![]() |
Sumber: tommy wondra yogya |
TANAH BUNGDUWAK
dalam sitatap sederhana
kau cermin yang abadi
dan aku bayangan penuh sunyi
:kita suka berias batu-batu
bergincu ujung mayang
berbedak ladang sabrang
rias seadanya
sebelum kelak pergi bersama-sama.
Bungduwak, 06.04.15
DI KOBHUNG SEDERHANA
Di kediaman K. Dardiri
kita bersanding sepotong rembulan
di gedek putih , kabut sama saja
lahir menyetujui angin
memburu tepi malam.
kita duduk
setakdzim cagak menyangga tidur usuk
berdiskusi tentang alamat-alamat sunyi
kunang-kunang datang memenuhi telapak
tangan
mencari peta dari garis-garis yang belah
mungkin pada yang berliuk ke arah jari
telunjuk
takdir tanah madura digambarkan.
kita bersanding sepotong rembulan
malam dan pekat kopi ia singgahi
lalu bermukim dalam puisi.
Gap-Tim, 05.04.15
OJUNG
duhai siapa mengira
urat rotan adalah akar hujan
yang menyelesaikan sembahyang
di tengkuk bumi.
ambil barang seutas
pelengkap sajak ladang
kutuk bagi kemarau.
di gelanggang tanah lapang
moyang segera datang
sebelum gong berbunyi memburu mimpi.
pohon-pohon ranggas seraya mengucap amin
kepada riuh tepuk tangan penonton
melepas daun keringnya sebagai dupa
pertama
untuk kematian kemarau.
maka ditabuhlah gong,
sepasang lelaki kekar tanpa baju
saling memecut punggung dengan rotan,
pyarrrrr!!!!
mata ujung rotan itu meludahkan darah
hujan awal yang jatuh di badan
tebusan rasa sakit ladang
sebelum besok hujan berikutnya datang
membawa rahmat bagi jutaan rotan.
Madura, 07.04.15
ANAK JADAH
sebelum farji belah berpintu
di rahim tua aku termangu.
hanya tuhan dan aku
menyepakati sebuah waktu.
sedang ayah dan ibu
menjalani kesedihan di kamar kelabu.
Sumenep,, 08.04.15
BERTAKZIYAH KE TAMIDUNG
jenazah segera dikubur jam sepuluh
lantang terdengar
menyandarkan pohonan ke angin mati.
di dapur//
gincu perawan penumbuk kopi
dalam cakap selusin cerita
berbagi sedap sapa dengan perempuan lain
yang mengiris bawang di bundar tampah
bambu
seolah melupa sungkawa
bawang dan pisau
kopi dan lesung
membuat kotak dunia baru
yang jauh dari keranda dan suasana sendu.
di halaman rumah//
keranda biru semakin disesap sepi
dzikir menyeret hati ke nadi bumi
bumi yang menyediakan tanah
bagi tanah yang berdarah.
beberapa kiai pejam di sisi lilit
serbannya
menemukan gaung dalam jantung
betapa kelak ia henti berdetak
saat si tuan tak bisa menolak
:sepanjang-panjangnya cerita
akan tamat di lambung keranda.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar