Pembikin cover: Amin. |
DI KAMPUNG YANG LAIN
Orang-orang
melupakan satu hari, satu malam,
satu
bulan serta tahun. Mereka cuma sibuk
memperbaiki
selokan-jalan, melupakan
nama-nama
segala persimpangan.
Orang-orang
tak mengingat waktu,
tak
mengingat nama hari, hanya gemar
dengan
acara, mengajari anak-anak mampu
berkidung
seperti burung, meniru peluit angin
dan
menghafal letak serta alamat bintang.
Tak
ada pertengkaran, satu sama lain
menjadi
gunung dan menjadi laut yang lain
bagi
tubuh yang lain, menjadi gema yang riang,
bernyanyi,
sambil meniru goyang ilalang.
Tak
ada bunyi lonceng, tak ada jam dinding,
setiap
saat hanya nada; desau angin,
gemeretak
ranting kering; hela napas
daun-daun
yang bersiap tumbuh.
Pun
tak ada kecurigaan, tak ada semi
hanya
senyuman melahirkan semua senja:
beranak-pinak
sepanjang jalan yang lain.
TUBUH YANG LAIN
Adalah
pelataran musim
yang
membelah dada hujan
juga
kemarau sempat aku bagi
Seperti
di halaman yang lain
semi
menuangkan teh ke gelas
tapi
dingin selalu membuangku
Aku
menjadi belahan yang lain
melintasi
lautan dan gunung
memecah
hening di kening;
Ingatan
berhenti, di depan pintu
seorang
anak memelas air minum
dari
tubuh; dari susu yang lain
Sedang
kegetiran serupa lengan
disandera
ketakutan-ketakutan
menjelma
cemas; bergelung lapar
Di
ruang itu, kupinjamkan lagi
sekendi
luka dibuat dari lempung;
kau
tahu, itu tubuhku yang lain
PARAGRAF USIA YANG LAIN
(1)
Kelak,
tuaku seperti satu lonceng
pengingat
sejuta risalah yang pasrah;
setiap
derita adalah lautan bagi mata
yang
simbah di atas lembah-lembah
menari
bersama ilalang; duri.
(2)
Kelak,
tuaku kian surut serupa laut
di
pantaimu, aku selalu ingin singgah
menghitung
jumlah kepergian, kakiku
tetap
meninggalkan jejak di pasir itu
menekuri
sepi di ujung senja, renta.
(3)
Kelak,
tuaku sebuah lagu, using
di
sudut-sudut kampung, di ladang itu
burung-burung
gugur seperti daun-daun
tak
kenal hijau; gema tak paham irama
kasidah
lara di perapian, di malamku.
(4)
Kelak,
tuaku semacam peta perjalanan
luka
ke luka, orang-orang yang terluka
panjang
nasib, adalah hulu, ujung temu
diawali,
diakhiri di baris-baris puisi, jadi:
kenangan,
semisal nista serta jeritan.
(5)
Kelak,
tuaku menjadi gunung; batu
menyimpan
kering dan luka gersang
belantara
yang tak kenal diam; kata:
aku
pernah datang serta akan pergi
pada
sunyi; mati bersama ikan-ikan.
MADURA YANG LAIN
Aku
mencintai ladang, gunung serta setetes laut
melihat
tempat menyaring senja dalam kantong
naik-turun
ke kaki langit bersama suwung, tidur
di
peraduan hujan dan kemarau, dan bibir petani
menyiapkan
sebakul cerita teruntuk masa depan.
Aku
mencintai tubuhmu, semacam penghambaan
udara
yang aku hirup tiap pagi bersama akar-akar
menjalar
tiap ritus sufi, perjalanan nenek moyang
ke
tanah lain, bersorban keringat di tubuh mentari.
Aku
mencintai tak sebatas panjang jembatanmu
tapi
seperti darah yang terus memenuhi pori-pori
bagi
istana siang di rangkulan ilalang dan belalang
kehilangan
semak-semak, semasa kecilku, dahulu
di
sini, ceruk kerutmu serupa tubuhku yang lain.
Fendi Kachonk, lahir dan
menetap di Desa Moncek, Kecamtan Lenteng, Kabupaten Sumenep. Aktif di Komunitas
Kampoeng Jerami (KKJ), Forum Belajar Sastra (FBS). Dua komunitas yang
didirikannya. Karyanya, berupa esai, dan puisi-puisinya kerap dimuat diberbagai
media lokal dan Nasional dan di beberapa antologi bersama seperti: Sandal Kumal (2011), Indonesia Titik 13 (2012), Istana Air (2014), Hujan Kampoeng Jerami (2014), Memo
Untuk Presiden (2014), Titik Temu
(2014), Benale Sastra DKJT (2016).
Dan, buku tunggalnya, Lembah Kupu-kupu
(2014), Tanah Silam (2015), Surat dari Timur (2016), dan Halaman yang Lain (2017). Kini mukin di
kampung kalhirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar