Lukisan: Saburo Miyamoto, Surprise Attack of Naval Paratroops at Manado, 1943, cat minyak di atas kanvas, 189 x 297 cm (National Museum of Modern Art, Tokyo). |
Merindumu Pilu
di
atas kabut rumah
cakar
petir mendarah-darah
dari
pekarangan dedaunan mengibas-ngibaskan
rindu
pada getar getir ranjangku
tubuh
bersadai dalam pekat angan
lelap
dalam gelembung angin gelap
malam
bertanduk biadab
menggiring
sukma
ke
ketinggian surga bernama cinta
sang
bidadari merentang selendang kesenangan
begitu
panas melilit iman
namun
secepatnya ia lesap
diisap
segerombolan awan
seiring
mata terbuka berandai-andai
andai-andai
yang sekian lama bertengger di ranting kalbu
yang
setiap perempuan membeliung di jantung
kuat-kuat
mencengkeram selalu
oh!
di manakah detak pijakmu ya hawa?
telahkah
dekat akan gerbang karatku
yang
hujan ke hujan dibiarkan berlumut kalut?
larilah
larilah larilah!
batu
yang kududuki terkelupas sudah tabahnya
september
demi september menghanguslah hati ini
tak
tahan lagi dipanggang sunyi
Sumenep 2016
Cahaya Kelahiran
tanggal
sebelas bulan sebelas
ini
sajak kutetas
tanda
desau bahagia atas
jumat
kliwon yang telah selamat
meneteskan
derai impian
tepat
saat riang-riangnya wirid
digoyangkan
para malaikat
di
mana kesunyian alangkah kental dan likat
satu
jam hanya yayan menderu badai kelabu
lalu
mendenyarlah semesta di malam biru mata itu
hujan
hamdalah meruah-ruah
sudah
jatim petik kini salah satu bintang surgawi
yang
sedari dulu ia cari
di
antara gundukan-gundukan sepi
ada
manis ada iris
beraduk-aduk
di jiwa terjeluk
lantaran
api nestapa menjulang ganas di ubun mereka
tapi
inilah cuma pemberianku
“kelak
si buah hati jadilah fajar nan berpijar keemasan
menyinari
reruangan yang sesak oleh mudah-mudahan”
Sumenep 2016
Bulan Gelamai
sehabis
bulan bubur kabur
saatnya
dodol kini dicipta
atas
tabah tungku dapur
merawat
ketat jejak jemari moyang
salah
satu cara kasih-sayang
supaya
kesantunan selalu pasang
tepung
dan santan berbaur kental
ajarkan
sesama tetangga
menyatukan
jiwa putihnya
napas
api membuat keringat kami mengkristal
makna
hayat betapa kobar dalam kepala
inilah
dodol kebanggaan kampung kami
sesederhana
mungkin menjelma mata sabit
mari
cicipi yang di balik aromanya
tumbuh
suatu sari arti
kerukunan
terlampau manis
ketimbang
sengit cubit-mencubit
Sumenep 2016
Musim Tanam
sepasang
sapi betina begitu tabah
cut
dipecut menenggala ladang impian
berjalan
meniti gemeretak waktu
yang
tiap pijaknya membekas di benak kami
bekas
juang untuk kami haturkan
kepada
cicit dan cicit nanti
agar
tetap mengalir kesejukan air mata tani
kami
tanam benih-benih harapan
antara
tanah yang tunduk lemas
jua
tikaman surya nan amat ganas
kelak
semoga tumbuh utuh sebagai keberkatan
menepis
bengis
menolak
congkak
dan
hama-hama lain
yang
dapat mengikis kehijauan batin
ada
kalanya kami istirah
kopi
diseruput
rokok
disulut
serupa
hujan membangkitkan gelora pohonan
tulang
kami merah menyala seperti semula
usai
dipadamkan rinai keringat
angin
berduyun membasuh letih
sesegar
beburung di pagi embun
berdiri
lagi kami menantang perih
melawannya
dengan raut santun
Sumenep 2016
Remang Perjuangan
menanggalkan
siung matahari
untuk
tubuhmu yang seangkuh besi
menepis
murka hujan dengan baju usangmu
yang
menyerap berbagai aroma kotoran
arit
di kanan
api
di kiri
kau
tantang kemuskilan
kau
serang halimun nasib
tebas
batang-batang pongah
bakar
duri-duri kesah
nenek!
akukah
cucumu?
Sumenep 2016
Daviatul
Umam, lahir di Sumenep, 18 September 1996.
Alumni Pondok
Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa ini
merupakan mantan Ketua Umum Sanggar Andalas, sekaligus aktivis beberapa
komunitas teater dan sastra lainnya. Sebagian karyanya dipublikasikan di
sejumlah buku antologi bersama serta media cetak dan online. Sesekali
juga dinobatkan sebagai pemenang atau nominasi di antara sekian lomba cipta
puisi, lokal maupun
nasional. Berdomisili di Poteran Talango
Sumenep, Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar