Foto oleh: Rusydi Firdaus |
Puisi-Puisi R. Timur Budi Raja
Gambar Cinta Empat
Belas Purnama
-gustisa yang nyunggih bulan
sore
tembaga yang pias di barat itu
adalah
sore riak hatimu, sehabis gerimis yang tak mengenal arah angin
mengawini
sekujur tubuh empat belas purnama
: dirimu.
anak-anak
sungai mengalir
membuat
pertikungan penjuru. memecah kesunyian yang beku
dengan
gemericik suara-suara jernih dan cinta. membelah ladang-ladang kemarau,
menyapa
tanah-tanah sengketa dengan rindu yang menyala.
gustisa,
sore
tembaga yang pias di barat itu
adalah
sore riak hatimu, adalah sore riak hatimu!
2003
Koji
koji,
mengapa aku lupa alamatmu? dan nyanyian yang saja terdengar seliris dari
televisi —
nyanyianmu—,
tak sejenak pun mengantarkanku pada ingatan, dimana kita pernah menari di bawah
bulan, di malam menunggu pesta panen sehabis agustus yang cemas itu?
pematang
yang membuka kepergianku dan membujur searah dengan muasal semayup suara
seruling
yang
suka mengalir ke kamar kita itu, tempat matahari dinyalakan tiap fajar tiba
katamu, semakin tak
kukenali
perangainya. oi, pulang. mengapa pulang sekadar menjadi kerinduan yang sia-sia?
dan jalan-jalan ke rumah kita yang pernah kugambar di buku harianku dulu, kini
mengusam-menyisakan kenangan dari raut gerimis yang gemetar.
koji,
mengapa aku lupa alamatmu? dan nyanyian yang saja terdengar seliris dari
televisi —
nyanyianmu—,
tak sejenak pun mengantarkanku pada ingatan, dimana kita pernah menari di bawah
bulan, di malam menunggu pesta panen sehabis agustus yang cemas itu?
Bangkalan, 2003-2006
Tenger*)
kaukah
itu yang berpusar diam, bertiup semayup perihalnya angin,
lantar
berdiri di pelupuk membuka pintu ingatan?
aih,
mengapa ada juga detik-detik yang nakal membangunkanmu
dari
sudut yang jauh, membuatkan ketersiaan waktu di tengah keramaian
gelombang
kerusuhan nasibku?
aih,
mengapa dari lagu ke lagu, parfum ke parfum kau tak goyah
untuk
kesetiaan menghidupkan malam-malam
upaya
pembunuhan diriku?
kenanganku,
bila
airmata yang melahap seluruh risauku telah sempurna habisnya
demi
membalasmu: berjanjilah untuk tak lagi menemuiku,
bila
subuh yang tiba nanti menjemputmu beranjak ke barat
dan
menjadikan namamu mempelai
kepada
permulaan yang lain.
dan
kebisinganku kelak,
menziarahimu
kembali.
2003-2004
*) Sebutan lain untuk
desa Sukomulyo di Gresik, Jawa Timur. Artinya, tanda.
Widji
—selamat jalan!
I
sore
itu, kami menangkap cinta
dari
karto pos yang kau kirim
bergambar
dirimu
siang
itu, kami semua menangis
menerima
karto pos
bergambar
kematianmu
II
sore
itu, namamu kekal dibawa
sore
itu, sehabis jam dua belas siang
yang
serak dan berkeringat,
kami
kehilangan wajahmu
kini,
kami telah sampai
ke
alamat yang kau tuliskan dulu
tapi,
tak kami jumpa dirimu
kami
telah kehilangan wajahmu
widji,
api telah menyala
memenuhi
halaman
kami
kehilangan wajahmu,
kami
kehilangan alamat suaramu
III
kami
tengah membacamu,
saat
petugas kantor pos datang menyampaikan
sebuah
kartu bergambar kematianmu
kami
saling bersitatap
dan
kau tahu, widji
sejak
kabar yang tiba-tiba itu
tenunan
tahun-tahun keheningan
jadi
anyir dipenuhi api
dipenuhi
api.
Bangkalan, 2004
Teresia
pintu
yang terbuka, theresia, adalah jalan masuk ke sorga bagi para pejalan yang
membawa sedih nasibnya. pintu yang terbuka, theresia, adalah palang-palang kayu
sederhana yang memberi ruang buat siapa pun yang datang.
: lalu,
api pun dinyalakan dari tungku perapian abadi.
hanya
palang-palang kayu sederhana yang membelah dirinya demi lalu-lalang udara.
hanya pintu
yang
terbuka, theresia.
Bangkalan, 2003
Biografi Asbak Kayu
asbak
kayu yang kau bikin kemarin
tadi
pagi masih begitu dalam mengendapkan kenangan
ketika
engkau sesahabat akrab sekali bercakap semalam.
tadi
siang asbak itu terbakar juga jadi arang
ketika
engkau sesahabat saling berkokangan senapan
dan
bertikaman setajam mata pedang.
Bangkalan-Surabaya,
2001
Puisi-Puisi Muchlis Zya Aufa
Senja Masih Mengenangmu
senja
masih mengenangmu
putih
cuaca
nyala
debu
lalu
bekas desahmu
mengantar
pilu ke desir-desir perdu
aku
ingin luruh
diucap
angin
pada
kebisuan kemarau
begitu
menggairahkan akar-akar tulang
hingga
tak terasa
apa
pun yang bertangan
mungkin
samaran waktu
tak
tahu memungutku
di
sini
penantiankukah
ini
seringkali
membuatku terdampar dan berdalih kenangan
tertimbun
syair dalam gelora gugup
degup
jantung
atau
sebuah nama telah menindihkan jelma
tiap
derak reranting menabur rupa
lalu
bergema
layaknya
duka di pepucuk kata
mimpi
ya
mimpi
jika
masih bergantung pada matahari
masihkah
meminjam warna tubuhmu
biar
kujawab tusukan ufuk
dengan
kelopak lekukmu
sayat
tipis desis batu
suara
langkah dalam angan
ingatan
seperih bisikan
kelam
dan mengancam:
kapan kau datang
petang di atas siwalan
telah menelan bulan
yogyakarta, 2006
Ikhwal Taman
di
mataku
kau
rentang januari
mimpi
gemerlap
kota
lalu
isyarat lusa
tersumbat
air mata
bibir-bibir
kita
suara
tarikh yang menggeliat
atau
kekakuan histeris
lantaran
sering bersanding kehadiran buta
di
taman
di
antara semak bulan
yang
sering kucaci dengan pahit darahku
mungkin
kita tidak sedang bertemu
tidak
menemukan apa-apa
kecuali
ingin menegaskan
bahwa
kita sama-sama punya januari
kau
rentang ke mataku
lalu
matamu semakin berliku
kita
bertemu
karena
wajah kita masih serupa
penuh
malam
dan
celahnya berjubah matamu
kemudian
aku tak tahu malam
di
luar kata
seperti
ada
yang tersalib
petang
menjerit dari bibirmu
di
sisinya aku mati sebagai nasib
Yogyakarta, 2006
Di Akhir Kalimat Ini
-palestina
setelah
kalimat ini
merintangi
bunyi retakan airmatamu
apa
yang usap di keningku
tangis
cahaya di gurun gerimis
mungkin
juga kaku waktu
telah
mencuci bekas darahnya di sungai tulang
di
bawah tiang
seorang
bocah
pada
genggaman gigil hampir patah
butir
peluru selalu menghidangkan kehilangan tahun lalu
setelah
kalimat ini tiba di tangismu
aku
memekat ke hamburan burung-burung
meluncur
dari hangus matahari
mengguratkan
pucat cuaca
ke
anyir gemetar kata
butir
peluru
mungkin
tak punya rindu
Yogyakarta, 2006
Muchlis Zya Aufa lahir di
Sumenep, 04 April 1983. Saat ini masih kuliah di Jurusan Aqidah Filsafat
Fakultas Usuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain menulis puisi, juga
menulis cerpen, esai dan opini. Tulisannya tersebar di berbagai media
massa baik lokal maupun nasional.
Puisi-Puisi Moh. Hamzah Asra
Di Tikungan Ini
jalan-jalan
bercabang menunggumu. kedip mata angin
di
jendela purba, mengajakmu mengunyah batang matahari
lembar-lembar
luka yang menempel di dinding sajakmu,
usaplah
dengan sapu tangan gerimis
kata-kata tak lagi rahasia
sejarah pun semakin asmara
di
tikungan ini, tanganmu meraih nasib
kau
mengunyahnya berbaja-baja. hari semakin belantara
aku
terperangkap di ujung senja. sayup-sayup kerinduan
berkelindan.
matamu menjelma buaya
mengintaiku
di batas waktu yang paling perkasa
seumpama
romeo-juliet, aku napas di dadamu
berdetak badai
malam-malam
tembaga. malam-malam cuka
matamu
nanar menunggu cahaya
garis
kesunyian tersungging di ranting pepaya.
aku
menimang-nimang teka-teki masa depan.
di
luar, risau suara hantu
memecah
gendang cakrawala
mengajakku
menafsir ulang geletar cinta.
Maret, 2006
Sketsa Kalender
kalender
ini begitu ramah mengusap
letih
wajah ibu: sunyi kasih sayang
bertahun-tahun
meredam teror
aku
memahaminya samudera
tempat
mencuci luka
dengan
jemari gerimis, kubuka lembaran
kalender
ini. tak ada riak. sebab hari-hari
tak
lagi bunyi, melainkan lembut melati
tumbuh
mengakar di urat nadi
badai
berkecamuk di dinding rumah. angka-angka kalender
pecah
berhamburan. satu persatu kupungut. aku terjebak
di
deretan angka-angka merah. aku tak bisa pulang
senyum ibu meneteskan
salju
April, 2006
Sajak Akar
yang
tersisa hanya sebuah akar
serupa
jalan-jalan menikung di keluasan tubuhmu
satu
mengalir ke arah jantungmu, lainnya melingkar di otakmu
tajam
matahari tak habis membakar kesabaranmu
mengunyah
bebatuan dan tanah berapi
ketika
hujan menyentuh tubuh bumi
akarlah
yang terlebih dahulu mengekalkannya
lantas
memintalnya jadi udara
mendesir
menelisik pintu-pintu tanah
beribu
benih yang kautanam di ladang ini
tumbuh
menguncup jadi bintang-gemintang
April, 2006
Sebuah Catatan Tentang
Senja
senjalah
yang mengalirkan sungai kecil
di
dadamu. sebuah perahu putih kautambatkan
di
muara. inilah kendaraan terakhir buat kita hijrah
menjelajahi
urat angin yang beranak-pinak
di
keluasan kening para nelayan
anak-anak
kecil tanpa beban
menyaksikan
wajahnya ditikam ikan
pelangi
masih setia mengisahkan betapa getir
burung-burung
camar memintal-mintal ombak
dan
mematuk-matuk paruh ikan. luka berdarah-darah
seperti
ketika khidir menenggelamkan gugus mimpi anak-anak
aku
pun bergegas menyelami lautan: mutiara ini masih saja cahaya
pada
senja yang terakhir, garis-garis takdir
begitu
jelas terurai di bilangan abad-abad zikir
kita
gagal mengunyahnya dengan geletar badai
doalah
mata hati, tajam membelah dada matahari
dalam
gugur bunga zaitun
April, 2006
Di Batas Sunyi
rumah-rumah
tinggal bisik. suaramu parau.
abad-abad
terus mencengkeram
leher-leher
doa. ketika sebuah busur panah dilesatkan
dadamu
terbelah, burung-burung berhamburan
dari
rimba rambutmu, lantas melintas
menyusun
sarang baru di rimbun ranting dhuha
di
batas sunyi, getar kecemasan jantungmu
semakin
mengental. serupa tangkai waktu
yang
rapuh, batu-batu sejarah mulai bergeser
ke
ruang yang lebih terbuka. aku masih setia
memahat
wajah purnama. pada bilangan zikir kemarau
kuurai
daun tembakau menadah embun
bianglala.
ladang-ladang tahajjud adalah rahimmu,
kelak
janin kesadaran matahari mekar
menemukan
ventilasi nafasnya
kau
usap debu-debu yang beranak-pinak
membentuk
gumpalan kekhawatiran laron-laron
serupa
jalan-jalan menukik tajam. bercabang-cabang
jari-jemarimu
lelah menghitung
kegamangan
gemintang menyingkap awan
seperti
kita sering lupa bahwa pada sepoi
kumandang
azan, nafas kesabaran
rerumputan
menegar
Mei 2006
Sajak Bunga Kemboja
setiap
kupetik bunga kemboja
kumbang
di putik rintik gerimis
mencairkan
batang matahari
di
dada perawan larva kegelisahan menjelma
peta
luka kemarau, hari-hari yang berbatu
di
pekarangan hatimu yang basah
bunga
kemboja tumbuh dewasa
kelak
kupu-kupu menetek madu di putingnya
di
laut, seekor camar menggaris pelangi
sel-sel
angin lindap di jantungmu
bunga
kemboja ini tetaplah ibu
tegar
kelasi di tengah rimbun badai
sementara
tanah ini kini berdarah
ketika
kematian tak lagi baja
April, 2006
Surat-surat Tak Terbaca
angin
masih belia, surat-suratmu
tak
sempat kubaca dalam perih keringat
perihal
lagu kemarau meninabobokan napas rerumputan
yang
tumbuh liar sepanjang jidatmu
matamu
semakin purba
ketika
rerumputan itu berubah duri waktu
sesekali
melukai kulitmu yang beludru
udara
tropis meranggas di pucuk-pucuk tembakau
rumah-rumah
kehelingan senyum. wajahmu semakin lengang
seperti
duka anak tetangga yang ditinggal ibunya
tiba-tiba
aku teringat sepenggal ceritamu
tentang
seirang pengemis tau yang selalu
menggedor-gedor
pintu kemarau usiaku
surat-suratmu
masih tersimpan rapi
di
almari hatiku. mataku terlalu asing menyiangi
debu
jalanan yang seringkali menikam jantung matahari
hingga
tembaga. seperti hari-hari kemarin, kulipat
pesan
ramah reranting cemara menyapa angin
dalam
napas panjang doa-doa sembahyang
kelak
akan kulukis ranum senyummu
mewarnai
perjalanan sejarah angin yang gemetar
berapa
mil lagi harus kucicipi manis elektron pelangi?
abad-abad
terus berlari dalam alpa tawamu
di
beranda ini kita perlu berhenti sejenak
mengunyah
hari-hari yang berbatu
lantas
menanam benih cinta bumi pada matahari
biarkan
surat-suratmu memfosil
menjadi
jejak musim dalam beranda sunyi
sajak-sajakku
April, 2006
Moh. Hamzah Arsa lahir di
Sumenep, 15 Maret 1979. Alumnus TMI Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Madura.
Mengabdikan diri di almamaternya sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia
sampai tahun 2005. Aktif sebagai pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA),
koordinator Sanggar Sastra Remaja Indonesia (SSRI) Madura, Dewan Redaksi Majalah
Santri Qalam
dan pemimpin umum buletin Sastera. Puisi-puisinya dipublikasikan di berbagai
media massa, a.l. Horison, Surabaya Post, Kuntum, dan Arrisalah. Puisi-puisinya
juga termuat dalam beberapa antoligi, yaitu 209 Bergerak (1997), Airmata
Rindu (1999), dan Cahaya Kata (2003).
Kini merantau ke Jakarta sebagai freelance sambil mempersiapkan rencana studi S2-nya.
Puisi-Puisi Bernando J. Sujibto
Ke Madura Pulang
Sebentar
karena
kenangn
musti diamini...
Di
Madura, aspal makin hitam saja
dan
jalan-jalan lebih terjal. Lantak-lantak
siapa
yang telah memerah habis manis sari mayangmu?
lautan diam
mataku karam
tiba-tiba
aceh dan yudikimo
bergantian
melambaikan tangan
memahat
bebukit ranggas di mataku
Madura-Jogja, 2006
Jum’at, Jam 05.00
putik
embun memutih
:kh.
waqid khazien
napas
ini dalam lingkaran
semesta
barat dan timur
adalah
jalan lurus ke asal mula
dalam
satu kereta, orang-orang berbeda jurusan
—menunggu waktu yang
sepi
yang
tersisa di mata mereka
adalah
masa silamnya yang karam
musim
tak mengeja matahari
matahari
tak selesai mengeja lautan
dan
lautan
kerontang
di
sana
bulan
tak terbayang
gugur
setangkai-setangkai
Nirmala, 16 Januari
2004
Kisah, 5
bibirmu
melengkung seperti langit
dan
aku bertekuk pada gincau bianglalamu
ketika
kau mengecupku—
sungai-sungai di dadaku ranggas
Suatu Malam Ketika Aku
Meneleponmu
—Dina-Dwi
suaramu
adalah bukit yang gersang
batu-batu
mengeram di dadamu
dan
badai tumpah begitu saja dari mulutmu
cukup
hitam kenangan mekar di perutmu
setelah
hengkang dari kamar sekarat itu
engkau
menggenggam setiap sumpah yang tumpah dari mulutku
lalu
menaburkannya ke tengah semesta
dan
kau berteriak:
“ber, biar semua tahu
bahwa janji itu luka!”
suatu
malam
ketika
aku meneleponmu
tak
ada lagi suara yang musti kucatat
selain
batu-batu mengeram di dadamu
Jogja, 2006
Bernando J. Sujibto, lahir di
Tanggulun, Montorna (pelosok paling barat) kota Sumenep, Madura, 24 Februari
1986. Masa remajanya dihabiskan di Pondok Pesantren Annuquyah bersama guru-guru
sastra yang telah menyuruhnya meneruskan kembaranya hingga ke Yogyakarta hari
ini. Menulis resensi, cerpen, esai dan puisi di sejumlah media lokal ataupun
nasional, termasuk majalah Horison. Puisinya
juga dimuat di Risalah Dua Jari (2002). Kumpulan
puisi tunggalnya, Ritus Sabda (2005).
Puisi-Puisi M. Faizi
Rusuk Langit Lancaran
Juli
menyeka keningnya
keringat
musim yang ditinggal dingin
berbulir,
seperti bintang kemukus
memerciki
ladang-ladang tembakau
lalu,
langit hilang warna dasarnya
Rusuk
langit Lancaran, sebelah kanan
patah
oleh hempasan musim
kemarau,
kemarau
engkau
membara di dalam pikiran
tetapi
seperti pandai besi menempa nasibnya
di
situlah percik api hidup kami dinyalakan
Rusuk-rusuk
langit berpentalan
berserakan
di lahan tandus
di
mana air dan nyawa
nyaris
berimbang dalam selisih harga
lalu,
burung-burung gagak itu
datang
mengumumkan kecemasan
melayang-layang
dari semua penjuru angin
membekukan
ketakutan kami untuk ingin
mereka
merabunkan mata
agar
kuat mengisap udara
Rusuk
langit bulan Juli, Lancaran
kubacakan
untuknya mantra-mantra
agar
para peneluh dari masa silam
beduyun-duyun
mengembalikan sejarah
yang
hilang dari cuaca
Lihatlah,
ke langit yang lampang
ada
luka besar, berlubang
kini,
kita bebas melihat
bagaimana
langit menghirup
udara
bumi kami yang mulai berkarat
menggumpal,
lalu jadilah hujan keringat
untuk
memandikan jenazah para petani:
pahlawan
yang dikubur di luar ingatan
11-07-2006
Sejengkal Lagi
Menyentuh Langit
Jentik
petir
jemari
langit
yang
menggigil
saat
menghunjam titik nadir
menggetarkan
keberadaanku
sabagai
manusia yang selalu berpikir
melalui
napas dan dingin
Sepanjang
musim, sepanjang hidup
langit-bumi
bertukar kabar
tentang
keinginan-keinginan manusia
Dari
bumi,
kujentikkan
jemari ke langit
mencari
napas nenek moyang
yang
pergi untuk melupakan batas-ruang
Dari
langit,
petir
masuk ke sebalik bumi
menjentik
syahwat di tanah maksiat
yang
menjadi kerak di dalam otak
Malam,
sejengkal lagi pagi
hidup,
sejengkal lagi mati
dan,
hup, bismillah kubaca
aku
melambung, pulang ke rumahku
bersama
petir kembali ke angkasa
sampai
sejengkal lagi menyentuh langit
biar
dapat kulihat dunia
lebih
kecil dari yang semestinya
22-06-2006
Di Bumi Tak Ada Lagi
Rahasia
Bumi
rumah
sekalian kami
adalah
bayangan
yang
batasnya akan raib
saat
sumber cahaya dipadamkan
Dan,
rahasia-rahasia tak ada lagi di sini
yang
bergerak dalam pikiran
yang
berdetak dalam hati
saling
dicuri dan diperjualbelikan
Rahasia-rahasia
menyingkir
dari
muka bumi ini
yang
sakral dan profan
yang
maya dan nyata
semakin
tipis batas nilainya
Di
sini tak ada lagi rahasia
hanya
di langit, rahasia Tuhan tetap terkunci
sedangkan
di bumi,
berharap
sembunyi pada puisi
21-07-2006
Baghdad
Malam
buta di ibu kota
tiba-tiba,
semburat cahaya di langit berserakan
bukan
kembang api tanda suka cita
tapi
sebuah letusan
yang
membuat penonton bergelimpangan
Oh,
Baghdad
setelah
bertahun-tahun kerendam tubuh
di
sungai Tigris dan Ifrat-mu
kudengar
adzan tengah malam
mungkin
dari masjid Mirjan
juga
tangisan yang merana
mungkin
dari padang Karbala
setelah
itu, disusul suara nyanyian
mungkin
Harun ar-Rasyid berdendang
Letusan,
adzan, tangisan, dan nyanyian
aku
telusuri, di atas ruas jalan tak bertepi
dan
mungkin juga tak berujung
sepanjang
siang yang membakar
dari
Basrah ke Kufah
namun
manakala malam turun
aku
rehat sambil membaca puisi Abu Nawas
serta
mengenang masa kejayaan Abbasiyah:
Al-Mansur
yang membangun istana
hingga
Hulagu Khan yang merobohkannya
Malam
begitu panjang
malam
yang tak pernah selesai
seribu
satu malam perjalanan
Aku
memanggilmu, Baghdad
tapi
malam-malammu membutakanku
tersesat,
lalu kembali memasuki gerbangmu
dengan
tubuh cabik tanpa senjata
rakyat
menyambut dengan air mata
diiringi
‘aud dan rebana
ber-mawal tentang kota dan anak-anak yang
mati
juga
para ilmuwan yang kini tiada lagi
Baghdad,
kini aku berada di hadapanmu
memasuki
kota dengan mata buta
adzan
berkumandang, entah dari mana
diiringi
tangisan orang-orang
sambil
tak henti-hentinya bertanya:
“Mengapa
kota yang turut membesarkan dunia
justru
dianiaya oleh anak
yang
telah menyusuinya?”
07-09-2004
Permaisuri Malamku
Kerlip
mata malammu
jumpalitan
jatuh ke cahaya mukaku
Kita
memang tidak saling bersama
sebab
ruang tempat aku duduk
di
balik meja melihat cahaya cakrawala
begitu
jauh pada batas dimensimu
Di
sini, aku telentang sendiri
menatapmu,
pendar-pendar kristal bertaburan
yang
indah karena berserakan
kelipnya,
jumpalitan bintang-bintang di sana
aku
menakar batas akhir kemampuanku
menjangkau
sumber cahaya
Malam
membangunkanku
pada
kehendak membuat perhitungan
antara
gelap dan kebekuan
atau
siang dan kecemasan
lalu
kutulis sebuah surat untukmu:
malam
adalah matahari terbenam
meski
tak sungguh terbenam
Maka,
kedip matamu
ribuan
bintang, jumpalitan dalam sekejap
dan
aku segera menghitung nasib
memang
benar, kita tidak bisa bersama
bagiku
ruang, bagimu waktu
Kujulurkan
jemari
menangkap
dengan tangkup
berdebar
dalam takut
hujan
bintang-bintang
ke
halaman luas mimpiku
menghamburkanmu
ke serambi tidurku
aku
menghitung-hitung saat
berbagi
dua dengan waktu
menjadi
satu dengan malammu
dalam
ingatan yang tak lengkap
saat
cahaya bermakna bagi gelap
dan
kubiarkan sepi melukaiku:
butuh
perih untuk menghargai nikmat
Permaisuri
malamku
selalu
datang dengan tanpa kehadiran
dalam
rentang yang tak terjangkau pandang
karena
jarak yang menghubungkan aku denganmu
semata
patahan-patahan garis
yang
tak henti-hentinya digabungkan
dalam
sebuah pengadaian
27-06-2006
M. Faizi, lahir di Guluk-Guluk,
Sumenep, 27 Juli 1975. Dibesarkan dan kini tinggal dilingkungan Pondok
Pesantren Annquyah, Guluk-Guluk. Karya-karyanya, terutama puisi dan terjemahan,
telah dipublikasikan di berbagai media lokal maupun nasional, juga di negeri
jiran. Di samping terkumpul dalam antologi bersama, seperti Antologi Puisi
Indonesia 1997, Jakarta dalam Puisi Mutakhir, Filantropi, dll. Puisi-puisinya juga diterbitkan dalam sebuah
buku kumpulan puisi tunggal, 18+ (Diva Prees 2003), dan Rumah Bersama (Diva Prees). Karya
lainnya yang telah terbit adalah prosa lirik, Sareyang (Pustaka Jaya,
2005).
Puisi-Puisi Hamidin
Semusim
benarkah
musim ini ditakdirkan
untuk
menyemai pada saja?
kembang
jagung dan parfum bumi
ringkih
daun pisang dan rengekan ilalang
serta
angin kencang adalah sepenggal
musimmu
yang menjejak di bait-bait tasbihku
jika
bulan berpijar api, tanah mengering
meninggalkan
sunyi, senyap menyayat tradisi
kesepian
akan kau huni sendiri, tanpa sebutir melati
ketika
sepi melabuhkan sunyi melempar sauh kesenyapan
dari
dermaga ini kau akan bergumam:
di
mana bulanku?
yang
dirajam dengan air sorga, ditempa dengan batu pertama
dan
yang direndam di pusara air mata
aku
ingin kilatannya menghantam dinding pelaminanku
biar
luluh keperawananku, dicabik-cabik harimau itu.
28 Januari 2005
Untuk Apa Kau Datang ke
Sini
Kulit
bumi mengelupas
larut
dalam keheningan air matamu
Embun
berbondong-bondong mengiris
kesunyian
cagak langit
Aku
menyusup di keremangan
kabut
itu mencari trotoar
di
ladang-ladang rindu
api
memuntahkan kata-kata
tiap
hurufnya adalah cuaca
dan
serbuk musim menjelma
putik-putik
nasib di kantong-kantong senja
“untuk
apa kau datang ke sini,”
katamu
Malang, 2003
Email dari Kekasihku 2
di
pinggir musim
gerimismu
:
Gigil aku dalam badaimu
Malang, 23 Februari
2004
Penggalan Musim
Katakan pada Sainul
Hernawan
penggalan
musim tersungkur
di
garis depan akhir pijakan
kedinginan
meronta-ronta
dalam
dekapan dan selimut malam
kerinduan
pun membatu, menjadi gumpalan salju menjadi kerikil waktu
dan
kita akan memungutnya kembali dari halaman
ketika
kesunyian rebah menjadi jalan kecil untuk pulang
penggalan
musim terkapar
di
garis depan akhir pijakan
jika
kemarau lupa akan musimnya
bulan
temaram, matahari semakin berpijar
ombak
hilang gelora, sungai mengungsikan batu-batunya
dan
kita akan membiarkan ilalang-ilalang
tumbuh
menjadi kerinduan kita yang liar
pada
penggalan musim ini,
kapan
angin yang kita teguk
menjadi
bait-bait puisi dalam diskusi kita
di
pagi hari?
Malang, 28 Januari 2005
Hamidin, lahir di Sumenep,
1979. Alumnus FKIP Bahasa Inggris Unisma ini belajar menulis sejak 1996,
mula-mula menulis di majalah Santri, Surabaya Post, MPA, tabloid Asah-Asih-Asuh, majalah Syir’ah, dan harian Duta Masyarakat.
Pemenang harapan 2 lomba menulis puisi tingkat SLTP-SLTA se-Madura dalam rangka
memperingati hari lingkungan hidup di Bangkalan, 21 Juni 1998. Pemenang 3 lomba
menulis puisi tingkat mahasiswa se-Malang yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negri Malang (Oktober 2003), pernah
nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep. Sekarang aktif di
Sanggar Imajinasi, Universitas Negeri Malang.
Puisi-Puisi Mahwi Air Tawar
Sajak buat Eppak Embuk
keluh
letih kukafankan
pada
kedalaman ceruk
beriring
gelombang
kuberangkatkan
sampan
meski
jantung gigil, tapi biduk terus kukayuh
hingga
dataran sesamar damar di antara balik gubuk
aku
lempas jala, kuselami ombak hingga ceruk
kubiarkan
layar tak tanggal dikawin angin
mengantarku
menuju pulau pengembaraan
yang
terus mengerang rindu:
rindu
pesisir putih, membenihkan bunga laut,
lokan-lokan,
serta air tawar penawar terapi
bagi
jiwaku yang terlalu letih menyeberangi
laut
lepas. tak sanggup menghempas anak-anak ombak ke tepi.
O, Eppak, Embuk
bagaimana
aku mesti menerjemahkan isyarat laut?
sedang
sampan terus terhempas
pada
kedalaman ceruk. gelombang yang terus memanjangkan
kecemasan
angin saat layar mengembang?
2006
Di Tepi Jurang Lengang
Batuputih
Mafhtuhah Jakfar
seperti
penggali batu, kamu-aku tak habis-habis menggali
meski
akar-akar kikis tertebang, batu-batu menggelinding
selalu,
kamu-aku menggali jagad ingatan di perbukitan lengang
di
tepi jurang. entah, bagaimana kamu-aku mesti melubangi
sesenti
bumi? Sedang erang kesakitan letih ranting-ranting, luruh tergadai
dan
sisa batang buat anak cucu tinggal seujung kuku
di
tepi jurang lengang
bebatuan
biarlah meruncing
ruas
jalan menuju bukit
tak
sesempit gang untuk kamu-aku masuki.
bunga-bunga
mestilah bersemi
biarlah
semesta bangkit dengan segala gemuruh alami
bukan
cerobong mengepulkan asap hingga jalanan terkatup kabut
mengawali
kicau burung diujung ilalang
2006
Selepas Hujan
dan
langit yang melengkung
membentang
busur panjang warna-warni
itukah
pelangi? bisikmu
gerimis
meleleh memanjang di sebalik dinding
dan
kemudian rebah; berkecipak di lantai basah
kenapa
tidak pada tanah? tanyamu
sebab
tanah tak pernah letih
juga
bumi, biarlah menggembur
seperti
juga daun yang tak pernah gugur
pada
tangkai, daun berbisik tentang gemerisik:
bila
akar terbang. adakah angin dijelang?
hujan
tak kenal ranting
bumi,
juga matahari.
tak
pernah khianati janji
Yogja, 2006
Bila Aku Mengenang
:Dewi
mencumbui
angin: melalui helai rambutmu
aku
terkenang ranting-ranting pohon
yang
patah di halaman rumah dan perkampungan.
Maka,
izinkan aku membakar dupa, memantrai semesta
Agar
jagat menguat pada titik awal permulaan
Menyaksikan
kupu-kupu dari balik jendela
Aku
terkenang masa kanak yang hilang
sebelum
senja menanggalkan segaris cahaya
Di
ruas jalan kampung tempat kamu-aku bermain
Membuka
buku harian, aku terkesima
pada
warna pena yang pernah kau tumpahkan
di
malam kelam
kamu-aku
saling bertutur, mengenang
kampung
halaman yang tenggelam sementara, usia kita semakin menua.
Jogja, 2006
Catatan Malam
seusai
gerimis membasahi alas tidurku juga tidurmu
di
tanah pasir, di halaman panjang; kamu-aku mengarak waktu
menapaki
jalanan setapak menuju pusara
berbau
kembang kecubung. bergoyang dan beserak diselembar almanak
lalu
kamu-aku menandainya saat langit terkatup kabut.
tapi
masih seja, seusai gerimis, selepas jam dua belas malam
ketika
sulur cahaya fajar mekar, kamu-aku lupa busur biosfer,
tanah-tanah
basah melembab, halaman berpasir memanjangkan
kisah-kisah
keluh letih. tak berkusudahan. memahat
kerut
merut wajah kamu-aku yang terjebak oleh mantra akrobat
lihatlah,
bulan dan bintang menggantung di antara alis mataku juga matamu,
bias
menelusup ke sel darah mendetakkan jantung
sabit
bulan meremangi halaman berpasir tempat kamu-aku berbaring
berbagi
cerita tentang gerimis, dan matahari yang mulai kusut ke barat
dari
balik awan yang mencipta cuaca yang kelabu
menjadikan
gerimis alpa diselembar almanak yang masih berserak;
di
manakah kita berada; mengawali waktu yang keramat
29-03-2006
Mahwi Air Tawar, lahir
di pesisir Sumenep, Madura, 28 Oktober 1983. Beberapa karyanya, cerpen dan
puisi, dibuplikasikan di Kompas, Horison, Suara Pembaruan, Republika, Kedaulatan
Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Bernas, Wawasan, Mimbar, Tren, Info, Perlementaria,
dll. Puisinya juga dimuat dalam antologi
Derai Merah Putih (2003), Mata Saksi (2002), Atjeh Sebuah Kesaksian Penyair (Galang Prees, 2004), Tiga Penyair Timur
(2006), Sepasang Bakicot Muda (kumpulan
cerpen, 2006). Bergiat di komunitas Lingkar Sastra Lepas. Ketua Divisi Sastra
Sanggar Suto Yogyakarta. Penggerak Rumah Baca Puitika. Tinggal di Yogyakarta.
Puisi-Puisi M. Fauzi
Perempuan dalam Loteng
perempuan
dalam loteng itu adalah si Mirna, tepatnya bernama marnindah binti syafiuddin
halte
itu mengantarnya pergi ke jalan meranggi yang merapat dan melipat wajahnya. 6
pagi.
ia
ke kota
“seakan
lama keluarganya membuat sungai dari air matanya dan ladang yang tak bersungai”
-kisah
1:
Marni
: aku ingin bertamu ke rumahmu Tuan dengan sejumlah
risau penuh igauan panjang dan
lapang!
Tuan : masuklah, pagar besi itu akan membuat
kereta
malammu penuh mimpi tentang
arsitektur sungai
yang dalam dan asing!
Marni
: Tuan, bisakah aku bermimpi tentang siang. pengeran!
Tuan
: masuklah, di sini kau harus setia
tanpa banyak bertanya!
-kisah
2:
“rumah
beton itu makin dalam, sesiang kaki tuannya yang kejam, membuat tubuhnya
mengeras
dalam
kulkas dan pagar-pagar tak beralas”
pagi-pagi
sekali 100 hektar tubuh tuannya lindap memenjarakan tubuhnya yang tinggal
seperempat
badannya.
kering kerontang keringat bertabur lebam
siang dan malam, sesak penuh
bebatuan
kelam
tertanggal berjam-jam, lusuh tubuh penuh peluh berdam-dam,
seribu
jarum di matanya,
ranjang
yang memaksa lenguh tuannya
(aturan
kedua menenggelamkan rindunya pada sepotong jalan)
-kisah
:
Marni : perempuan dalam loteng itu
adalah aku, kamu
yang sekadar menerjemahkan luka panjang,
perjalanan
tak siang,
tak malam
lantaran tuan-tuan telah mengubur dan
memaksanya menyusun rumah batu dalam
tubuhnya
halte
itu telah membawanya tubuhnya ke kota
luka-luka
tajam, menuai lebam
Sumenep, 25 Desember
2005
Perempuan yang Membawa
12 Kartu Pos di Matanya
adalah
perempuan yang membawa 12 kartu pos di matanya
biografi
itu,
:rencana huruf-huruf
yang tumbuh subur dengan parfum
seperti
televonela yang gemetar menyusun kalimat-kalimat rindu,
konspirasi
cinta, gelak-tawa,
orang-orang
membakar rumahnya sendiri, lantaran hasrat
tumpah
tanpa kalimat syahadat
(dilarang
buang sampah sembarangan)
adalah
perempuan yang membawa 12 kartu pos di matanya
biografi
itu,
:vas bunga yang tumbuh
segar di lidahmu
menuntun
para lelaki mendengar sepasang percakapan hujan yang tumbuh liar dalam bar,
meja
yang mengabulkan niat rinduku tuk berjumpa denganmu,
sejenak,
tik tok jam keluar jendela kamar
aih....
istriku
mati, bunuh diri di depan televisi
Sumenep, 23-03-2006
Wasiat Qabil dan Habil
jejak
itu yang mengabarkan berita tentang luka
dan
surat 24 karat
wasiat
adam-hawa eksodus ke ladang-ladang tandus,
hingga
qabil dan habil
:sejarah
pertikaian sedarah yang menderitkan pintu persibakuan
Burung
merak senantiasa menjelma manusia
setia
kepadamu
dalam
jejak itu, aku mengenangmu dengan sejumlah
kenangan
yang meremang,
dekat
perapian dan jendela kamar yang tak usai menyusun gairah
panjang
lalu telanjang
jejak
itu yang mengabarkan berita tentang luka
sejak
berabad silam
Sumenep, 27-02-2006
Mengenang Vas Bunga
:Anna
reportoar
ini,
ngilu
lelaki
setengah remaja menyusun rumah dari mantra,
kata
dan pot bunga
kau
anggap ia dewa, meski tubuhmu berbadan dua
“siapa
yang salah dan siapa yang benar?”
ucapnya!
vas
bunga pun terkenang!
(wanita
yang alpa dengan sejumlah luka ditubuhnya.
kalau
kau berjumpa dengannya, tolong katakan!
ada
yang ingin meminangnya,
sehabis
narasi hujan diucapkan)
reportoar
ini masih saja ngilu
lelaki
yang kerap menajamkan pisau di hutan belantara,
merajam-kejam,
hingga rimbun belukar
membakar
:Anna
kini,
peluh yang berpuluh-puluh telah menyempurnakan luka di tubuhmu,
sesak dan penuh isak
hingga
tangis bandang
Sumenep, 10-02-2006
Non, Kupenggal Kau
nOn,
kupanggil kau,
huruf-huruf
yang mengalir sungai jauh
ke
dasar
lanskap
gelap menemu tuhan
ya,
jalan berputar itu, kini meruang melarikan diri_
menguburku
diantara nOn, lanskap, dan kenangan
nOn,
kusebut kau,
seperti
hujan membuat samudera tanpa doa
dan
isa di bukit tursina itu berucap mantra_
cinta
yang semestinya menguburku diantara
nOn,
lanskap,
dan kenangan
nOn,
kuziarahi kau,
semenjak
bumi dilahirkan, semenjak luka adam bersemayam di tubuh hawa,
keperkampungan
tubuh manusia, yang seharusnya
menguburku
diantara nOn,
lanskap,
cinta, dan kenangan
nOn,
bukanlah alif atau ba’, yang dijadikan pasak
tapi,
nOn,
kupenggal kau,
melebur-kabur
jasadku
diantara nOn, lanskap, cinta, kenangan, dan tuhan
nOn:
huruf-huruf dzikir ke hilir mengalir bersama khidir
Sumenep, 16-03-2006
M. Fauzi, lahir di
Sumenep, 04 Juli 1979. Karya-karyanya dimuat di beberapa media massa, antara
lain: Radar
Madura, Jawa Pos, Horison. Juara 1 Lomba
Cipta Puisi Se-Kabupaten Sumenep (2004). Aktif membangun jaringan sastra di
seluruh Indonesia melalui Poros Sastra Timur dan Masyarakat Sastra Sumekar (MSS).
Alumnus STKIP PGRI Sumenep ini kini juga giat mengelola Sanggar Lentera. Tinggal
di Sumenep Madura.
Puisi-Puisi Juwairiyah Mawardi
Kutuklah Aku Jadi Abu
kutuklah
aku jadi abu!
lantas
buanglah aku ke laut
berbaur
bersama gelombang
meski
laut punya tepi
dan
waktu akan membawaku ke sana
kau
tak akan mengenaliku lagi
mungkin
saja
aku
diantara pasir-pasir, batu-batu
keterasingan
yang terdampar di situ
kutuk
sajalah aku jadi abu!
serahkan
aku pada angin
yang
akan menghempaskanku ke laut...
Malang, Mei 2005
Aku adalah Bagian dari
Perih Pedihmu
aku
adalah bagian dari debu itu
di
perih matamu
kerjapkan,
hingga aku tiba di kemusnahanku
aku
adalah bagian dari sembilu itu
di
pedih jantungmu
lepaskan,
hingga aku tiba di ketakberdayaanku
kau
sanggup memusnahkan aku
sebab
kau menguasaiku angin
tetapi,
hampir usai waktumu
kau
terus bertahan
dalam
perih pedihmu...
Malang, Mei 2005
Juwairiyah Mawardi, lahir di
Sumenep, 25 Juni 1977. Alumnus pesantren An-Najah I Karduluk, Sumenep. Melanjutkan
pendidikan di Universitas Islam Negri (UIN) Malang, Jurusan Tarbiyah. Menulis puisi,
sebagian terkumpul dalam antologi penyair perempuan Surat Putih 2 (2002), Surat Putih 3 (2005), dan antologi penyair se-Madura
Nuansa Diam (1995). Saat ini aktif di
Solidaritas Buruh Migran Indonesia (SBMI) Region Madura, sebuah LSM Buruh
Migran.
Puisi-Puisi Sofyan RH. Zaid
Bulan Batang-Batang
Biarkan
malaikat kecil itu, perempuan
terus
melipat peristiwa dari puing reruntuhan waktu
ketika
sepatah lata dari wasiat cinta yang kita puja
tiba-tiba
moksa dimangsa malam dan terbitlah!
Bulan
batang-batang.
Putih
perak kemerahan cahayanya
seperti
bibirmu berkilau
memukau
orang-orang bersamman,
meneguknya
bercawan-cawan dan sakaw
lalu
mereka lupa menusuk matanya sendiri.
dengan
peniti emas Putri Jenang
Setelah
seribu satu kali kalimahsyodoh ditembangkan bersama
sambil
mengintip tanpa kedip,
dari
lubang jarum paling lancip
menyerupai
Dhamar atau Jenar
bertumpu
pada kaki tunggal.
;Darah
pun mengalir mewarnai riak Lombang,
membercaki
desa-desa, gunung
serta
gua tempat para raja dulu bertapa
memperoleh
adjisaka.
Sementara
bulan makin liar melacuri Sumekar
(anak-anak
jadah lahir.
Isaknya
menubit-cubit ruh kesadaran)
Inikah peristiwa yang
kita lupa?
Lalu
aku menjawabnya pada lembar pasir
dengan
za’rafan takdir menjadi syair bersihir
yang
dilarang kaubaca berulang-ulang
takut
semua akan pingsan!
Cukup
sekali saja, dan mengalirlah
Ke
tujuh latifah laut atau sebuah Tamansari
karena hanya air
mengalir yang bisa jernih.
Dan
malaikat kecil itu, perempuanku
pulang
ke jantungku
Berdwikranah
seperti rindu,
Gumuruh!
Batang-Batang, 2002
Sofyan RH. Zaid, lahir di
Sumenep, 11 Maret 1986. Belajar menulis sejak kelas II MTs Miftahul Ulum,
Batang-batang, Sumenep. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen dan esai dimuat di
beberapa media lokal dan nasional, seperti Horison, Republika, majalah sastra pesantren Fadilah (Yoya), Sahabat Pena, dan Kuntum. Dimuat juga dalam antologi puisi Risalah Dua Jari (Andalas, 2002). Sekarang, santri Pondok
Pesantren Annuqayah Guluk-guluk, Sumenep, ini membina beberapa sanggar seni di
almamaternya. Kini tengah menyiapkan antologi puisinya, Tafsir Kerinduan.
Puisi-Puisi M. Zamiel El-Muttaqien
Secangkir Kopi Sekental Rindu
ketika kau serupa rindu
kuhirup ruap kopi senikmat harum
tubuhmu
seteguk
kafien sekental ludahmu
deras darahku di sungai sungai waktu
jantung berdegup kencang
memompa badai dari lubuk lautan
tempat
paling tenang
mengendapkan kenangan
serbuk kenangan teraduk jadi mimpi
sepekat
dan sepahit kopi
tenggelam aku
bagai tersesat dalam lebat gerai
rambutmu
mengurai hitam semesta
melupa segala warna
sampai terbit inti cahaya
di
ufuk jiwa
fajar
dari mana hari dan hasrat bermula
memancar
seterang senyummu yang menyala nyala
dan
karena kau serupa rindu
di kala dasar cangkir tinggal ampas
kelam membatu
yang
tersisa tetap saja ingin
meregukmu tak dingin dingin
2003-2005
Api Air Mata
Api. Kobar murka
membakar luka
dengan apa harus kupadamkan
nyala kekal ingatan?
Air mata. Sesal siasia
sepajang usia
seakan minyak tanah
bagi panasmu yang semakin merah
Sepi. Keretap tulang belulang
menjelma jadi arang
dengan apa harus kusangga
tubuh hangusku yang tak beriga?
Katakata. Bujuk rayu istigfar
yang selalu kau dengar
mustahil kau mengelak
dari sayup seru sajak!
2005
M. Zamiel
El-Muttaqien, lahir di Sumenep, 09 November 1979. Bersama bebarapa
kawannya, mendirikan Bengkel Imajinasi di Malang, Jawa Timur. Kini sedang
mengorganisasi Bengkel Puisi Annuqayah di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk,
Sumenep, Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar