Sumber: jatim art forum, 2015 |
Ikrar Daun
pincut aku dengan mawar
hujan
jikalau getarku lamban
saat itulah otakku
mengenang
pucit buah yang luruh
di hening subuh
sebagai pamit seorang anak
kepada sang ibu.
aku juga punya air mata
untuk kisah-kisah luka
seperti ranggas kembang
akasia
terlumat lidah kemarau
kara.
belai pundakku dengan
sesisip angin
tungkai leher bakal
mengejang
menggapai telinga kembang
karena angin adalah ritual
perkawinan
di mana putik dan benang
sari
boleh saling menginap
membawa hati
bersenggama di bawah bibir
matahari.
aku juga sebagai orang tua
atas seribu buah yang
mendekap cuaca
seperti saat petir, para
ibu mendekap anaknya.
maka bila kapakmu menebang
hingga sekarat pohonku
meregang
aku yang terakhir meminta
kematian
karena cinta masih
kutuntaskan
sampai ranting dan buah
takluk pada lapuk
dan aku kering saling peluk
:seorang ibu yang melukis
anaknya sedekat pelupuk.
Gapura, 11.03.15
Lelaki Sabit
Ayah kau asah kisah-kisah
dengan lidah yang basah.
tulang dadamu lengkung
seluas palung
tempatku pulang menemukan
kampung.
dan matamu kilau alis
berjurai
menemaniku memandang bulan.
kau asahan lengkung yang
berkilau
sabit yang tenang di
genggam tangan.
:kuarit rimbaku dengan
dirimu.
Dik-kodik, 2013
Serban Putih di Benteng Fort Rotterdam
: Pangeran
Diponegoro
bulan termangu dengan luka
biru
bayang dilepas menjadi
bangkai
membingkai tanah makassar
dalam sekotak sepi malam
hari.
kunang-kunang mengincupkan
sayap
di rusuk jeruji yang lindap
kemerdekaan dipenjara
lantaran asah mata runcing
membidik perang di tanah
lapang
melawan keangkuhan
jenderal markus de kock.
pangeran, dekam dalam kelam
penjara
bulan lain terbit di
dadanya
mengirim cahaya ke sudut
bendera dwi warna.
serban putih terhampar jadi
semesta
pangeran membuat pulau dari
wirid dan fatihah
hizib dan azimat yang
dikalungkan pada tanah bunda.
sunyi negeri ia maknai
dengan diri yang sendiri
saat harga diri bangsa
adalah wujud lain dari nyawa
diruwat dari petaka, jadi
sanjung di pucuk bunga.
kurun waktu 22 tahun
pangeran menatah tulang
liat dan putihnya
senantiasa sajak dalam penjara
dibaca malaikat dan
bidadari dari taman-taman surga.
hingga di tahun 1855
pangeran bergegas ke arah surga
maut dalam belai lembut
telah memahat namanya
kepada jalan, kepada tugu
dan kepada jantung anak cucu.
Sumenep, 03.15
Di Kebun Masrupa
lambai sekungkung janur
tak menyelesaikan risau dan
parau
selain cuma miring
menyediakan senyap punggung
sebagai jalan bagi
tupai-tupai
memburu takdir ke lubang
nyiur.
si tukang kebun melihatnya
dari bawah
tupai mengoyak dan mencakar
nyiur terkapar, langit
terbongkar
nyiur-nyiur luruh mengguruh
ke petak hati tukang kebun
yang luluh.
tupai-tupai predator
kenyang berpamitan
giginya kuning digosok
sayang di tulang lidi
janur merelakan punggungnya
sekali lagi
tupai berjalan ke arah
kembali.
janur melambai tak
menyelesaikan risau
tukang kebun pekik dalam
parau
sepasang matannya membidik
janur
:rupanya pada lambai
gemulai
ada sebuah pengingkaran.
Dik-kodik, 13.03.15
A.
Warits Rovi. Lahir
di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Kumpulan puisinya dapat dinikmati di berbagai antologi
bersama. Kumpulan puisi tunggal ‘Hilal Berkabut’ (Adab Press, 2013). Kini aktif
di Komunitas Semenjak dan membina penulisan sastra di Sanggar 7 Kejora.
Berdomisili di Jalan Raya Batang-Batang PP. Al- Huda Gapura Timur Gapura
Sumenep Madura 69472.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar