Perancang Cover: Musthafa Kamal |
DESEMBER
YANG RAPUH
Aku sadar, hadirmu
dalam patahan hidupku
Seperti gerimis membasah tanah gersang
Ingatanku bercengkrama denganmu
Di padang kerontang
Perasaanku sebisu karang
Melukis fajar
Membelai senja
Jadi nyanyian ombak: di mana angin
Pernah menyejukkan
Seperti gerimis membasah tanah gersang
Ingatanku bercengkrama denganmu
Di padang kerontang
Perasaanku sebisu karang
Melukis fajar
Membelai senja
Jadi nyanyian ombak: di mana angin
Pernah menyejukkan
Gelap
malam cahayamu membentang
Langkahku tertatih
Hasratku tak sempat kubaca
Karena kau tak mengundangku
Asaku melesat menikam burung-burung
Langkahku tertatih
Hasratku tak sempat kubaca
Karena kau tak mengundangku
Asaku melesat menikam burung-burung
Di
senja nurani desember yang rapuh
Kutulis segala yang membentang di pelupuk mata:
Jas safari, dasi, sepatu lusuh, sandal jepit
Mungkin kau pernah merenung
Mengimpikan kebahagiaan abadi
Igaumu mematahkan kelopak mawar
Karena persemaian yang usang
Kutulis segala yang membentang di pelupuk mata:
Jas safari, dasi, sepatu lusuh, sandal jepit
Mungkin kau pernah merenung
Mengimpikan kebahagiaan abadi
Igaumu mematahkan kelopak mawar
Karena persemaian yang usang
Senyummu
meruncing di ujung gerimis
Resahmu segalau ombak tertegun
Menatap bayang karena tak sempat lagi berucap
Pada malam resahku yang kesekian
Tawamu jauh mengalun
Mengalun di dekat awan
Kau tawarkan dan segera melenggang
Seperti penari di atas panggung
Resahmu segalau ombak tertegun
Menatap bayang karena tak sempat lagi berucap
Pada malam resahku yang kesekian
Tawamu jauh mengalun
Mengalun di dekat awan
Kau tawarkan dan segera melenggang
Seperti penari di atas panggung
Pamekasan,
31 Desember 2016
JANGAN
BERMAIN SANDIWARA DI SINI
(kepada: sutradara-sutradara kecil)
(kepada: sutradara-sutradara kecil)
burung
pipit hitam putih di kepala
melintas di jantung kota
melengking suara duka
malam bertambah kelam
melintas di jantung kota
melengking suara duka
malam bertambah kelam
kakek
tua di emper toko
mendekap cucunya
tenanglah, tidak apa-apa
aku tetap menjaga
jangan bermain sandiwara di sisi
burung pipit hitam putih di kepala
burung pipit hitam duka nestapa dibawanya
kami masih terjaga
doa-doa sudah diucapkan
kidung malam dilantunkan
bunga-bunga ditaburkan
bau kemenyan serak menyegarkan
bersandiwaralah, tapi jangan di sini
tebarkan duka, tapi jangan di sini
puaskan dendam, tapi jangan di jalan ini
tebarkan awan, tapi jauh di puncak gelap
mendekap cucunya
tenanglah, tidak apa-apa
aku tetap menjaga
jangan bermain sandiwara di sisi
burung pipit hitam putih di kepala
burung pipit hitam duka nestapa dibawanya
kami masih terjaga
doa-doa sudah diucapkan
kidung malam dilantunkan
bunga-bunga ditaburkan
bau kemenyan serak menyegarkan
bersandiwaralah, tapi jangan di sini
tebarkan duka, tapi jangan di sini
puaskan dendam, tapi jangan di jalan ini
tebarkan awan, tapi jauh di puncak gelap
burung
pipit hitam putih di lehernya
jangan bermain sandiwara di sini
jangan bermain sandiwara di sini
NYANYIAN GERIMIS
kepada
gerimis yang ‘kan lahir, atas janji awan
semi pohon dan rembulan.
rentangkan sayap-sayapmu
hingga ke ufuk. Luruskan arahmu
dari segala kebohongan
fasihkan ligahmu buat menumbangkan
kegetiran pohon dan
gunung-gunung di keheningan.
semi pohon dan rembulan.
rentangkan sayap-sayapmu
hingga ke ufuk. Luruskan arahmu
dari segala kebohongan
fasihkan ligahmu buat menumbangkan
kegetiran pohon dan
gunung-gunung di keheningan.
kepada
gerimis yang pendiam, engkaulah akal itu
warnai waktu hempas ilalang,
menerpa padang dan
lena pada mawar-mawar liar
tiap detik makin dekat, makin jauh perjalanan
lalu kuisyaratkan padamu: mari berhenti
dan bercengkrama
dalam mimpi
warnai waktu hempas ilalang,
menerpa padang dan
lena pada mawar-mawar liar
tiap detik makin dekat, makin jauh perjalanan
lalu kuisyaratkan padamu: mari berhenti
dan bercengkrama
dalam mimpi
kepada
segala yang samar, tikam kesombongan
terbarkan kata jadi belati buat terbang ke angkasa
prasasti dengan sendiri
nantikan saja!
terbarkan kata jadi belati buat terbang ke angkasa
prasasti dengan sendiri
nantikan saja!
kepada
segala yang mendengar.
di mana kau temui suara gerimis
dalam cengkrama ranting ke dahan.
terjemahkanlah nyanyian gerimisku.
lantunkan syair-syair kasih sayang, mengusir
mantra-mantra semu, agar tak beku nuraniku.
di mana kau temui suara gerimis
dalam cengkrama ranting ke dahan.
terjemahkanlah nyanyian gerimisku.
lantunkan syair-syair kasih sayang, mengusir
mantra-mantra semu, agar tak beku nuraniku.
alangkah
nahagia perjalanan bersama ketulusan
bagai pengembara yang bergulat dengan embun,
bersendagurau dengan harapan dan menekrima keputusan
tanpa menuduhku
penebar kenistaan.
bagai pengembara yang bergulat dengan embun,
bersendagurau dengan harapan dan menekrima keputusan
tanpa menuduhku
penebar kenistaan.
GERIMIS ITU
gerimis
itu menetes sepanjang jalan
di pantai hitam negeri berdebu
sementara mulut-mulut besar
terus menganga
mencari mangsa dari dada ibunya
o, musim begitu buruk, angin dan ombak beku
mengeras jadi belati tikam nadi jiwa kami
kemana lagi bocah-bocah itu pergi
sepertinya pembantaian seindah permainan
masa kecil
cinta dan perlindungan
bagai cahaya pantulkan bayang
di pantai hitam negeri berdebu
sementara mulut-mulut besar
terus menganga
mencari mangsa dari dada ibunya
o, musim begitu buruk, angin dan ombak beku
mengeras jadi belati tikam nadi jiwa kami
kemana lagi bocah-bocah itu pergi
sepertinya pembantaian seindah permainan
masa kecil
cinta dan perlindungan
bagai cahaya pantulkan bayang
gerimis
itu menetes di pantai
pagi dan petang apa bedanya manakala
kekuatan dan kekuasaan menguasai diri
pagi dan petang apa bedanya manakala
kekuatan dan kekuasaan menguasai diri
o,
musim begitu buruk milik kita
kapan mulut kembali lepas senyum
betapa banyak yang hilang, dan kau
tahu selalu lepas kutangkap
dalam lipatan peradaban
cinta, impian, harapan, dan kenyataan
tergadaikan
kapan mulut kembali lepas senyum
betapa banyak yang hilang, dan kau
tahu selalu lepas kutangkap
dalam lipatan peradaban
cinta, impian, harapan, dan kenyataan
tergadaikan
M. Tauhed Supratman,
lahir di Pamekasan, 27 November 1970. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Madura. Ia menulis puisi menggunakan bahasa
Indonesia dan bahasa Madura. Saat ini ia menjabat sebagai ketua Ketua Prodi dan
staf pengajar di almamaternya. Ia juga rajin mengikuti kegiatan ilmiah dan
beberapa kali menjadi pembicara tingkat nasional tentang Pantun Madura. Karya-karyanya
berupa sajak, cerpen, esai dipublikasikan di berbagai media: Jawa Pos, Karya
Darma, Mimbar Pembangunan Agama, Bende (Surabaya), Simponi, Inti Jaya, Kompas,
Suara Muhammadiyah, Sahabat Pena, dll. Ia juga merupakan alumni Lembaga
Jurnalistik Mandiri Jakarta 1993, Spesialisasi Kewartawanan. Sajaknya “Nyanyian
dari Kampus” terpilih dan dibacakan di Radio Nederland, di Helvirsum, Belanda,
dalam rangka HUT ke-53 Republik Indonesia. Sementara artikel ilmiahnya “Soeharto
dalam Cerpen Indonesia” mendapat penghargaan dari Radio Nederland, di
Helvirsum, Belanda, tahun 2003.
Kumpulan
sajaknya bersama penyair lain: 1. “Puisi Rakyat Merdeka” (Grasindo dan Ranesi,
2003), 2. “Duka Aceh Duka Bersama” (2005), 3. “Dari Are’ Lancor ke Hati Rencong”
(2005), 4. “Malsasa 2005” (2005), 5. “Nemor Kara” (Antologi Puisi Modern Bahasa
Madura, Depantemen Pendidikan Nasional, Balai Bahasa Surabaya: Oktober 2006),
6. “Pamekasan di Mata Penyair” (2007), 7. “Surabaya 714” (2007), 8. “Wanita
yang Membawa Kupu-Kupu” (2009), 9. “Malsabaru (Malam Sastra bagi Guru),
Surabaya: Forum Sastra Bersama Surbaya dan UPT Dikbangkes dinas Pendidikan
Provensi Jawa Timur, Mei 2011.” 10. Malsasa X Retropeksi Malsasa Surabaya 722,
Sidoarjo: SutuKata Book@rt Publising. Sementara antologi sajak tunggalnya di
antara lain: “Rapsodi Mawar dan Gerimis” (Ganding Pustaka, Yogyakarta, Juni
2015). Papareghen: Pantun Madura Puisi Abadi, (Ganding Pustaka, Yogyakarta,
Juni 2016). Kini tinggal di Jl. Jembatan Serang 3, Tanjung, Pademawu,
Pamekasan, Madura, 69381. Email m.tauhed.s@gmail.com
Hp: 081230335522
Tidak ada komentar:
Posting Komentar