Sumber Lukisan: Kliping Sastra |
tersimpan di manakah degubmu
aku mencarinya sedalam lautan
dengan segenap keraguan yang berpacu
setiap batu kuketuk, sepanjang karang ketelusuk
hanya derak derak yang bisu, selebihnya
gelembungan
luka sisa siksa.
sedetak melecut, engkau menyemakku
tapi degubmu menyekam seperti rahasia dalam rahasia
aku melangkah ke hutan mungkin di sana ia tersimpan
dari Borneo sampai Amazon, udara hanya mengurai
daun kering, bintang cuma bermain debu
hingga aku membakar pepohon dan pepucuk mata
angin.
dalam kegalauan aku bertanya
di manakah kiranya tanda jantungmu
yang tak pernah kusua di saban dada
yang tak pernah ada selain milikmu yang misteri.
pernah kumengira setiap semerbak bunga
adalah gaharu degubmu. pernah kumenyangka
segala bisik cempaka adalah raung parut rasamu.
setelah terus kutilik baru aku mengerti
tangkai akan lesup tetapi degubmu sepanjang hidup
aku pergi ke langit barangkali degubmu di situ
yang menurunkan hujan saat sembilu
kiranya kedip kilat atau purnama-surya
yang kemilau-bercahaya adalah warna tenguknya
tapi o lagi-lagi, hanya setumpuk awan tanpa tenaga
cuma sengat halilintar yang menambah carut tanya
terkadang aku merasa degubmu seumpama api
yang diterawang lewat kontemplasi
dunia yang tersentuh namun tak tersentuh
legat pikiran laksana mimpi bertemu Tuhan
Pademawu
renta tahun dalam dekapmu
tubuhku semakin gigil gemetaran
setiakah kusimpan bunga-bunga cendawan
kala pelukmu kau lepaskan?
aku takkan memeras tangis dari lelubang kulitku
seperti pancuran hujan di sudut-sudut bangunan
dalam tengadah tangan aku mengemis
setetes madumu lebur meresap ke runduk khusyukku
kecuplah keningku
restui kembara ini kulanjutkan ke jauh waktu
Epilog
Pengasingan
hitung saja jika mampu kau hitung
untaian degub dari dingin keringat malamku
yang berderatan dari setiap dera kereta pengasingan
pongah yang tak pernah berkesudah
dan kau hanya bersiul-siul seperti meminta kehangatan
pada api pada kayu pada nyanyian diam
yang meledak di belakang tungku peristiwa
hitung saja jika kau ingin melenyapkan
setiap keresahan datang dalam musim hujan di dada
hitung saja jika kau ingin menghapus kepenatan gerimis
yang hilang di retap jantung
kemarau kini memanjang
mengeringkan rongga mulut khatulistiwa
panas sisa perang meluncur ke lelubang permukaan saraf
lalu nerobos berubah menjadi api dalam bensin atau
arang dalam gelap
kau temui matahari galau rembulan silau
cuaca serisau kehampaan yang lekat dalam kesunyian
saat pria dan wanita tampak begitu jantan di jalanan
beradu domba kembang dengan binatang
mereka inginkan kelamin yang sama pada penguasa
lalu di tepi sepi kau takkan menemuiku lagi
sebab aku telah pergi aku telah terasing di suatu negeri
maafkan aku larikan diri
rindu telah purba
dan siasat membusuk
dalam sandiwara
lahir di Sumenep, 3 Juni 1988. Mahasiswa S-2
Ilmu Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada. Buku kumpulan puisi
terbarunya Matapangara (2014) dan sebuah novel
The Melting Snow (2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar