Judul:Garcon A La Pipe. Lukisan: Pablo Picasso |
MEREKA
ANAK-ANAK KITA
Mereka berlarian dalam gigil sepagi itu
Dari sejumlah halaman-halaman
Kamar, dan dapur-dapur penuh sawang
Sawang yang menggambarkan isi kepala
Bekas bocah-bocah majikan bermain pistol-pistolan
Juga dua butir peluru yang ia congkel sendiri dari jantung
ibunya
Mereka berlarian kesini kesana, tak tau apapun
Mereka hanyut menunggangi gelombang, tanpa pelampung
Dan tak pernah sadar kemana ombak akan menenggelamkan
Sementara di tepian, tuan-tuan dan nyonya berambut perak
Menunggunya dengan tatapan mata serupa jaran goyang
Sehabis begadang semalaman
Mereka berlari sambil mengingat Tuhan
Mencoba meraba kembali detak jantung ibunya
Dihantarkannya lempung plastik dan sisa lipstik
Bersama seteguk udara yang sudah tercampur dengan anggur
Linting paha telanjang, lupa bertukar pakaian
Mereka adalah anak-anak kita
Mabuk hilang bentuk
Pamekasan 2017
JIKA
KAU BERTANYA
Aku
Anak-anak kerapan
Di jiwa, tanduk logam
Membajak bukit garam
Bagi dada kerontang
Pamekasan 2017
ALGORITMA
BILANGAN TUBUH
Akupun belajar memahami cara menghitung tubuh sendiri
Dari sejumlah tulang rusuk dan kikil yang kumakan
Dimana rongga perut atau usus bermula dari
Sekerat daging dan sepotong takaran
Buncit atau berlemak dalam ganjil-genap pokok uraian
Aku tau dalam kurun waktu sekian putaran
Antara siang menuju malam mengikuti arah jarum jam
Dimana dalam setiap detaknya, tak akan pernah tersampaikan
Puncak dari bermacam keinginan yang mengejang
Setelah keseimbangan dikoyak kegelapan
Lalu, bagaimana aku dapat menghitung
Kedua riwayat jejak kaki dan tangan
Dari panjang muka dan jarak pandang
Hanya dalam ukuran bayang-bayang
Dan setumpuk ketelanjangan
Atau aku harus tetap mencari rumus-rumus penjumlahan
Sebelum benar-benar minus segala bilangan
Dan berdiri di atas nol pecahan
Pamekasan 2017
TANDUK
KEMARAU
Menancap di ubun kepala
Tanduk musim kemarau
Sekedar membajak keramat tanah
Menghisap lumut getah lidah
Demikianlah kamarau tanah menyerah pada matahari
Sejuta cengkraman tanduk terkejut dilucuti
Ribuan boldozer dan mesin-mesin penghisap bumi
Wajah-wajah geram serupa mata gergaji
Tak ada pilihan kembali
Tanah moyang, dimana kita mesti diadili
Bahwa setidaknya: Pernah
membilas wajah sendiri
Menjadikannya
sebuah puisi
Sunyi
Tak ada bibit masih tersimpan
Saat petani gugur meninggalkan salam
Yang sudah lama memberinya sayur dan buah-buahan
Eksekusi mati tanpa pengadilan
Tanpa grasi atau jaminan
Adakah Matra: Bagi seekor gajah perusak ladang
Bagi harimau pemangsa binatang
Tanduk kemarau tak lagi sakti
Sebab, harga sekepul jerami tak mampu membeli
Untuk sebuah bikini dan sepotong roti
Pamekasan 2017
Sugik Muhammad Sahar lahir di
Pamekasan 30 Mei. Alumnus Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Madura. Menulis puisi menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa
Madura. Pada tahun 2017 karya-karyanya pernah dipublikasikan di Radar Madura,
Sastra Sumbar, Padang Ekspres, Jawa Post, Haluan Padang, Rubrik LiniFiksi,
Rubrik Sastra dan Budaya Harian Sultra, Banjarmasin Post, dll. Kini menetap di
Kampung Halamannya Sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar