USAI
Bunga-bunga
gugur dari kelopaknya
Saat
senja menutup cahaya
Ia
redam ribuan aroma
Pada
retak tanah dan udara
Gelap
mengekalkan pekat
Tabir-tabir
tak tersingkap
Seperti
bibirmu mengatup rapat
,
Kau
garisi senyap dengan tanda tak bertempat
Aku
kehilangan warna memipih hikayat
Dengan sumbu yang mulai tersumbat
Kunang-kunang
memburu waktu
Wajah
kita beku
,
Hingga
akhir memutus takdir
Untuk
ada tak lagi mungkin
Biarkan
kita mengucap dusta
Sebab
jendela sudah tak berkaca
Kita,
hanya lubang kecil
Belajar
sembunyi dari yang ganjil
Catatan,
19 Feb '16
DI
SINI
"Ini
masih panen pertama" katamu
"Jangan
tumpulkan ingatan"
Ada
yang terkubur di dinding waktu
Semut-semut
liar mengarungi semu
"Telaga
itu, rumah membersihkan abu
Mengais
batu setelah permata gagal diburu"
Di
sini, udara gegas dihempas cakrawala
Memainkan
rambut yang diratakan di kening
"Mawarmu
masih merah, di palungku"
Melibas
kepekatan, bagai laju kendaraan
Mengucap
selamat tinggal
Di
sini ada yang mengulang perjanjian
Berputar
menjadi segugus bintang
Saat
diam dipenjarakan kecemasan,
Ruangmu
kesepian yang dirindukan.
Catatan,
28 Februari 2016
SKETSA
YANG TERTINGGAL
Kubiar
sunyi menyepi; menunggu pagi
Ketika
ruang tidurku tak berkelambu
Dan,
tembok itu mencetak satu tanggal
Sebuah
reuni dari sketsa tertinggal
Resah
gelisah tercekam di jam dinding
Bertik-tak
dalam ketukan jarum
Mengitari
ubun-ubun malam
Seolah
kepulangan sudah di depan.
Yang kaurisaukan masih seluas pandang?
Sementara,
tubuh sudah menua
Mengerangka
dalam cabikan nyeri
Tak
sudah?
Ini
kisah romansa,
Kita yang melupa?
Catatan,
21 februari '16
SETELAH
SENJA INI
Bukan
gerai angin menggugurkan ranting
Setiba
rona jingga jatuh di atas pusara
daun
kamboja menatap sayu menyambangi
Dalam
hempas pasrah penuh kelu
Di
bangku ini, kita saling memagari diri
percakapan
dari huruf-huruf yang menulisi
Hijau
daun dan tulang-tulangnya berduri
Kita
semikan walau akarnya akan mati
Paruh
waktu, tak sempat memberi tanda
Tak
pernah mengabari alamat
Kerling camar menyisipkan risau betina
Gelap
tiba sempurna, membawa kepakan
Ke
peraduan angan
Senja
ini akan hilang dalam perih tersimpan
Waktu mengerti tak mungkin mengakhiri
Catatan,
25 Februari 16
MASA
LALU
Ini
kisah terdahulu,
lampiran
seribu dari abjad-abjad tak baku
nama-nama
tak terang tertulis dengan tinta hitam
namamu
terpajang di tumpukan koran
,
Satu-dua,
kita hitung angka paling belakang
nol
seperti kebeliaan kita mengeja masa depan
bukankah
bekal sudah di tangan?
tangismu,
rengekan manja anak rantau
,
Buku
kesatu wajah kita yang dungu,
lugu
dalam belaian ibu
Buku
kesepuluh tapak-tapak waktu
merekam
jejak bisu
Buku
kelima puluh kita saling cemburu
apakah
kulitmu sesegar dahulu
,
Ah,
kita tutup saja
sejarah
sudah tak di mata
bukan
waktunya saling terpesona
,
Aku
tak ingin memulai
sebab
tintaku tak cair lagi
Catatan,
17 februari 2016
TUHAN
(1)
Tuhan,
Dalam
seribu kata
Tak
cukup aku meminta
Seluruhku,
nikmat penuh rindu
Tuhan,
Aku
tenggelam
Dalam
biduk pencarian
Lelah
yang penuh noktah
Aku
melarung dosa
Tuhan,
Hujan
ini begitu biasa
Luruh
di kantung mata
Samudra
piluku bertamasya
Langit
tanpa udara
Bumi,
rel-rel patah
Tiada
ujung
Aku
hilang, tiada dalam ada
Tuhan,
Bagaimana
aku memulangkan jiwa
kepada
cinta yang mencintai-Mu
Kepada
rindu yang menunggu-Mu
Kepada
diriku yang memanggil nama-Mu
Tuhan,
Dalam
diriku
Adakah
bening kasih-Mu?
Catatan,
29 Februari 2016
BIARKAN
AKU BICARA
Enggan bicara saat malam menidurkanmu
Sudut-sudut
sunyi masih menyisakan tawa
Tentang
musim yang akrab dengan cerita
Di
ambang senja itu kita berbagi bahagia
Aku
masih terjaga di dekatmu
Menggantung
bayang purnama, kelak
Dinding
langit mengurai sulaman luka
Di
kepergianku telah terekam jarak;
Dapat ditempuh dengan mata batinmu
Sekali
lagi, aku enggan bicara padamu
Saat
kata-kata tertahan di ujung lidah
Di
depanmu, aku meratapi pusara
Terbentang
dingin penuhi ruang dada
Biarkan
aku bicara
Di
pejaman matamu
Biarkan
aku
Catatan,
02 Maret 2016
YANG
TERKENANG
sebuah
perempatan penuh liku
serta
kelokannya tak bertitik temu
menyisir desir angin di perkampungan
lebat
rumput tak tersentuh kemarau
meramalkan
jalan pertemuan
tak
pernah paham arah pulang
orang-orang
bicara tentang keadaan
apa
Tuhan pengambil segala kenang?
Catatan,
06 Maret 2016
MIMPI
DAN ANGIN
Aku
belajar menjadi angin
daun-daun
diterbangkan
gegas
dalam pesan terlerai
Aku belajar menjadi mimpi
hutan-hutannya
aku jelajahi
manjadi hujan, merimbun
Sumenep,
07 Maret 2016
KAU
TAHU
Aku
menyebutmu puisi
Ratusan
sajak dari ribuan sunyi
Kau
tahu, senja selalu datang
Sedihku
kaupulangkan
ke lautan
Kau
tahu, alamat sudah kupalsukan
Sebab
itu cara
memanggil pelangi
Sumenep,
09 Maret 2016
PUCUK
DAUN
Di
pucuk daun, hijau sedap di pandang
Jalinan akar merambat sampai ke dahan
Disimpan aroma
putik jadi isapan kumbang
Kupu-kupu
melahirkan ribuan kepompong
Memanggil
hujan bercerita tentang fajar
Di
pucuk daun semi selalu mengembun
Bulir-bulir
kristal di gulungan halimun
Erang
burung malam yang lupa terbang
Dalam ritual, tak sempat dimantrakan
Bagai
ucapan selamat jalan
Bagi kekasih yang ditinggalkan
Duka
gembira bertautan
Di
pucuk daun, namamu
lesap
menjadi batang
Catatan,
14 Maret 2016
TAK
LAGI TERANG
Mengukur
jarak bumi dan bulan
Tak
kutemukan tetes hujan
Perapian
mencipta arang
Musim
yang menahun
Tanggal
tak tertera
Sunyi
mengganti pagi
Desir
angin berhenti di pucuk pohon
Melerai
resah gembala di padang-padang
Menjadi
situs bagi mataku
Dalam
peta
Rumus-rumus
jadi ramalan
Seperti
rumah tua menyimpan misteri
Segala
yang tak sadar
Tidur
di remang-remang
Catatan
14 Maret 2016
PUISIMU
Buih
di lautan lepas
Menjelma
kabut-kabut
di
jantungmu
Mengakari
karang
Tajam
bagai pedang
Pantai
dan hutan bakau
Tersapu
gelombang
Kita
berlarian
Mengejar
yang di depan
Di
belakang
Rindu
tenggelam
CINTA
Jika
harus kutaklukkan luka
Lepaskan
gelap dari hitamnya
Tak
berakhir tangis hujani mata
Nyeri
bernanah
Darah
pun luah harumi tanah
Ketika
kuterbangun
Bahwa
mimpi berbandarnya cinta
Dari
sekian senyap
Yang
dibawa penghuninya
Catatan
kelam, 24 Maret 2016
CERMIN
Dalam
pantulan bayang
menyapu
segala pandang
menerjemahkan kedipan
hidup, monumen
perjalanan
menghayati
ribuan peran
lakon
dan takdir, dituliskan
Catatan
29 maret 2016
DENGAR
NYANYIANKU, DIEN
Purnama terang di kotamu,
Lilin-lilin
berayun dalam getar
Aroma bunga-bunga,
Sesak
di pembaringan,
Memadati
mataku
akrab
menafsir matamu.
Hari
belum terang, Dien!
Mendung
membawa hujan,
Engkau di balik jendela
itu?
Bertukar
sepi dengan malam
Bukuku
tak lagi berisi tulisan,
Saat tak bisa eja huruf
Tuhan
Aku
masih diriku, Dien.
Merangkul
kenangan
Tak mengenal hujan.
Sumenep,
08 Maret 2016
SEBELUM
MATAHARI
(1)
Diam-diam
aku diam
Sebentar
lagi fajar datang
(2)
Tuhan,
aku bermimpi
Sedang mengubur nyeri.
Catatan,
03 April 2016
SAJAK
KENANGAN
Aku
tinggalkan senyum di sini
dibingkai kaca tersimpan di almari
Tak ada setia yang abadi
sebab
hidup akan berganti
Aku
tinggalkan kenanganku di sini
di
atas ubin-ubin juga kemejamu
Berbicaralah pelan saja,
Karena ingatan akan mati.
Catatan,
04 April 2016
YANG LEBIH DARI KESENDIRIAN
Apa
yang paling sunyi dari kesendirian?
Jiwa
terbungkus kegamangan
Merambah
ilusi ketiadaan
Dipenjara
dalam kurun kebebasan
Seakan
ada yang coba dituntaskannya
Perhelatan
musim memadati kenangan
Riwayat
tak selesai dituliskan
Dongeng-dongeng
menjadi sulaman nasib
Dari
penat juga gairah tak terlupakan
Apa
yang lebih tenteram dari kesendirian?
Segala
gaduh senyap dalam diam
Kekosongan
mengikuti ketukan jam
Debar
yang kencang melemah
Emosi
redam, istirah di pucuk-pucuk pasrah
Apa
yang paling kekal dari kesendirian?
Hening
menjadi lintas pengembaraan
Tak
bisa tiba di titik sempurna
Jiwa
mengeranda dalam penghambaan
Gelap
menjadi trerang tiba-tiba
Diterbangkanlah
doa-doa
Seperti
tiupan ruh mencari pendermanya
Apa
yang lebih indah dari kesendirian?
Adalah
waktumu dan aku
Dipersatukan
dalam wujud cinta
Kasih
ke-Mahaan-Nya
Catatan,
07 April 2016
KIDUNG SUNYI
Pada
suatu peristiwa yang mungkin kau mengingatnya
Saat
semi telah jauh berkelana
Hujan
berlalu dari kenang
Para
gadis mengikat payung di jendela
Masihkah
kau duduk di beranda
Menggambar
sketsa bunga, perlambang kasih tak sirna
Aku
telah meninggalkanmu
Seperti
kidung senja yang sembunyi di titik kelu
Akan
ada pergantian waktu
Menumbuhkan
rindu dalam bait-bait sajak
Menderaskan
air mataku
Tak
pernah kusesalkan perjumpaan
Karena
perpisahan simponi hidup, berlikunya perjalanan
Di
sana, dalam kepingan nuansa yang selalu merekam tawa
Kemarau
telah melemparmu pada lembah sunyi
Hanya
aku, kekasihku
Hunian
jiwa tak pernah lupa menandai lara
Hingga
pelayaran tak berbandang
Mendekap
nyeri dipeluk gelombang
Menasbih
namamu lewat kalam-kalam Tuhan.
Sumenep,
090416
SURATMU
(1)
Aku
baca suratmu, sampul biru tinta ungu
Larik-larik
nada tunggu seolah suaramu, memadati pendengaranku
Gairah
tidurku tertahan
Menelisik
kebekuan, memecah
keresahan
Suratmu,
rahasia tangis nelayan
Saat
sauh-sauh terlempar di gerus gelombang
Langit
terbata, mengamini doa-doa
Sedang
aku, rekah fajar masih berkolaborasi dengan hujan
Surat
itu, aku selipkan di dua pintu
Sebagai
persinggahan dari lelahmu
Supaya
esok kau temukanku
Tapi
kau terburu-buru
Menutup
jendela samping rumahmu
Dan,
tanganku menyentuh kuncinya
Aku
terkesiap, memburu sepi yang kau riuhkan dari sunyi
Lupakah
kau, suratmu masih lantang gaungkan pesan
Setelah
keraguan kau adukan di lembah tak berawan
Nuansa
senyap, lebih perih dari kesendirian
Dan,
suratmu telah lekat di jantungku.
Catatan,
24022016
SURATMU (2)
Seperti
kisah nawala para musafir
Suratmu
tiba dengan pesan-pesan terlampir, kubaca
Setiap
kali mengulangnya, kutemukan perbedaan
Entah
sampulnya tak bergambar bunga mawar
Hanya
seekor elang dengan satu sayap kanan
Kutimang
dengan gejolak pertanyaan
Surat
itu, bertuliskan namamu dan namaku
Di
garis awal
Di
tengah hanya sebaris kata-kata
"Aku
baik-baik saja"
Tak
ada kata penutup, hanya ungkapan salam
Pikiranku
berkabut, sedang senja begitu fashih
Melafadhkan
kidung petang
Mengantar
dzikir anak-anak surau memuja kalam Tuhan
Adakah
suratku tak pernah sampai?
surat
yang kurangkum dengan bilangan kata
Berlembar-lembar
dalam ejaan musim tak kenal cuaca
Suratmu,
siulan burung bibis
Mengabur
ditelan malam
Catatan,
20042016
AKUKAH BULAN
Masihkah
engkau bulan?
Setelah
cahaya diredupkan
Langit sudah tak berlambang
Raib
pesan-pesan yang disimpan
Bagai
nelayan kehilangan umpà n
Kail
tersangkut di belahan karang
Seribu
nyanyian kekosongan
Pantai
sudah tak di seberang
Jalan-jalan
makin bercabang
Menafikan
kelam tanpa bintang
Bianglala
pecah jadi bayang
Perayaan luka sepantai
Catatan,
18042016
TUBUHMU
Adalah
satu bukit yang hijau
Bertaburan
biru rumputan
Ilalang
dan segenap desir
Semesta
selalu membawaku
Pada
hamparan berburu temu
Seluruh
malam purnama
Berlompatan
dari jendela
Mencari
ruang paling rindang
Dalam
pelukan.
SENYUMMU
Adalah
kelopak bunga mawar
Merekahkan
wewangian
Meresap
ke pembuluh darah
Dunia
bagai dalam genggaman
Pada
sungai yang berseberangan
Seluruh
aliran mencipta bening
Serupa
hulu dan muara
Saling
mengatupkan percikan
Dalam
debar
Catatan,
25042016
PENING
Berputar
seperti gasing
dalam
ritme bergelombang
atas,
bawah
bukan
tujuan
Menyelinap
di urat nadi
hitam
pekat
menjadi
partikel
menghentak
jiwa
mengambang
di
udara
tiba-tiba
membumi
Berlayar
tanpa perahu
dikepung
buih-buih
ikan-ikan
berlomba
berlarian
datang
hilang
Pintu-pintu
goyang
Jendela
melambai
kertas
berhamburan
mendesak
ke luar
melayang
lalu--gempa
Catatan,
25-04-2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar