Sumber: kenzo publiser |
Catatan dari Warung Kopi
Akankah kita masih percaya
menanam bunga-bunga
Di depan rumah kita
Setelah jauh-jauh hari kita
telah mendustai keindahan
Mendustai matahari yang terbit
perlahan dari arah timur
Dan burung-burung yang
menyenandungkannya
Semisal malam ini, kita masih
asyik merayu malam
Di warung kopi, menerjemahkan
sepi pada percakapan-percakapan
Yang seakan-akan tak mau
diselesaikan
Kita memandang ke arah jauh,
ingatan dibenturkan
ke benda-benda sekitar
Dan mata kita dipaksa untuk
bertahan dari kantuk
Untuk melupakan hal-hal yang
menyerupai
kebiasaan ibu dan babak kita
Lantas setelah berlarut-larut,
berpayah-payah dengan malam
Kita pulang ke lantai yang
dingin: kamar kita masingmasing
Berpeluk mesra dengan kekusaman
wajah yang dihantam
Aroma kopi, es teh, susu panas,
beserta asap rokok
Kita tidur di jam yang
menunjukkan angka 03:30, hampir subuh
Badan yang lesu, rasa yang payah
melelapkan semua hal
Lalu mimpi-mimpi datang
berhamburan tak jelas
Meninabobokan ke siang yang
jalang!
Sampai tak ada perkara yang
perlu dicatat selain peristiwa ini
Setiap hari hidup seperti musnah
di warung kopi
Agama warung kopi dan tuhan juga barangkali.
Setelah Bangun Tidur
Setelah bangun tidur aku lelaki
paling tolol
Yang pernah dikenali sendiri
Di depan cermin dengan
memukul-mukul wajah
Dan tertawa kecil
Aku berucap “yang fana adalah
waktu, kita abadi”
Sesekali mengambil sisir tapi
membiarkan ruang berantakan
Di sela-sela rambutku--
Membiarkan wajah kekasih masam
dikerumuni sesal
Dan bertindak seolah-olah anak
kecil yang tak mau tahu
Tuhan ada di mana dan sedang
mengerjakan apa?
Gowok, 2015
Di Bawah Sepi Aku Berlindung
dari Kerlingmu
Di bawah sepi aku berlindung
dari kerlingmu
Menolak benda-benda
Hanya yang dapat disaksikan
bayangmu bayangku
Berpijak di antara tulang
belulang puisi yang gigil
Sebab kata-kata yang timbul
Adalah kesangsian dari sebuah
perjumpaan
Kubayangkan kita begitu kecil
Samar-samar menyentuh wajah
nasib
Pikiran yang tolol
Melompat-lompat menangkap angin
Melubangi langit untuk menemukan
yang
tersembunyi
Duh, cintaku yang perkasa
Masihkah kau berani sombong?
Demi rasa cemas yang memenuhi
lubang mulut
Dan orang-orang yang terbakar
dengan
kesangsiannya,
Di punggung puisi ini
Jangan pernah bangunkan aku
Anwar Noeris, Lahir di Sumenep, Madura 19 Februari 1993.
Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) dan Nyantri di Pondok
Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'ari, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar