Lukisan: Claude Monet |
Surat dari Achterhuis
:Anne
Frank
di
amsterdam tidak ada langit biru
jendela juga pintu bersepakat mengenakan abu-abu
gugur daun tidak memiliki kekasih
pun senja tak pernah kucium dan kuantar pulang
perempuan-perempuan memeluk rahasianya
di ranjang kasar
udara tidak bias melupakan kecupan redup
di sudut sebuah surga
yang tak lebih besar
dari biji kacang
di atas lemari dapurmu
aku segera melupakan janji
sembab suara
radio
iklan televisi
karena besok,
kita pasti akan pergi
di
amsterdam tidak ada langit biru
rak-rak buku dijandakan
karena menyerupai perempuan
yang semakin
tidak jelita
saat menghadapi hari tua
di
amsterdam tidak ada langit biru
dunia hanya perdebatan paku-paku
menempel manja jadi sekat rahasia
Jogjakarta,
2017
Hibernate
pagi ini tak ada buku
yang membuka batin,
suster hanya mengantar
obat penidur
rasa sakit
ketika terbangun,
dia lebih sehat dari bayi enam bulan
di gendongan ibu bulan
lalat sudah sering berdansa tanpa musik.
infuse menuju kekosongan.
dan aku tidak tega mengejek ketakutan
yang tak lagi dimiliki
kopi pada angin
Jogjakarta,
2017
Jauh
tiga puluh menit lalu kita masih bercakap.
saat
langit tak sabar
ingin membuka topeng gerimis.
menampilkan
sedu
sedan
para pejalan
dua puluh menit kemudian,
aku memasukkanmu
ke dalam laci kasir.
karena merasa hatiku tidaklah cukup luas
guna menyambut
kegelisahan-kegelisahan.
kopi
di depanmu seluruhnya dingin
sepuluh menit berikutnya,
seseorang tidak merasa kehilangan aku
ketika aku mengais-ngais bayangan dalam
sekotak gelap
bernama malam
tepat ketika topeng-topeng langit jatuh
gerimis menuju ibunya
tanah basah
kau ikut laju.
semakin tak terlihat.
tak tercium. tak terhirau.
tak
meruang.
di dasar batin hanya suaramu berombak
singgah untuk menggaibkan muasal kenang dan
senyuman-senyuman tertinggal
hanya untuk member spasi antara kini dan lalu
serta menutup lubang cerita tak sudah-sudah.
hanya
demi meluruskan pita suaramu yang tak
bias berucap sepatah
kata
kenang,
kukenang kau kesiap angin menakuti
kulit
memilih tetap dating meski tak terpeluk waktu
berlarian dari semburat keramaian ke
gang-gang
sempit berkelok
jauh
Jogjakarta,
2017
Jelang Pagi
dan pada bulan telur,
aku melihat diriku,
seorang durjana mencari
kecut
bekas bibirmu dalam gelas kosong dini hari
kafe yang sepi
para pemimpi pulang.
masih ada satu perempuan sendirian
di kursi
barisan tengah,
memikirkan caranya pergi
yang lebih halus dari
segar angin
lebih lirih dari isak teh
yang dituang ke dalam
gelas tadi malam
dia akan berjalan tanpa dihiraukan.
Bjong,
2017
Nurul Ilmi El Bana, kuliah di Jogjakarta.
Menjadi salah satu penerima Anugerah Sastra dan Seni Universitas Gadjah Mada
2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar