Dalam Bungkaman Rumah
yang Sudah Lama Padam Bulannya
kesah
tentang utang begitu kental di telinga kirinya
sementara
ia hanyalah kekasih gelap rumah
ditawan
kursi dan meja
dipaksa
menyelami sepi puisi tanpa
menoleh
ataupun melirik kepada angan
yang
lebih menyiksa
bahkan
nyaris membunuh
namun
tetap tidak ingin ia biarkan
pangeran katonnya
diombak-ombakkan takdir
yang
melulu anyir
sesegera
mungkin ia mau menancapkan
bendera
hitam di ubun-ubun mereka
lantas
meneriakkan semerbak kemerdekaan
di
dahan-dahan usia
tapi
tak kuasa melawan apalagi
menghanguskan
kejam duri-duri bumi
tiada
jurus tiada senjata
kecuali
puisi-puisi itu sendiri
bersamanya
tak lain bernakal-nakal dalam
lautan
mendung khayalan
bermanja-manja
di gelombang awang kebanggaan
mirisnya
acap patah meraup kepuasan
sehingga
selalu dihantui kata-kata bersimbah
darah
mendidih bernanah perih
seperti
saat ini
Sumenep 2016
Sepanjang Siksa
Perjalanan Saat Pulang dari Keterpaksaan
berkilo-kilo
kelunglaian antara jakarta-madura
arus
peluh menyusun rencana keji dalam
kebaikan
jaket
jika
ac diberi kebebasan
tentu
badan makin merembah fitnya
siang
keburu sore
sore
keburu malam
bila
malam merapat
entah
angin dari celah mana menyergap
jalan
napas yang mulai malap
padahal
tiap lubang ac telah dijejali puluhan kejenuhan
di
bawahnya 60% penumpang ragib berbagi
warna
kehangatan sepasang-sepasang
barangkali
sama-sama bermimpi dijatuhi bintang
cuma
aku seorang yang gencar
ditampar-tampar
makhluk halus bus
serupa
penderita tifus
yang
sangat menggelisahkan infus
magrib
keburu isya
isya
keburu subuh
duh!
lepuh sungguh sekujur tubuh
lelap
sekejap uak! menoleh samping uak!
kantong
plastik menggantung lepai di jemari
mengandung
muntahan benci akan perantauan
ingin
lekas mengecup ruap
senyuman
kampung halaman
manakala
matahari kian ria menari
wajah
bus menembus yang dinanti-nanti
ke
sudut terminal berobat diri pada wangi sari-sari kopi
aroma
tanah kelahiran menyengat nikmat sanubari
Sumenep 2016
Rasa Rahasia yang
Minta Disajakkan Derita Perkawinanmu
kemiskinan
memang sepadan
dengan
kawanan semut im
mudah
ditindih kuku atau diinjak-injak tumit
demikianlah
kepalamu di bawah kakinya
membuat
dadaku sesak oleh batu-batu
kecewa
sekeras cemburu
kecewa
atas terang-remang nur nuraninya
terhadap
kepatuhanmu
patuh
padanya lebih-lebih ayahmu
yang
sama-sama rabun ditimbun debu permata
cemburu
lantaran berkarung-karung kesetiaanmu
dipanggul
batang keangkuhan
bukan
aku sok perhatian im
ini
bukti hakikat persaudaraan semata
saudara
yang terpisah dari ruah pijar kalbu
yang
kerap kudoakan agar
pulang
meniduri rumah dahulu
yang
kamarnya terpajang menawan
pigura-pigura
kedamaian
tertata
indah bunga-bunga percandaan
masih
semoga demi semoga
kaulah
keabadian asmaralokaku
Sumenep 2016
Membaca Nasib Dedek
Sultan dengan Seribu Deru Keharuan
tiada
pohon rela buahnya gerhana sayang
tapi
siapa sanggup menepis kehendak maha bijak
sampai
kini dua tahun lebih engkau belum
mampu
berdiri menyusuri
masing
arah halaman kebahagiaan
belum
mampu menutup nganga luka mereka
yang
hari ke bilur menyembur nanah kecemasan
meramal-ramal
lembar masa depan
penuh
kabut tebal membindam
ataukah
masih tersimpan rekah purnama
di
balik selaput awan yang menitah
untuk
dahulu tabah?
ah!
berbulan-bulan sudah
digerayangi
entah dan entah
sembari
mencari-cari sinar keajaiban
ke
beberapa penjuru yang konon mustajab
menurut
nasihat teduh angin
nihil!
tak pun secuil menumbuh hasil
engkau
tetap tergagap dalam mamma-babba
hanya
bisa duduk tertawa di beranda jiwa
menerangi
separuh doa
Sumenep 2016
Tawasul Pagi atas
1000 Hari Kembalinya Tanah ke Tanah
sahabat
muslimin berdatangan
mengabulkan
ruas-ruas harapan yang terukir
di
antara ingatan tikar-pertikar
memilih
kopi atau teh yang terbit terik
dari
kelembutan jiwa dapur
sebagai
pencerah suluk pikir
menuju
lembah khusyuk zikir
seketika
kepulan kemenyan
menyerang
laut leluhur
komat-kamit
lisan kiai menyuruk
menyerupai
uap kembang ghaddhing ke sakral
ruh
kanjeng nabi dan para wali
pun
almarhumah yang hendak ditahlili
semakin
birulah mentari dikepung sekampung
kupu-kupu
yang menetas dari buih bibir kami
goyang
kanan goyang kiri
bak
ibadah dedaunan pada sang sesembahan
70.000
butir tasbih silir-mengalir
dalam
riak kesyahduan
lailaha illallah lailaha illallah
mengapung
di bubung udara
mengguncang
kandungan surga dan neraka
Sumenep 2016
Keresahan Petani
Mengaji Masa-masa yang Bakal Lebih Pekat
kilau
mobil-mobil yang memanah alam suram kami
yang
dulu hanya dapat kami decakkan di sinetron
kini
menjelma mainan buyut kami sendiri
berkeliaran
di tandus lorong perkampungan
mencipta
kemacetan panjang
di
pengap pelabuhan
sapi-sapi
yang kami angkut
untuk
dijual ke pasar harus sabar
menahan
haus kesiangan
tak
heran anak-anak mesin mereka
dininabobokan
i-pad di samping kanannya
oh!
di jamban manakah mayat
jaran
pelepah pisang kesayangan kami dikuburkan?
oh!
wajar saja android menjadi satu-satunya
kitab
mujarab di sukma remaja kekinian
kitab
yang mewahyukan banyak hal
kitab
yang tak henti-henti
dicabuli
apalagi ditinggal
kelak
saat umur internet 50 ke atas
masihkah
jagung dan buncis
bertukar-tukar
pantun di tegal?
masihkah
rumputan mengabdikan
sepenuh
hijaunya pada sapi dan kambing?
masihkah
senandung beburung bangkit
dari
ufuk arit kami ini? oh!
Sumenep 2016
Takdir Tualangku di
Bawah Bau Pantat Pengingkar Nikmat
saban
hari aku
sepanas-panasnya
dipacu
auman
knalpotku mengirim
asap
kegetiran ke dada penunggang lain
cercaan
api cercaan berkobar-kobar
dari
mulut suci mereka
tapi
kuping pendekarku tetap
tak
bosan dijilat-jilat setan pagar
sehingga
tidak mendengar
atau
pura-pura tidak mendengar
aku
terus dipacu mengabaikan
bayangan
maut yang
bergoyang
di kiri-kanan jalan
sebab
ia bukan pengecut yang mesti
mati
di kandang sendiri
tak
mau tenggelam
ditelan
baiknya laut diam
harus
memang harus menyerbu badai
laksana
nelayan yang tak
pernah
menyerah pada ombak sansai
sampai
darah sudah saatnya dimuntahkan
sampai
pengumpat-pengumpat itu
berucap
hamdalah bersamaan
Sumenep 2016
Daviatul
Umam, lahir di Sumenep, 18 September 1996.
Alumni Pondok
Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa ini
merupakan mantan Ketua Umum Sanggar Andalas, sekaligus aktivis beberapa
komunitas teater dan sastra lainnya. Sebagian karyanya dipublikasikan di sejumlah
buku antologi bersama serta media cetak dan online. Sesekali
juga dinobatkan sebagai pemenang atau nominasi di antara sekian lomba cipta
puisi, lokal maupun
nasional. Berdomisili di Poteran Talango
Sumenep, Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar