di tubuh insan semesta
“marhaban ya, ramadhan”
kuingin
memeluk-Mu
selembut sutera
dan menatap-Mu setajam pisau
aku harap arasy-Mu di sini
sepanjang malam kerinduan
selembut sutera
dan menatap-Mu setajam pisau
aku harap arasy-Mu di sini
sepanjang malam kerinduan
Jakarta,
2004
MADURA,
AKU ANAK YATIMMU
pulang
aku menyapamu
kembali aku untukmu
di sini ditanah kering kerontang
kembali aku untukmu
di sini ditanah kering kerontang
madura,
aku anak yatimmu
merah aku dalam tubuhmu
bara aku dalam jiwamu
pahlawan aku dalam semangatmu
dan merdeka dalam merah putihmu
merah aku dalam tubuhmu
bara aku dalam jiwamu
pahlawan aku dalam semangatmu
dan merdeka dalam merah putihmu
madura,
aku anak yatimmu
menjerit menangis pilu
dan robek sukma di dalam cinta
kau terjerat di pundak waktu
kau terpenrangah di mulut bisu
kau terapung di perut semesta
dan terhempit tawa di mata zaman
perih, aku ternoda dialektika
menjerit menangis pilu
dan robek sukma di dalam cinta
kau terjerat di pundak waktu
kau terpenrangah di mulut bisu
kau terapung di perut semesta
dan terhempit tawa di mata zaman
perih, aku ternoda dialektika
madura,
aku anak yatimmu
kau zikirku sepanjang masa
kau roh di tiap detak jantungku
kau sajak di tiap baitku
dan mutiara dalam genggamanku
kau zikirku sepanjang masa
kau roh di tiap detak jantungku
kau sajak di tiap baitku
dan mutiara dalam genggamanku
madura,
aku anak yatimmu
kau negeri tak ada duanya
kau negeri tak ada duanya
Jakarta,
2005
BULAN
SABIT
ada
cuaca hening di matamu
raut yang akrab dengan laut
membawanya hanyut dalam suram
dan melambung di sudut awan
raut yang akrab dengan laut
membawanya hanyut dalam suram
dan melambung di sudut awan
sejenak
kau meruap sepi
dan melepas tubuh di bulan sabit
di pagar tembok berlapis duri
kau tegak tak bergeming
dan melepas tubuh di bulan sabit
di pagar tembok berlapis duri
kau tegak tak bergeming
berlalulah
dalam heningmu yang parau
kau telusuri got-got kecil merintih
dengan peraga menuju persada
dalam heningmu yang parau
kau telusuri got-got kecil merintih
dengan peraga menuju persada
Jakarta,
2004
SAJAK KRITIK DI POJOK
PAGI
“aku tak paham jalan
pikiran kalian”
sepenggal
sajak putih di pojok malam
bila
rakyat bermata rakyat
kritik
raykat akan merakyat
namun
bila rakyat tak merakyat
kritik
rakyat akan dirakyatkan
kritik
rakyat, rakyat dikritik
mengkritik
rakyat, rakyat kritik
siapa
lagi kritik-mengkritik?
“aku tak paham jalan
pikiran kalian”
mimpi
sebuah boneka di almari kosong
peradaban
telah biadab
idealisme
terapung dosa
nasionalisme
diam membatu
demokrasi
penjajah sejati
stop!
kritik-mengkritik
biar
rakyat bodoh berdialektika
negeri
ini negeri musibah
negeri
ini negeri bencana
negeri
ini negeri berdarah
tapi
bukan negeri-negerian
pengagum
indonesia telah gugur
bung
karno tinggal sejarah
ki
hajar dewantara lelah hidup
mas
munir bosan merakyat
cak
nurcholis madjid telah tiada
pak
pramoedya ananta toer jenuh ber-tuhan
mereka
menghilang bukan sakti
tapi
ingin negeri ini jaya raya
“aku tak paham jalan
pikiran kalian”
sebait
sajak gelisah di trotoar bolong
negeri
ini bosan berwacana
wajah
rakyat diterjang bencana
dekontruksi
anti reformasi
indonesia
mengumbar sejuta janji
kritik-mengkritik
pun lupa tersaji bukti
kita
malu anak bangsa lugu
kita
bingung anak negeri pintar
kita
bangga anak indonesia ada
tapi
sampai kapan kita mengkhayal
rakyat
bukan teman permainan
pemerintah
bukan dewa diagungkan
akhiri
permainan politik licik
akhiri
kritik-mengkritik picik
semua
ingin indonesia jaya raya
seperti
janji aparatur yang tertutur
“aku tak paham jalan
pikiran kalian”
cuplikan
tawa bayi di perut bumi
indonesia
bangga punya bung karno
tapi
kecewa hanya satu jummlahnya
akhiri
sebuah sajak kritik di pojok pagi
Jakarta,
2005
MIMPI
SANG ANAK
“pah,
besok aku naik kelas
dan sebentar lagi menjadi seorang mahasiswa”
“wah hebat!
kau generasi masa depan bangsa anakku”
“ha,ha,ha, Bapak lucu
dan pintar menghibur hati”
“apa katamu?”
“sudahlah Pah, jangan sok mau diskusi
bangsa ini tidak butuh orang
yang hanya kerjaannya berdiskusi...”
“kamu generasi bangsa anakku
kamu harus pintar, cerdas dan pandai berdiskusi?”
“apa itu diskusi, Pah? apa itu pintar?
dan apa itu cerdas?
bangsa ini tak harus dipimpin orang pandai
berdiskusi
pintar dan cerdas, Pah
tapi cukup bagi yang punya jiwa pemimpin
dan mau dipimpin, Pah”
“lihat Bung Karno
beliau punya jiwa pemimpin dan mau dipimpin
nasionalisme, ikhlas, cinta rakyat kecil dan mampu
membebaskan
kolonialisme, imperialisme di negeri ini
“itulah intelektualitas Bung Karno, Pah
sayang Bung Karno belum ada gantinya
kemiskinan melimpah-ruah
pengangguran tak terhitung jumlahnya
pengedar obat terlarang di mana-mana
tontonan bugil termurah di dunia
pemerkosaan dan pencabulan merajalela
banjir dan tanah longsor tak terelakkan
korupsi tak kenal basi
aduh, kasihan nasib bangsa ini, Pah”
“ya, sudahlah tenangkan dulu pikiranmu di kamar
besok bapak sampaikan salammu”
“lho, kenapa harus besok, Pah?
negeri ini dikejar kiamat
kiamat,kiamat,kiamat”
“subhanallah, aku mimpi toh”
dan sebentar lagi menjadi seorang mahasiswa”
“wah hebat!
kau generasi masa depan bangsa anakku”
“ha,ha,ha, Bapak lucu
dan pintar menghibur hati”
“apa katamu?”
“sudahlah Pah, jangan sok mau diskusi
bangsa ini tidak butuh orang
yang hanya kerjaannya berdiskusi...”
“kamu generasi bangsa anakku
kamu harus pintar, cerdas dan pandai berdiskusi?”
“apa itu diskusi, Pah? apa itu pintar?
dan apa itu cerdas?
bangsa ini tak harus dipimpin orang pandai
berdiskusi
pintar dan cerdas, Pah
tapi cukup bagi yang punya jiwa pemimpin
dan mau dipimpin, Pah”
“lihat Bung Karno
beliau punya jiwa pemimpin dan mau dipimpin
nasionalisme, ikhlas, cinta rakyat kecil dan mampu
membebaskan
kolonialisme, imperialisme di negeri ini
“itulah intelektualitas Bung Karno, Pah
sayang Bung Karno belum ada gantinya
kemiskinan melimpah-ruah
pengangguran tak terhitung jumlahnya
pengedar obat terlarang di mana-mana
tontonan bugil termurah di dunia
pemerkosaan dan pencabulan merajalela
banjir dan tanah longsor tak terelakkan
korupsi tak kenal basi
aduh, kasihan nasib bangsa ini, Pah”
“ya, sudahlah tenangkan dulu pikiranmu di kamar
besok bapak sampaikan salammu”
“lho, kenapa harus besok, Pah?
negeri ini dikejar kiamat
kiamat,kiamat,kiamat”
“subhanallah, aku mimpi toh”
Jakarta,
2004
INDONESIAKU
indonesiaku
rakyat di mana
dengarlah suara penyair
jakarta berbahasa
lampu merah berasap tawa
rakyat di mana
dengarlah suara penyair
jakarta berbahasa
lampu merah berasap tawa
indonesiaku
kabarkan semua orang
bahwa di sini rawan asap:
asap kamar mandi, asap kamar ganti
asap kamar sepi, asap kamar serba jadi
bahkan asap kamar tak bertepi
kabarkan semua orang
bahwa di sini rawan asap:
asap kamar mandi, asap kamar ganti
asap kamar sepi, asap kamar serba jadi
bahkan asap kamar tak bertepi
indonesiaku
lihatlah berjuta-juta mata berpesta
dan siap menyapa siapa pun yang datang
tentu bulan depan, atau tahun akan datang
ada lagi tarian mata cinta
yang mendaftar untuk bercerita panjang
tentang lipstik, tentang cantik, tentang duit
bahkan tentang yang buncit
lihatlah berjuta-juta mata berpesta
dan siap menyapa siapa pun yang datang
tentu bulan depan, atau tahun akan datang
ada lagi tarian mata cinta
yang mendaftar untuk bercerita panjang
tentang lipstik, tentang cantik, tentang duit
bahkan tentang yang buncit
indonesiaku
izinkan kami pergi untuk bercerita
karena indonesia kami rindu harapan
izinkan kami pergi untuk bercerita
karena indonesia kami rindu harapan
Jakarta,
2005
LABA-LABA
TUHAN
embun
itu masih menguap di mataku
perasaan perih mencabik batinku
malam melirik jasadku
siang telanjangi rohku
aku mati tervonis laba-laba tuhan
perasaan perih mencabik batinku
malam melirik jasadku
siang telanjangi rohku
aku mati tervonis laba-laba tuhan
dalam
hati yang terpaut hina
aku lelap terhanyut buih lautan
di mana laba-laba itu bernostalgia
aku rindu walau kaku
aku lelap terhanyut buih lautan
di mana laba-laba itu bernostalgia
aku rindu walau kaku
ombak
mencuak tinggi di kakiku
ke mana lari harus berlayar
panas membakar tanpa ampun
aku ingin lampaui hari-hari sendiri
di sana laba-laba Tuhan memuja keagungan
aku ingin pergi, relakan tubuh ini bercinta
ke mana lari harus berlayar
panas membakar tanpa ampun
aku ingin lampaui hari-hari sendiri
di sana laba-laba Tuhan memuja keagungan
aku ingin pergi, relakan tubuh ini bercinta
Jakarta,
2005
TUAN
tuan
hendak ke mana
jalan kota penuh pesawat tempur
polisi dan satpam masuk rumah sakit
tuan istirahat dulu
tante kesepian seorang diri
jalan kota penuh pesawat tempur
polisi dan satpam masuk rumah sakit
tuan istirahat dulu
tante kesepian seorang diri
coba
lihat, tuan
jendela kerajaan rapuh
kenapa pepohonan ditebang
kenapa orang-orang tanpa busana
kenapa orang-orang berteriak panas
tuan tahu kenapa?
jendela kerajaan rapuh
kenapa pepohonan ditebang
kenapa orang-orang tanpa busana
kenapa orang-orang berteriak panas
tuan tahu kenapa?
hari
ini
tuan kalah sebelum berperang
urungkan niat untuk keluar kota
lampu merah menyala sakti
kasihan para penumpang tak kunjung tiba
tuan kalah sebelum berperang
urungkan niat untuk keluar kota
lampu merah menyala sakti
kasihan para penumpang tak kunjung tiba
tuan
pensiun menjadi tuan raja
biarkan satpam yang mengurusi istana
tuan pulang dulu
kasihan tante di rumah sakit
biarkan satpam yang mengurusi istana
tuan pulang dulu
kasihan tante di rumah sakit
Jakarta,
2005
JAKARTA-MADURA
kau
temani aku berlabuh
menempuh waktu di tebing-tebing tua
mengukur jejak di dinding-dinding hari
lepas kau terdiam keterasingan
menempuh waktu di tebing-tebing tua
mengukur jejak di dinding-dinding hari
lepas kau terdiam keterasingan
di
batas pulau samudera
kau kenang jakarta di ujung malam
lalu rindumu mengajakku pulang
saat badai menelanjangiku di pantai madura
kau kenang jakarta di ujung malam
lalu rindumu mengajakku pulang
saat badai menelanjangiku di pantai madura
jakarta-madura
telah sampai
aku peluk erat-erat tubuhmu dalam hati
aku belai rambutmu dengan jiwa
aku kecup keningmu dengan mesra
di pulau ini kita tanam cinta
untuk hidup di atas sejuta asa
aku peluk erat-erat tubuhmu dalam hati
aku belai rambutmu dengan jiwa
aku kecup keningmu dengan mesra
di pulau ini kita tanam cinta
untuk hidup di atas sejuta asa
Jakarta,
2004
LEKAT
DENGAN APA
lekat
dengan apa
aku pusta tanpa mesin kata
dan sekarat tujuh benua
aku pusta tanpa mesin kata
dan sekarat tujuh benua
lekat
dengan apa
aku ditambat badai kejora
kejat, padat, rapat
ke hulu tanpa bintang
ke hilir ditinggal tepi
aku ditambat badai kejora
kejat, padat, rapat
ke hulu tanpa bintang
ke hilir ditinggal tepi
lekat
dengan apa
aku
sepi di jemari januari
dan tidur di matahari puisi
aku laut jadi belut
jadi patriot, jadi pesisir
dan jadi apa
dan tidur di matahari puisi
aku laut jadi belut
jadi patriot, jadi pesisir
dan jadi apa
lekat
dengan apa
karena langit biru terharu
di wajah yang lugu
lekat dengan apa
karena lubang jadi gelombang
di laut gelisah pantaiku
karena langit biru terharu
di wajah yang lugu
lekat dengan apa
karena lubang jadi gelombang
di laut gelisah pantaiku
lekat
dengan apa
karena
diam jadi batu
di panjang mimpiku
lekat dengan apa
belum apa-apa
aku tekstil kemarin di tenun
bukan setawar seperti bunga mawar
di panjang mimpiku
lekat dengan apa
belum apa-apa
aku tekstil kemarin di tenun
bukan setawar seperti bunga mawar
lekat
dengan apa
jangan tukar pandang dengan awan
dengan sisa napas yang terpendam
dengan senyum wira pahlawan
dengan rentetan episode panjang
aku coba dengan apa
jangan tukar pandang dengan awan
dengan sisa napas yang terpendam
dengan senyum wira pahlawan
dengan rentetan episode panjang
aku coba dengan apa
lekat
dengan apa
aku tak mau diintrogasi
aku hanya tubuh pinjaman dari yang tak bertubuh
seperti kelip bintang tanpa ruang
seperti kalender mati tanpa tanggal
belum apa-apa
aku tak mau diintrogasi
aku hanya tubuh pinjaman dari yang tak bertubuh
seperti kelip bintang tanpa ruang
seperti kalender mati tanpa tanggal
belum apa-apa
lekat
dengan apa
hidup semakin lelap dalam gelap
gelak tak ada tawa
senyum tak ada pesona
aku tak bisa
dan belum apa-apa
hidup semakin lelap dalam gelap
gelak tak ada tawa
senyum tak ada pesona
aku tak bisa
dan belum apa-apa
lekat
dengan apa
mati!
mati!
Jakarta,
2005
DIPANGKUAN
SIANG
lentik
bulu matamu di siang sunyi
di batas jendela yang tak berkaca
kau bertukar pandang dengan awan
lalu kau selipkan selendangmu di mata angin
di batas jendela yang tak berkaca
kau bertukar pandang dengan awan
lalu kau selipkan selendangmu di mata angin
di
bawah naungan jendela
kau ajak sunyi memeluk gerimis malam
namun, waktu tak dapat diajak kompromi
dalam menyulap gelap
di sini, kau perlahan pejamkan mata lentikmu
saat awan tak mampu melawan terang
kau ajak sunyi memeluk gerimis malam
namun, waktu tak dapat diajak kompromi
dalam menyulap gelap
di sini, kau perlahan pejamkan mata lentikmu
saat awan tak mampu melawan terang
di
pangkuan siang, kau hanya bernapas lepas
tunduk dan membisu dijarah mata waktu
kau kalah, namun tiada yang menang
tunduk dan membisu dijarah mata waktu
kau kalah, namun tiada yang menang
Jakarta,
2006
Syam S. Tamoe adalah penyair,
dan alumnus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama di
Jakarta (2003-2008), telah mendirikan beberapa Sanggar Sastra diantaranya,
Sanggar PADI, KOMSAK, Ya Maulay. Juga aktif mengajar cara baca-tulis Karya
Puisi di berbagai Komunitas Sastra di Jakarta diantaranya, Komunitas Komka,
Kosmik, Makar dan El-es Bamboe. “Wasiat Cinta Ibunda & Asbak” 2001-2003
adalah dua Kumpulan Karya Puisi. Dan “Sajak Virus” Kumpulan Puisi yang akan
segera di bukukan. Selain aktif menulis Puisi, Cerpen dan Opini, sering kali
diundang sebagai Dewan Juri Lomba Baca Puisi. Sekarang baru saja mendirikan
Sanggar PECI di tanah kelahirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar