Sumber: Rebecca Finch: Paintings of Simple |
Kinanti Potre Koneng
laut bergema, bukit-bukit
bersiul
bayi perempuan lahir di
keraton benasare
wajah rubaru berdandan
kuning, pulau madura
berseru haru;
“kusambut engkau potre
koneng, anakku!”
angin di lembah-lembah
dangkal
menyemarakkan kelahiran
bayi bermata bening kartika
nafas pertamanya segarkan
udara
nafas pemantik sejarah
panjang madura-jawa
aduhai lembut kulit
kuningnya yang pualam
burung-burung musim padi
dan tembakau menari
di cakrawala
bernyanyi dengan tiupan
suling gembala
dan usia telah
menjadikannya raden ayu di istana
kini telah remaja ia,
liontin gemerlapan
di leher pulau madura
telah siapkah ia dipinang
ksatira perkasa
saat ayah-bunda
memimpikan cucunda
gema laut bergelegar,
siulan bukit melingking
kicau burung-burung
ladang menembang
mengisi relung hasrat
sang raja di istana
memantra isi dada ibunda
di ranjang sukacita
saat wajah musim
berdandan di kaca benggala
potre koneng selesai
merias diri
beranjaklah ia ke hadapan
ayah bunda
“gerangan apakah ayahanda
dan ibunda
memanggil saya yang baru
lepas masa remaja?”
angin berhenti, istana
hening sesaat langit biru membening
hati potre kening dingin
saat ayahanda sampaikan ingin:
“putriku yang didewasakan
alam madura
tibalah saatnya kau
berumah tangga
lelaki macam apa yang
engkau tambatkan cinta?”
“ampun beribu ampun
ayahanda
tiada hamba menolak dari
hati setia
atas itikad luhur yang
tiada celaka
sungguhlah hamba yang
belum siap sedia
duduk di pelaminan sakral
dan bina keluarga
apalah daya hati hamba
takut buat ayahanda kecewa
serta menggores hati
ibunda menjadi luka
maka izinkalah hamba
merenungkan daya cipta
semusim di goa pajudan
demi niat suci di dada”
berlinanglah mata air
dari kelopak mata
si cantik jelita,
lembablah tanah susur dilembah
lenturlah bukit-bukit
sukar menuju goa pajudan
usai izin diberikan meski
kengerian tampak nyata
berangkalah si putri
berkulit pualam
bersama kecupan musim
yang diberkahi semesta
di relung goa pajudan,
potre koneng bertapa
tiada air sentuh bibir,
tiada nasi dan buah sentuh lidah
tiada tidur memeluk hati
dan pikirannya
purnalah tapa sampai hari
ke enam dalam goa
kesunyian abadi
melingkupi hidup si koneng
tibalah malam ke tujuh
yang mengejutkan
bening mata si koneng
berat tak tertahan
tertidurlah ia dalam
dekapan batu alam
dan purnama selimuti
tubuhnya dengan pelita
yang menyusuri celah
janur kuning kelapa
muncullah ksatria tampan
perkasa
sebagai mimpi yang tak
terimpikan
“potre koneng, kutemui
kamu di puncak
gunung semadi
aku lah Adipodai yang kau
rengkuh
di kedalaman batinmu
lelaki kelana dari pulau
kecil di timur jauh
berdiam yang mulia di
gunung
geger, bangkalan
malam lumat oleh percintaan
ghaib
setetes air surga
menembus rahim jagat wanita
sebelum ayam berkokok
pecahkan sunyi madura
genaplah tapa di turis
purnama
si koneng pulang bersama
bayangan sang kratria
seluruh isi istana meriah
oleh kembang kebahagiaan
tiba-tiba potre koneng
muntah dengan wajah pucat
tabib-tabib mandraguna
dari segala penjuru madura
dihadirkan ke benasare;
satu jawaban sama,
hamil sudah si cantik
jelita
murkalah ayahanda, sedih
sungguh hati ibunda
diusirlah koneng dari
istana
dengan sepunggung derita
dan janin cinta suci di
perutnya
2012-2015
Lelaki dari Buwun
lelaki berang-legam
wajahnya
muncul-menerjang dari
pulau Buwun
peta masa depan, kompas
perjuangan
lekat di lubuk dada –
terkepal di tangan
laju kapal dari tepi-tepi
pulau merantau
cepat-lesat terpacu
gelombang darah cinta
demi tanah tumpah; ibu
bahasa mula asal
menuju pulau raja-raja
berkilau nusantara
tibalah ia, si
berang-legam menerjang
nerjang mata siang dan
malam tanah Mataram
yang terlelap di tengah
bising pembangunan
angin berhembus dari laut
selatan
angin bertiup dari lereng
gunung merapi
mengisi paru-paru simpang
tiga perlawanan
2016
Yang Terlantar dalam Puisi
tentang rindu yang
dituliskan
terlantar – asing dalam
antologi puisi
habis segala perlambang
dikultuskan
sebagai perhiasan tragis
gadis kesekian
masih tentang rindu dan
soneta murahan
dirayakan dengan semarak
terompet penghabisan
lampu-lampu kota mati,
obor padam di pedalaman
terang sinar muncul dari
tubuh penyair yang terbakar
penjaga langit menutup
pintu segala ruh
pemangku bumi membenam
kunci misteri
hanya ambang membentang
ketaktapstian
kemudian rindu terbit
lagi pada puisi-soneta
menjadi tembikar kusut di
atap rumah
tempat burung hantu
menghatamkan gelap
2016
Selendang Sulaiman, lahir di Sumenep, 18 Oktober 1989.
Puisipuisinya tersiar di berbagai media massa seperti; Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Pikiran
Rakyat, Seputar Indonesia, Indopos, Suara karya, Minggu Pagi, Riau Pos, Merapi, Padang Ekspres, Lampung Post,
Radar Surabaya, dan Majalah Sagang. Antologi Puisi bersamanya; Mazhab Kutub (Pustaka Pujangga 2010), 50 Penyair Membaca Jogja; Suluk Mataram (MP 2011), Ayat-ayat Selat Sekat (Antologi Puisi Riau Pos, 2014), Bersepeda Ke Bulan (HariPuisi IndoPos, 2014), Bendera Putih untuk Tuhan (Antologi Puisi Riau Pos, 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar