NAVIRI 1
kopi panas di cangkir
takkan berhenti di batas hangat
kukus ngengat sebab belum pupus cakap
belum usai dekap, panas ke dingin
dan pikir kita menggigil ingin
kukus ngengat sebab belum pupus cakap
belum usai dekap, panas ke dingin
dan pikir kita menggigil ingin
di hadapan kopi
kita dedah dunia di antara kepul rokok berasap
dan nanar jiwa yang lunta mencari diksi
kita dedah pikiran yang bercak di rak-bangku perpustakaan
dan pikiran nakal para cendekiawan
kita dedah dunia di antara kepul rokok berasap
dan nanar jiwa yang lunta mencari diksi
kita dedah pikiran yang bercak di rak-bangku perpustakaan
dan pikiran nakal para cendekiawan
atau seperti
pesakitan yang sekarat
kita cari obat dari selasa sampai ahad
tapi apotik buka hari senin ketika senja mengajak malam untuk berdebat
tentang lagu-lagu suntuk yang terantuk-antuk
dengung music, sajak-sajak yang tak sabar dibacakan
tentang cerita fiksi dan film kenyataan yang disamarkan
kita cari obat dari selasa sampai ahad
tapi apotik buka hari senin ketika senja mengajak malam untuk berdebat
tentang lagu-lagu suntuk yang terantuk-antuk
dengung music, sajak-sajak yang tak sabar dibacakan
tentang cerita fiksi dan film kenyataan yang disamarkan
di jeda kita mencari
alasan
di jeda lain mencari kenikmatan
menghitung seberapa benci kerinduan
kepada jumlah cinta yang tua
dan kita mudakan kembali di wajah langit pagi
di jeda lain mencari kenikmatan
menghitung seberapa benci kerinduan
kepada jumlah cinta yang tua
dan kita mudakan kembali di wajah langit pagi
kopi panas di cangkir
takkan berhenti di batas hangat
sekukus ngengat sebab belum pupus cakap
belum usai dekap, panas ke dingin
dan pikiran menjadi ingin
sekukus ngengat sebab belum pupus cakap
belum usai dekap, panas ke dingin
dan pikiran menjadi ingin
NAVIRI 2
seketika gelap
menyelinap sorot mata
seandainya senja bukan di bumi kita
juga langit tak lebih tinggi dari cahaya
yang belum rampung kita baca
seandainya senja bukan di bumi kita
juga langit tak lebih tinggi dari cahaya
yang belum rampung kita baca
barangkali seandainya
tak lagi seandainya
ketika kita belajar bersama buku-buku terbuka
bukan membaca juga tak mengeja
tetapi kaki menapak
lorong-lorong memori yang jejak
pada batas tahu di bercak otak
ketika kita belajar bersama buku-buku terbuka
bukan membaca juga tak mengeja
tetapi kaki menapak
lorong-lorong memori yang jejak
pada batas tahu di bercak otak
mungkin segala yang
tak mungkin kita bikin nyata
mungkin segala yang tak nyata kita batasi dalam jeda
ketika lakon keluar dari panggung drama
ada realita meminta makna
mungkin segala yang tak nyata kita batasi dalam jeda
ketika lakon keluar dari panggung drama
ada realita meminta makna
tetapi ini senja di
bumi, kawan
bagaimanapun pertunjukan hanya rekaan
bila drama telah usa, para penonton
hanya boleh bertepuk tangan
bagaimanapun pertunjukan hanya rekaan
bila drama telah usa, para penonton
hanya boleh bertepuk tangan
barangkali seandainya
tak lagi seandainya
suatu saat nanti kita kan mampu jua
memindah luas ini dunia
ke lubuk sempit kata-kata
suatu saat nanti kita kan mampu jua
memindah luas ini dunia
ke lubuk sempit kata-kata
MAYAT SEPI
1
aku bukan dia yang mati di dalam pembakaran
tapi aku mayat di dalam sepi
menanggung berat kesunyian
dan pahala pada sebuah diam
aku bukan dia yang mati di dalam pembakaran
tapi aku mayat di dalam sepi
menanggung berat kesunyian
dan pahala pada sebuah diam
jika waktu terlalu
silau memandang rembulan
maka bacalah deritaku di antara lubang dada
huruf-huruf tereja bersama
nyanyian jantung rentap
maka bacalah deritaku di antara lubang dada
huruf-huruf tereja bersama
nyanyian jantung rentap
2
aku bukan dia yang mati membawa api
tapi aku mayat di dalam janji
yang disulut matahari
menggantung mimpi
di dalam langit pikiran
aku bukan dia yang mati membawa api
tapi aku mayat di dalam janji
yang disulut matahari
menggantung mimpi
di dalam langit pikiran
jika ruang terlalu
sempit buat menumpahkan isi hati
maka keluarlah dari angan
kepada harapan demi harapan
sampai kata-kata akan tersemat kala senja
terlalu berat untuk tenggelam
maka keluarlah dari angan
kepada harapan demi harapan
sampai kata-kata akan tersemat kala senja
terlalu berat untuk tenggelam
KITA PUNYA MUSIM LAIN
kita akan punya musim
yang lain
yang belum cukup hujan kemarau
belum tentu semi gugur
akan ada jeda
hening
ketika
tiada lagi wangi selain bunga-bunga
yang terhenyak menikmati semerbaknya sendiri
yang belum cukup hujan kemarau
belum tentu semi gugur
akan ada jeda
hening
ketika
tiada lagi wangi selain bunga-bunga
yang terhenyak menikmati semerbaknya sendiri
dan daun menghijaukan
kering tubuhnya yang sepi
kita akan punya musim
yang lain
saat kejenuhan berbaring di kamarnya
dan waktu berbeda kan terjaga
dari usik tidur lelap yang lama
menjadi kehidupan nyata
di alam mimpi-mimpi
saat kejenuhan berbaring di kamarnya
dan waktu berbeda kan terjaga
dari usik tidur lelap yang lama
menjadi kehidupan nyata
di alam mimpi-mimpi
PALAKTAON
langit kelabu
seumpama abu-abu tungku merakit lagi tubuh kayu
ranting-reranting berdebu
lupa daun kering di lumbung kesendirian masa lalu
seumpama abu-abu tungku merakit lagi tubuh kayu
ranting-reranting berdebu
lupa daun kering di lumbung kesendirian masa lalu
palaktaon berkaki
pemburu
mengejar angin bergulung-gulung ke ufuk mencari kembali pancaran biru
dari lembah dari bukit memusar kerontang mendaki perdu lalu benalu
lalu redup namun geraknya seumpama sinar surya
membawa tinta warna restu doa
seucap umpat ibu cecap mulutnya mengutuk batu
mengutuk puyuh dalam seruak serbuk-serbuk tungku
mengejar angin bergulung-gulung ke ufuk mencari kembali pancaran biru
dari lembah dari bukit memusar kerontang mendaki perdu lalu benalu
lalu redup namun geraknya seumpama sinar surya
membawa tinta warna restu doa
seucap umpat ibu cecap mulutnya mengutuk batu
mengutuk puyuh dalam seruak serbuk-serbuk tungku
hujan berputar
mengirim bala karma dari silam
abu-abu basah jadi lumpur lalu terkatung mematung redup malam
langit kelam, warna angkasa tak bisa dibungkam
mengerutkan dahi kering remuk terhantam
dan rindu terbakar kemarau di langit hitam
dan waktu terhenti dalam pekat dan dendam
abu-abu basah jadi lumpur lalu terkatung mematung redup malam
langit kelam, warna angkasa tak bisa dibungkam
mengerutkan dahi kering remuk terhantam
dan rindu terbakar kemarau di langit hitam
dan waktu terhenti dalam pekat dan dendam
2015
Raedu Basha, Mahasiswa S2 Ilmu Antropologi Budaya Fakultas
Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada. Lahir
di Sumenep, 3 Juni 1988. Bukunya:
Matapangara (Puisi, 2014) dan The Melting Snow (Novel, 2014). Penerima ‘Anugerah Sastra UGM 2014’ sebagai pemenang
Lomba Penulisan Puisi Fakultas
Ilmu Budaya UGM (2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar