Lukisan Karya Kurt Cobain. Pada Kanvas: 560 × 433 |
Gema
Orang-Orang Jurang Ara
Kitalah orang-orang desa jurang ara,
hidup dari keringat kuning waktu.
Sementara tubuh adalah hari-hari
berkulit perih, dari rasa nyeri tulang
menguras nyali dan tenaga menjadi
orang-orang kuli sawah-sawah.
Dan mimpi-mimpi kita hanya setinggi rumputan,
berharap layak hidup walau lahir dari kesedihan,
dan mati terkubur sejarah bahagia tanpa utang
dan siksaan.
Sebab, kitalah orang-orang kuli desa di zaman
berdebu, kata raja-raja kota. Yang tak mengenal
sejarah buku-buku dan kata-kata di bangku sekolah
mewah, dan tolol soal menggoyangkan pulpen,
politik, apa lagi ilmu tikus tipu dan menipu itu.
Kita hanya pandai bekerja, memadatkan urat
lengan
mainkan cangkul di atas tanah, walau ke sawahsawah
perantauan.
Terpisah dari anak-istri dan bersabung rindu
dalam mimpi-mimpi perih di tubuh malam-malam
kita yang linu.
Jurang Ara, 2107
Nenek
Moyangku Seorang Pesawah
1
Di bumiku yang klise, nenek-moyangku pernah
menyadarkan
punggung hidupannya pada sembahyang padipadi,
jagung-jagung
di sajadah sawah-ladang perkampungan.
Dan hari ini hanyalah pengulangan-pengulangan
harapan dan sejarah
dari sebongkah kerak tanah silam. Sebab, bagi
petani tak ada yang lebih
permata dari segumpal tanah adalah surga: lahan
segala babad kehidupan
bermula dan berbiak, dari masa lalu sampai dunia
menjadi sebutir debu.
Sedang keringat asin waktu hari-hari adalah langgar
kaum tani:
tempat mereka bersujud-berdoa merayu Tuhan di
langit legam,
agar mengencingi wajah bumi dengan deras air
hujan.
2
Lalu pada hari senja, di barat mata waktu. Dahi langit
cekung berdarah,
dan tanah kampung berwarna merah bibir perawan
desa. Lalu kulihat
langit layang-layang telah dinaikkan anak-anak
kencur, di saat kaum
tani telah angkat kaki dari sepetak sawah: pulang
membawa keringat
yang dikeringkan di malam-malam linu melelapkan.
Atau sebagian masih di pematang, seperti kulihat
mak tuaku
dengan telanjang dada, pulang seusai menyadap
mayang dari
pohon siwalan. Yang kelak di malam perawan,
kesabaran
nenekku menjadi kayu bakar dalam tungku berkobar,
menunggu
demi gula di atas kuali masak dan mengental, atau
wanginya
yang selalu dibawa pergi angin ke sela-sela hidung
perkampungan.
Jurang Ara, 2017
Norrahman
Alif, lahir di Dusun Jurang
Ara, Sumenep, Madura. Dia bergiat di desa dan Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta
(LSKY). Dia menulis resensi, esai, dan puisi Minggu Pagi, Radar Surabaya,
Merapi, Media Indonesia, LiniFiksi, Kedaulatan Rakyat, Wasiat Darah, Sasoma,
antologi puisi Ketika Burung Burung Telah Pergi, Antologi Puisi ASEAN 1,
Buletin Jejak, NusantaraNews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar